Chereads / The land of immemorial / Chapter 3 - Tiang gantung

Chapter 3 - Tiang gantung

Satu ransel bahu dan satu koper cukup untuk persedian pakaian dan lain-lain selama dua minggu libur dinas sekaligus cuti, Aku mengetuk rumah kecil tentang masa remajaku dihabiskan sebagai kuli panggul. Aku meraba pintu itu perlahan, membayangkan seluruh kenangan dari rumah itu dan isinya.

Pintu terbuka, seorang gadis cantik menggunakan pasmina keluar dan Nampak pangling.

"Mas tifal?,

"Rumi?!, kau tumbuh jadi gadis cantik ya sekarang.

"Mah,…Mas Thifal", ibu terkejut pangling melihat penampilanku yang sangat berbeda. Tinggi, tegap, dan mengenakan pakaian khas militer. Sepatu boot hitam sampai selutut, jubah berwarna hijau dan sabuk yang mengikat pedang, serta topi dengan bulu angsa disudut kanan nya.

"Masuk nak, diluar sangat dingin"

Rumi dengan sigap membawakan tas tas yang aku bawa masuk kedalam.

"ibu buatkan the hangat dan makanan ringan, tunggu sebentar" ,

"Ayah dimana",tanyaku mengamati setiap sudut ruangan.

"Ayahmu sedang di rumah Ali, ada acara pertemuan"

"Ali?", tanyaku penasaran

"Ya, Ali temanmu, dia sudah menjadi saudagar kapal sekarang, sering bekerja sama dengan tuan herich", sahut ibu dari dapur yang sedang menyiapkan the hangat.

Malam itu Rumi tidak henti hentinya berbicara, sangat antusias. Sampai akhirnya ibu menyetop ceritanya dan menyuruhnya tidur karena sudah larut malam.

Sementara aku merapikan barang-barang dan menyusun koper dan suara ketukan terdengar.

"Tifal?", suuara berat dan serak khas suara ayah.

"ya", aku langsung menyambut suara itu dan membuka pintu.

"bagaimana kabarmu?', Tanya ayah bangga pada anaknya sembari memperhatikan aku dengan teliti.

"Baik pa", aku terharu dan sedih melihat ayah yang kian tua.

"hebat kamu", kata ayah sambil memegang pundakku.

Malam itu ayah tidak banyak berbicara, ia tau kalau aku keletihan setelah melakukan perjalanan panjang.

***

Pagi yang dingin, langit masih gelap dan sedikit basah, aku membuka jendela dan jalanan masih lengang. Sepi. Suara ketukan ketukan kecil orang berlari makin terdengar mendekat.

"Tifal, hei!, teriak orang yag sedang berlari. Aku masih tertegun dan pangling.

"siapa itu", gumamku.

"ayo olah raga prajurit!",

Aku masih pangling dan mengernyitkan mata.

"Ali", aku takjub dengan perubahan nya, sama sepertiku tubuhnya sangat berubah. Atletis dan bersih.

"kau banyak berubah Ali", aku memukul dada sahabatku itu dan memeluknya.

"Ayo kita olah raga kawan!,

Tanpa fikir panjang lagi aku langsung mengiyakannya.

"kita berkeliling, mumpung udara masih segar"

"baiklah".

Kami berdua berlari jalan-jalan yang dulu sering dilalui dulu semasa sma, banyak yang sudah berubah

Sedikit bercerita, rumahku berada d sisi kota baku, persis d belakang rumah adalah benteng yang kokoh dan dibawahnya batu-batu coral besar. ombak disini cukup besar sehingga setiap saat suara ombak besar mengahntam batu-batu besar selalu terdengar.

Rumahku ialah sebuah bangunan kecil terbuat dari kayu-kayu yang telah diproses hingga menjadi kuat dan tahan rayap serta disisinya depasang tumpukan batu batu agar lebih kuat.sedikit halaman dan jauh dari sana toko-toko yang menyediakan berbagai perlengkapan.

