Setelah memeriksa Lembah Akhir yang terdapat makam Takeda, Jiro bersama Hideyoshi dan lima pengawalnya bergegas menuju Kuil Yamaguchi. Kuil itu dikabarkan berisi penuh tentang informasi Desa Totsukawa dan sejarahnya berdiri.
Selain informasi tentang Desa Totsukawa, kabar yang beredar juga menyatakan, di dalam reruntuhan itu tersimpan informasi tentang siapa sebenarnya Arnius. Juga beberapa gulungan teknik terlarang milik Yoshimitsu seperti segel tangan teleportasi, teknik pusaran angin, hingga teknik pengendalian air seperti klan Minamoto.
"Tuan, apakah kau yakin Kuil Yamaguchi benar – benar ada?" tanya Hideyoshi yang mempercepat laju kudanya hingga sejajar dengan Jiro.
"Tentu saja sangat yakin. Walaupun aku sendiri tidak tahu lokasinya. Penasehat Jashin bukanlah tipe orang yang senang membicarakan informasi tidak penting. Dia selalu berbicara tentang hal – hal yang penting. Pengepungan Fujiwara pun awalnya adalah karena informasi dari Penasehat Jashin tentang kekuatan musuh."
"Baiklah. Kita memulainya dari mana?" tanya Hideyoshi lagi.
"Ku pikir kita harus menyisir setiap sudut Totsukawa. Aku yakin ada pintu masuk menuju Kuil Yamaguchi."
Hideyoshi mengatakan bahwa ada jalur lain yang lebih dekat ketimbang jalan yang pertama dilalui. Jalur itu melewati sebuah padang yang penuh rumput zebra. Selain lebih dekat, jalur tersebut juga langsung menembus ke jalur samping, tepat berada di gerbang timur.
Ketika hendak memasuki gerbang timur Desa Totsukawa, Jiro melihat lima penunggang kuda jauh di dalam desa. Dia pun memberi aba – aba untuk berhenti, lalu mengamati pergerakan kelima penunggang kuda itu.
"Siapa mereka?" tanya Jiro dengan tatapan lurus tajam. Dia seperti mengenali kelima penunggang kuda itu, dan mereka bukanlah berasal dari Pasukan Oda.
"Mereka bukanlah utusan Ayahku," kata Jiro lagi. Dia yakin orang – orang itu sedang mencari sesuatu.
Kemudian Jiro membawa kudanya berjalan pelan menyisir jalanan yang penuh cipratan darah. Asap – asap tipis masih keluar dari beberapa rumah semi permanen.
Jarak antara Jiro dan kelima penunggang kuda itu sekarang hanya beberapa meter saja. Dia mengenali mereka yang semuanya adalah samurai berasal dari kelompok Kanagawa.
Kelompok tersebut adalah sisa – sisa samurai pendukung Kekaisaran Fushimi, sebuah imperium yang telah berakhir pada dua abad silam setelah Perang Sekigahara, yang menyerah pada pasukan gabungan Fujiwara – Toyotomi.
"Untuk urusan apa kalian datang kemari?" tanya Jiro dengan nada sedikit tinggi. Dia menarik kendali kudanya agar kedua kaki depannya terangkat dan mengeluarkan suara.
Kelima orang tersebut spontan menoleh ke sebelah timur, tempat Jiro dan para pengawalnya baru tiba dari Lembah Akhir. Setelah itu, mereka saling tatap di antara mereka dan tertawa.
"Kau sendiri sepertinya bukan dari desa ini?" salah satu dari mereka nanya balik.
"Berikan Pedang Murasama pada kami, atau kami akan merebutnya dengan paksa!" seru yang lainnya.
Jiro menjadi bingung dengan 'Pedang Murasama' yang dimaksud para samurai itu. Sebab, dia tidak merasa menyembunyikan pedang yang terdapat pada cerita legendaris itu, dan tidak pula menginginkannya.
"Pedang Murasama?" tanya Jiro kemudian. Dia teringat dengan sebuah katana mengilap yang tertancap di sebelah makam Takeda. "Apakah Pedang Murasama yang kalian maksud adalah katana yang sering bersama Takeda?"
===
***Pedang Murasama adalah pedang legendaris yang dikutuk. Pedang itu seperti hidup ketika pengguna mengendalikannya dan bisa bergerak menghindari serangan lawan.
Kemampuan utama Pedang Murasama adalah aura kekuatan yang dikeluarkannya. Takeda mendapatkan pedang itu secara turun temurun dari garis keturunan ibunya yang merupakan pewaris sejati klan Totsukawa.
Sebelumnya, pengguna pedang tersebut adalah Arata yang tewas ketika Akira berusia delapan tahun. Setelah kematian Atara, Pedang Murasama diwariskan kepada Takeda.
