Kuil Yamaguchi.
Jiro memerhatikan buku saku berwarna cokelat kekuningan yang ditemukannya di sebelah batu hitam besar, di dekat rumah itu. Buku tersebut sepertinya belum lama tergeletak di sana, sebab kertas masih bersih dan tak banyak debu yang menempel, menunjukkan seseorang secara tak sengaja telah menjatuhkannya.
Ketika buku itu dibuka, Jiro tak mendapati apapun di dalamnya. Dia hanya diam membisu, lalu menyimpannya ke dalam saku yang ada di balik jubah miliknya.
Sekali lagi, Jiro melangkah pelan, dengan dibumbui sedikit ragu – ragu. Tapi di sisi lain, dia tetap yakin bisa segera menemukan Kuil Yamaguchi. Dia kembali mendekati pintu rumah itu dan sekali lagi membukanya. Sorot cahaya remang langsung memenuhi sebagian ruangan di dalamnya.
"Apa yang sedang Anda pikirkan, Tuan?" tanya Hideyoshi yang memerhatikan gelagat aneh pada Jiro.
"Tidak ada. Hanya saja, aku masih berpikir kita sudah dekat dengan Kuil Yamaguchi."
Jiro menyisir seluruh ruangan kosong itu. Dia memeriksa dengan teliti bagian per bagian tanpa ada yang terlewat. Di salah satu sudut ruangan itu, tergantung sebuah tangga menuju atap bangunan. Rasanya cukup aneh di dalam ruangan rumah sederhana itu tersimpan tangga.
Jari – jemari Jiro meraba – raba tangga kayu yang sudah dimakan usia itu. Tangga itu tergantung sejajar dengan kepala Jiro. Setelah itu, Jiro kembali membuka buku yang ditemukannya, berharap menemukan sebuah petunjuk.
Ketika Jiro tengah membalik – balik beberapa lembar kertas polos itu, salah satu dari lima pengawalnya menarik tangga kayu itu ke bawah. Jiro ingin menahannya, tapi sudah terlambat. Tangga itu sudah turun hingga lantai.
"Jangan!"
Srekk..
Ckitt..
Tiba – tiba saja lantai kayu yang sedang mereka pijak, terbuka menganga lebar, meninggalkan lubang gelap di sana. Jiro, Hideyoshi, bersama lima pengawalnya spontan jatuh ke bawah tanpa sempat menyelamatkan diri.
Bughh..
Suara keras benturan beberapa onggok daging manusia dengan lantai tanah di bawahnya cukup keras. Perlahan mereka berdiri di suatu tempat di bawah rumah sederhana itu. Tempat yang gelap dan tak ada penerangan meski hanya sedikit saja. Ruang bawah tanah.
Jiro menyalakan api dari ujung jari telunjuknya untuk menerangi ruangan itu. Dia kembali dikejutkan dengan apa yang dilihat di sekelilingnya. Matanya mengerjap – ngerjap. Tangannya membersihkan debu yang menempel di jubahnya.
"Ruang apa ini?" Jiro membatin.
Sementara masih dalam keterkejutan, lantai yang sekarang adalah atap mereka, yang tadi sempat terbuka, kembali menutup otomatis seperti sedia kala, membuat Jiro dan orang – orang di sekitarnya sempat dibuat panik karenanya.
"Akhirnya kita terjebak di tempat seperti ini. Aku sudah melarang kalian untuk tidak menarik tangga itu."
"Maafkan kami, Tuan. Saya pikir tangga itu bisa kita gunakan untuk menaiki atap rumah, sehingga menjadi lebih mudah untuk memeriksa area sekitar."
"Apa yang membuat Tuan melarangnya? Apakah Tuan mengetahui sesuatu?" tanya Hideyoshi tepat di sisi Jiro. Dia menangkap sesuatu dari balik mimik Jiro saat itu yang terlihat datar.
"Ya, aku menyadari sesuatu. Ada seseorang sebelum kita yang sudah datang ke tempat ini. Aku sangat yakin orang yang telah mendahului kita adalah Akira."
