Gumpalan awan putih nan memenuhi langit bergerak lamban, menyembunyikan sinar mentari di baliknya. Butiran bola putih berjatuhan dan mengenai wajahku, tangan kananku menengadah mencoba menggapainya, sensasi dingin nan sejuk memenuhi panca inderaku tepat sebelum melebur menjadi air dan lenyap.
Tak berkilau namun tampak cantik, bulir putih nan dingin itu kini memenuhi sekelilingku dan tak terkira jumlahnya.
"Semua ini ... apa?"
"Itu adalah salju, Hanz. Apa ini kali pertama kau melihatnya?" jawab Viona yang juga ikut membuka kedua tangannya menampung semua salju itu.
"Ah, kurasa iya. Aku tak begitu ingat."
Aku kembali merasakan ketenangan setelah melihat pemandangan ini, angin yang berkesiur mendadak menghembuskan hawa sejuk, membuat rambutku berkibar dan bulu kudukku berdiri.
"Dingin sekali ...," lirihku sembari menyilangkan tangan memegang bahu.
"Pakailah, ini cukup hangat."
Ilya datang sambil menyodorkan mantel tebalnya padaku, mantel panjang yang mirip seperti jubah dan juga berwarna hitam.
"Apa boleh?"
"Tentu saja, aku sudah jarang sekali memakai mantel yang ini. Kuharap itu pas di tubuhmu," sahut Ilya yang masih menyodorkan pakaiannya.
Aku menerimanya dengan sedikit rasa canggung, perlahan aku memakainya dan merasakan sedikit kehangatan di balik pakaian ini.
"Hmm ... kurasa itu cocok untukmu, Hanz. Kau boleh menyimpannya."
"Benarkah? Terimakasih banyak, Ilya."
"Heeeh ... kalian berdua sudah akrab saja, yah?" sindir Viona yang menatap kami sedari tadi.
"Apa kau cemburu, Viona?" Ilya menyengir lalu merangkul bahuku.
"Huuh ...? Bicara apa kau ini? A—aku tidak cemburu sama sekali."
"Benarkah ...?" Ilya memancingnya dengan nada ejekan.
"Jangan mengatakan hal bodoh, Ilya!"
"Maaf, maaf. Jangan memasang wajah marah begitu." Ilya lagi-lagi tersenyum melihat ekspresi Viona yang setengah marah dan malu.
"Huuh!" Viona buang muka dan membelakangi kami.
"A—anu ... apa aku boleh bertanya?"
"Ah, ada apa?" jawab Ilya sembari menatapku.
"Aku terus kepikiran sesuatu semenjak bangun di kapal ini, sebenarnya ... ke mana tujuan kapal ini berlayar?"
"Ohh, maaf. Kami masih belum mengatakannya? Tujuan kita semua sekarang adalah, Britania Raya. Tempat di mana kami memiliki rumah untuk pulang dan tinggal saat ini. Dan kau juga akan menjadi bagian dari itu, Hanz. Kau sudah sepakat untuk bergabung dan ikut perjalanan kami, kan? Sekarang kau menjadi bagian keluarga dari kami."
Tatapanku melebar mendengar perkataan terakhir Ilya yang telah menganggapku keluarganya, aku bahkan tak bisa mengingat siapa keluargaku sebelumnya. Seperti yang telah kulihat dalam surat itu, kurasa mulai sekarang aku harus memulai semuanya dari awal.
Identitas baru, keluarga baru, dan tempat tinggal baru.
"Terimakasih semuanya, kuharap aku tidak akan merepotkan kalian."
"Mana mungkin kau akan merepotkan kami, Hanz. Karena yang telah mengajak kau untuk ikut kemari adalah kami, jadi itu tanggung jawab kami semua," ungkap Ilya dengan tatapan tenangnya.
"Dia benar, Hanz. Karena Dmitry telah memaksakan keegoisannya untuk membawamu ikut bersama kami, jadi kami jugalah yang harus bertanggung jawab," tambah Viona meyakinkanku.
Aku membalas dengan senyuman kecil lalu berbalik menghadap lautan biru. Mereka orang-orang yang baik ... kuharap begitu, pikirku.
"Aku jadi merasa penasaran seperti apa Britania Raya, itu," ucapku saat kembali menatap mereka.
"Ohh ... kurasa kau akan terkejut saat melihatnya nanti, Hanz. Sesuatu yang membuat kerajaan Britania Raya tak bisa ditembus negara manapun bahkan Unhuman sekalipun." Ilya tampak semangat mengatakannya, kurasa dia memang orang yang seperti ini.