Jauh dari rumah dan menuju pusat kota terdapat sebuah alun-alun megah,atau biasa disebut lapangan tahrir,tak jauh dari situ ada sebuah kopi terenak di kota baku dan selalu ramai pengunjung.

Kedai kopi Tahrir namanya, yang tak lain diambil dari nama alun-alun tersebut, bangunan nya bergaya classic namun sebagian bangunan menggunakan besi dan kaca kaca yang bisa dilihat dari luar. Disudut bangunan ada tempat khusus kuda bagi pengunjung yang menggunakan kuda.

Tak terasa kami berlari dari rumah hingga alun-alun dan jam pun menunjukan pukul sembilan pagi. Kedai kopi tahrir nampak masih sepi belum banyak pengunjung. Kami menyempatkan untuk istirahat dikedai kopi tersebut. Kami memilih kursi disudut bangunan dan persis menghadap lapangan tahrir. Kami berdua bercengkrama tentang berbagai hal selama menjalani hidup masing-masing.

Namun setengah jam berlalu, Dilapangan orang-oarang mulai ramai berkumpul riuh suara-suara manusia dengan segala dudut pandangnya memenuhi seluruh lapangan, ada yang menyangka-nyangka tanpa alasan, ada yang mengasihani, ada yang datar dan tidak berkomentar, ada yang memprovokasi, bahkan ada yang saling bertanya tentang apa yang sedang terjadi.

Sementara itu seorang pria tua rambut yang sudah memutih , berbadan kekar, dengan pakaian serba hitam, raut wajahnya menampilkan seorang yang pasrah, kepalanya tertunduk kebawah, matanya sayu dan berkaca-kaca, beberapa menit lagi tiang gantungan menantinya.

"gantung, gantung", suara teriakan orang-orang yang marah.

Kemudian salah satu dari mereka melempari batu, seketika hujan batu berhamburan mengarah ketiang gantungan.

Suasana menjadi hening saat algojo keluar dari salah satu lorong, pedang terlihat mengkilap dan sangat tajam, kemudian disusul pria berjubah kemudian berpidato.

"Keadilan harus ditegakkan"

Suasana ketika itu sangat mecekam, algojo mengayunkan pedangnya untuk memastikan tidak akan meleset, tiba-tiba belum sampai kapaknya menyentuh leher, algojo itu terkapar darah keluar dari dahinya, semuanya berhamburan saling menjerit , mencari tempat perlindungan.

Beberapa saat kemudian muncul gerombolan penunggang kuda berjubah merah datang dari berbagai arah, menembakkan senapannya keberbagai arah, sangat brutal disusul barikade pasukan pejalan kaki khas infantry mengenakan baju zirah dan tameng-tameng yang mengkilat.

"Tifal ayo pergi", sahut ali yang kebingungan, semantara orang-orang yang ada dikedai berhamburan mencari perlindungan.

"Orde naga", gumam tifal kesal

" sangat berbahaya disini", kata tifal sambil menyeruput kopinya.sementara matanya menatap tajam kesalah satu penunggang kuda. Naas penunggang kuda itu balik menatap ke arahnya. Penunggang kuda itu mengeluarkan pedangnya dan menghunuskan ke arah tifal seketika itu juga kudanya berjingkrak.

"Yanisari!", teriak penunggang kuda itu.

Seluruh pasukan menatap kami, kami pun berlari menuju gang-gang sempit menghindari kejaran pasukan itu. Ditengah pelarian kami, di gang-gang sempit disebuah celah sempit tebing yang dibuat menjadi rumah. Dipojok-pojok bangunan ada banyak pria berjubah hijau memperhatikan kota yang sudah berasap hitam tebal. Dan dari celah itu segerombulan pasukan kuda bergerak kearah kota disusul beberapa mobil perang.

"yanisari", tifal bergumam, ia menepuk pundak ali yang masih terengah engah.