===
Di antara para samurai itu kembali saling tatap setelah mendengar ucapan Jiro. Lagi – lagi, suara tawa penuh ejekan tersungging dari wajah mereka yang kasar.
"Takeda telah mencurinya dari kami. Dan, hari ini kami ingin segera mengambil apa yang menjadi hak kami."
"Lucu sekali kalian. Kenapa ketika desa ini masih utuh, ketika Takeda masih hidup, kalian tak datang. Sekarang sudah hancur, kalian baru menuntut. Aku jadi ragu jika katana itu adalah milik kalian."
"Aku sedang tak bernafsu membunuh orang. Lebih baik kalian serahkan katana legendaris itu pada kami, setelahnya kalian boleh pergi dengan damai," kata salah satu dari mereka yang kemungkinan adalah ketuanya.
Orang itu turun dari kudanya. Di punggungnya terdapat dua buah pedang yang panjangnya serupa. Lebih pantas disebut pedang kembar karena memiliki sarung dan bentuk yang sama persis.
"Tuan, biarkan aku saja yang menghadapi mereka. Sudah lama aku tak bertarung. Terakhir kali melawan Fujiwara, aku hanya menjadi pengintai."
"Jika kau mau, silahkan saja. Jangan sampai buat aku menunggu lama, Hideyoshi."
"Baiklah, Tuan," jawab Hideyoshi penuh percaya diri. Dia tersenyum tipis.
Hideyoshi adalah salah satu dari dua mata – mata yang dulu dikirim oleh Hiroshi untuk menyelidiki kekuatan Pasukan Oda. Tanpa sepengetahuan Hiroshi, Hideyoshi bersama rekannya justru adalah tangan kanan Akuta, yang merupakan ninja yang disusupkan oleh Oda ke dalam tubuh Fujiwara.
Dengan cekatan, Hideyoshi segera turun dari kudanya. Dia memiliki keunggulan pada kecepatan dan teknik tangan besi. Selain itu, Hideyoshi juga adalah seorang ahli pedang dari Toyotomi dan bisa membaca pikiran lawan.
"Aku sendiri sudah cukup melawan kalian," kata Hideyoshi sedikit angkuh. Dia menganggap kelima samurai di depannya bukan tandingan yang sepadan baginya.
"Aku malah ingin segera mencobanya," kata samurai itu seraya maju ke depan. Kedua tangannya memegang dua pedang di punggungnya. Dia berlari mendekati Hideyoshi.
Pun demikian dengan Hideyoshi, dia tak mau mendapat serangan lebih dulu. Hideyoshi bergerak maju. Peraduan dua pedang menjadi tak terelakkan. Dengan kemampuan membaca pikiran lawan dan pergerakan cepatnya, Hideyoshi mampu menghindar dari serangan kejutan samurai tersebut.
"Aku bisa membaca dengan jelas semua gerakanmu. Lebih baik kau menyerah saja. Kau tak mungkin bisa menang," Hideyoshi sedikit memberi saran agar samurai itu mundur saja sebelum hal yang tak diinginkan terjadi.
"Sombong sekali. Aku ingin tahu sejauh mana perbedaan keahlianmu dengan ucapanmu itu."
Setelah adu pedang dalam beberapa menit, Hideyoshi membuat gerakan menyerang yang tak bisa dihindari lawannya. Dia sudah membuat samurai itu terdesak.
Sebuah pukulan langsung mendarat tepat di dada samurai itu yang membuatnya terjengkang ke belakang. Samurai lain melompat dan menangkap tubuh temannya yang melayang di udara.
"Hampir saja," kata samurai yang menolong temannya. "Lebih baik kita mundur saja. Dia adalah Hideyoshi dari Toyotomi. Kalau boleh jujur, kemampuannya jauh di atas kita berlima. Orang yang berada di belakangnya kemungkinan adalah ninja dari klan Oda. Tersiar kabar dialah yang memimpin pasukan mengepung Fujiwara dan menaklukannya."
"Hideyoshi dari Toyotomi? Oda?" tanya samurai yang terkena serangan tadi bingung. Salah satu tangannya memegangi bagian dada. Sementara pedang kebanggaan miliknya tergeletak di sebelahnya. "Baiklah. Kita mundur."
Mereka bergegas menunggangi kuda dan pergi menjauh dari rombongan Jiro bersama para pengawalnya.
Hideyoshi yang sudah berniat mengejar mereka ditahan oleh Jiro. Dia mengatakan bahwa kelima samurai itu bukanlah tujuan utama. Malahan misi utama mengejar Akira akan sia – sia saja jika kehilangan jejaknya di tempat itu.