"Sesuatu? Apa itu?"
"Aku ingin kau melihatnya secara langsung nanti, ini adalah kejutan!"
"Sepertinya kalian menceritakan sesuatu yang menarik. Hanz, kukira kau akan langsung menemuiku di ruang kabin. Ada sesuatu yang ingin kuperlihatkan padamu." Dmitry mendadak sudah berdiri di belakang kami dan bersandar di depan pintu ruang kabin.
Dmitry? Gawat! Aku lupa untuk segera menemuinya. Entah mengapa tatapan dinginnya itu kini tampak marah, kurasa itu karena aku yang terlalu lama mengabaikannya.
"Ah, maaf, aku akan ke sana sekarang."
...
Di dalam ruangan kabin yang kaca jendelanya tertutup rapat oleh kain tirai, kami berdua duduk saling berhadapan dengan berbatas meja besar berwarna hitam, keadaan tempat ini sedikit gelap meski sudah diterangi dua batang lilin pada kedua sudut meja.
"Baiklah, aku hanya ingin menanyakan satu hal penting padamu, Hanz."
"Apa itu? Apa ini sesuatu yang penting dan rahasia?"
"Benar. Tapi, sebelumnya aku ingin meminta maaf karena tak memberitahumu bahwa sebelumnya aku mengambil benda ini darimu."
Dmitry lalu mengambil sesuatu dari balik kantong mantelnya dan menunjukkan sebuah koin emas yang pertama kali kulihat dari dalam kantong celanaku.
Ketika itu juga aku mengecek kembali kantong celanaku dan baru menyadari jika orang di depanku ini telah mengambilnya dariku, bahkan aku tak memedulikan koin itu sebelumnya karena aku masih belum menjumpai toko yang bagus untuk membeli sesuatu dengan benda itu.
"Apa!—"
"Tenanglah, aku tak mencurinya. Aku hanya meminjamnya, ini kukembalikan." Dmitry kembali menyodorkan dua koin emas milikku ke atas meja.
"Apa maksudnya kau melakukan ini?"
"Apa kau tau koin emas yang kau pegang saat ini itu apa?"
"Uang, bukan?"
Dmitry berkedip pelan sembari menghela napas, kobaran api pada kedua batang lilin itu tiba-tiba bergoyang dan memercikkan bara apinya ke udara.
"Pertanyaanku adalah, darimana kau mendapatkannya? Koin emas milikmu itu bukanlah mata uang yang biasa digunakan di pasaran, Hanz."
Aku sedikit terkejut mendengarnya hingga jantungku tiba-tiba berdegup kencang, aku tak mengingat apapun mengenai koin emas ini. Kalau dilihat lagi, sisi koin satunya itu menunjukkan ukiran hurup aneh dengan simbol kecil mengelilinginya. Apa makna semua ini, aku tak mengerti.
"Aku ... tidak mengingatnya, yang kutahu adalah koin itu sudah berada dalam kantong celanaku," jawabku dengan serius.
"Begitu, ya?"
Dmitry lalu menyatukan jari-jemarinya dan menyangga dagu, tatapannya kini tertuju padaku sepenuhnya.
"Baiklah, Hanz. Aku percaya padamu. Jadi, biar kukatakan alasanku menanyaimu tentang koin ini. Koin emas itu merupakan tanda kepemilikan dari para anggota kelompok legendaris yang sudah ada semenjak Unhuman ada di dunia ini. Mereka dulu dikenal sebagai pasukan berjubah hitam, The Black Domed."
Aku terkejut mendengar fakta koin yang kuanggap tidak berarti sebelumnya ini ternyata memiliki rahasia sebesar ini.
"Be—benarkah? Kalau kujual, benda ini laku berapa?"
"Apa kau bodoh? Benda itu sebaiknya kau simpan, jangan menjual atau menghilangkannya."
"Ehhh ... kalau begitu, bisakah kau ceritakan tentang kelompok The black Domed, itu, Dmitry?" tanyaku dengan serius.
"Kau yakin? Ceritanya akan sangat panjang."
"Aku serius, mungkin ada sesuatu yang bisa kuingat jika mengetahui tentang kelompok bernama The Black Domed ini. Alasan mengapa aku bisa memiliki dua koin ini, kurasa ingatanku bisa saja kembali setelah mengetahuinya."
Dmitry pun tersenyum dan mengangkat kepalanya, seraya berkata,
"Baiklah, kalau itu maumu. Sepertinya sudah waktunya aku menunjukkan buku ini.