"Apakah pedang di makam Takeda yang mereka incar, Tuan?" tanya Hideyoshi memastikan. Awalnya, Hideyoshi juga ingin memiliki pedang tersebut, tetapi dia tak berani mengatakannya pada Jiro ketika mereka berada di Lembah Akhir.
"Betul, Hideyoshi. Pedang Murasama adalah pedang legendaris yang sudah dikutuk. Jauh sebelum era ninja dimulai, pedang itu sudah ada."
Jiro mengarahkan kudanya ke sisi dalam wilayah Totsukawa. Melintasi jalanan sepi ketika matahari tinggal separo sebelum ditelan bumi semuanya.
***
Di pinggir desa dekat dengan padang sabana, tampak sebuah pepohonan yang hidup bergerombol membentuk seperti benteng. Dari kejauhan, tempat itu terlihat gelap, dengan beberapa burung yang terbang mengitarinya.
Jiro bersama pengawalnya bergerak menuju tempat itu sebelum gelap menyelimuti sekeliling. Mereka bergerak membelah jalur tengah Totsukawa dan berakhir di hutan kecil serupa benteng itu.
"Sepertinya kuda kita tak bisa lebih jauh dari ini," kata Jiro yang kemudian turun dari tunggangannya. Dia menuntun kudanya dan mengikat di sebuah pohon kecil di dekat jalur masuk hutan itu.
Hideyoshi bersama lima pengawalnya mengiyakan dan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Jiro. Mereka berjalan membuntutinya.
Jalur masuk hutan itu berupa tangga menurun ke bawah. Anak – anak tangga yang jumlahnya tak sampai dua puluh itu dibangun dari susunan bebatuan yang sudah diratakan agar menjadi lebih mudah untuk dilewati.
Pepohonan berjejer berantakan di kanan – kiri tanah miring yang membuatnya lebih mirip semak – semak. Di ujung anak tangga, berdiri sebuah gerbang berbentuk gapura kuno dengan ukiran tangan berupa gambar naga di kedua sisi depan penyangganya. Hal itu bisa dilihat meski warna sudah kusam dan beberapa sarang laba – laba yang menutupinya.
Jiro bersama pengawalnya menuruni anak tangga itu penuh takjub sekaligus heran, mengapa di tempat seperti padang rumput itu ada sebuah hutan kecil. Dia bahkan berpikir mungkin hutan itu disengaja dibuat oleh seseorang untuk dijadikan tempat rahasia.
Di balik gapura kuno, terhampar jalan setapak terbuat dari batu – batu kecil yang diratakan berjejer mengular, mengarah pada sebuah rumah kayu di ujungnya. Kanan – kiri jalan setapak itu juga masih dikuasai pepohonan rindang dengan beralaskan rerumputan hijau muda.
Sepanjang jalan, dedaunan tua berwarna cokelat yang hampir menyatu dengan warna hitam mengilap batu – batu kecil, berserakan, menunjukan bahwa tempat tersebut sudah cukup lama tak diurus atau dikunjungi.
Setelah beberapa menit berjalan normal, Jiro bersama Hideyoshi dan lima pengawalnya sampai di depan rumah kayu yang tadi dilihatnya dari depan gapura kuno. Rumah berbentuk persegi seluas empat kali empat meter itu tampak kokoh dengan dinding kayu yang sudah sangat kering dan lama. Cokelat keabu – abuan menjadi warna yang menghiasi bangunan kayu itu.
"Apakah Tuan yakin ini adalah Kuil Yamaguchi?" tanya Hideyoshi dengan wajah datar. Dia masih berpikir bahwa Kuil Yamaguchi hanyalah mitos semata.
"Tentu saja," Jiro menjawab dingin yang membuat Hideyoshi tak bertanya lagi.
Krekk..
Suara khas pintu kayu terbuka ketika Jiro berusaha mendorongnya ke dalam. Seketika, ruangan itu dibanjiri cahaya remang dari luar, tampak tak ada apapun yang terlihat di sana. Hanya lantai berdebu dan tembok kayu seperti bagian luar.
Hideyoshi menjadi ragu bahwa tempat itu adalah Kuil Yamaguchi. Keraguan Hideyoshi semakin menguat dan hampir saja disepakati oleh Jiro.
Sesaat setelah tak melihat apapun di ruangan itu, Jiro sempat berpikir untuk kembali. Namun, niatnya urung dilakukan ketika dia menemukan sebuah buku catatan kecil di dekat batu besar yang tergeletak santai di dekat rumah itu.
Buku kecil bersampul kulit itu memperlihatkan huruf – huruf Kanji yang tersusun menjadi tulisan "Kuil Yamaguchi" di depannya. Jiro membuka buku yang ternyata hanya berisi lembar – lembar kosong. Meski demikian, dia mejadi sangat yakin bahwa Kuil Yamaguchi terletak tak jauh dari tempatnya saat ini. (RS)