Hideyoshi mengatakan bahwa dirinya memang sempat curiga dengan ruangan itu. Debu di depan pintu masuk terlalu tipis untuk ruangan rahasia dan tidak diketahui banyak orang.
Meski hutan itu tampak mencolok dari kejauhan, namun cerita – cerita di tengah penduduk yang mengatakan bahwa siapa saja yang mendatangi hutan ini, mereka tak akan pernah kembali.
"Cerita dari penduduk itulah yang menjaga tempat ini tetap menjadi misteri dan rahasia meski berada di tengah keramaian."
"Kau benar, Hideyoshi."
"Ruangan ini sangat kontras dengan ruangan di atas."
Dinding berbahan tanah kering dan menjadi sesuatu yang menarik. Beberapa ukiran tentang dua pasukan yang berhadap – hadapan menghiasi salah satu sisi dinding yang diratakan.
Jiro berjalan perlahan di tengah ruangan yang lebih mirip lorong bawah tanah itu. Beberapa langkah dari tempatnya jatuh tadi, Jiro secara tak sengaja menginjak sesuatu seperti ranting pohon yang membuatnya patah.
Krtakk!
Suara patahan yang berasal dari bawah kakinya membuat Jiro memalingkan wajahnya ke tempat itu. Dia kaget bukan kepalang ketika menemukan sebuah tulang kering manusia. Ditatapnya lorong itu di bagian bawah ke depan, ternyata di sana cukup banyak tulang – tulang lain berserakan.
"Bagaimana bisa?" tanya Jiro keheranan.
Hideyoshi dan lima pengawalnya tak kalah terkejut. Mereka berpikir lorong bawah tanah itu serupa pemakaman terbuka, sebab banyak mayat – mayat kering yang sudah menjadi tulang belulang maupun dengan pakaian masih membalutnya. Mereka melihatnya dengan merinding.
Di salah satu sudut yang jaraknya beberapa meter di depan Jiro bersama kelompoknya, terlihat remang – remang sesosok manusia yang bersandar pada tembok, sepertinya orang itu masih hidup. Jiro mendekati orang itu dengan waspada.
Ketika sampai di dekat yang menjadi tempat bersandar orang itu, Jiro mendapati ternyata dia adalah sesosok pria tua yang tengah kehausan. Mulutnya menganga mencari – cari air. Sepertinya dia terjebak beberapa hari di ruangan bawah tanah itu.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Jiro seraya mengulurkan tangan dengan sebotol air bening digenggamannya.
Pria tua itu tak menjawab, dia hanya fokus pada botol minuman itu dan menyesap air di dalamnya dengan cepat sampai tak tersisa. Bunyi beberapa kali tegukan air menandakan bahwa pria tua itu sangat kehausan.
Setelah selesai menghabiskan seluruh air bening dalam botol, pria tua itu tiba – tiba bertanya apakah mereka menemukan buku kecil di dekat rumah itu. Buku kecil itu adalah sebuah buku saku. Jiro awalnya kaget mengapa pria tua itu bisa tahu. Dia akhirnya memilih berbohong dan menjawab bahwa dia tidak menemukan buku saku yang dimaksud pria tua itu.
"Celakalah kita. Tanpa buku saku itu, kita tak mungkin bisa keluar dari lorong bawah tanah itu," kata pria tua yang menyesali nasibnya.
"Kek, katakan padaku mengapa di tempat ini banyak mayat manusia? Siapa sebenarnya mereka?"
"Apa kau tak pernah mendengar tentang reruntuhan Kuil Yamaguchi, Anak Muda?" pria tua itu menyinggung soal kuil yang sedang dicari Jiro.
"Kuil Yamaguchi?" Jiro bertanya seolah tak mengetahui tentang kuil itu. "Itu hanyalah cerita penduduk agar mereka mudah percaya dengan kesaktian leluhur mereka."
"Bodoh!" sergah pria tua itu dengan keras ketika mendengar ucapan Jiro. "Jaga bicaramu, Anak Muda. Kuil Yamaguchi adalah kuil suci yang dibangun oleh arsitek legendaris bernama Samizu Kichiemon atas perintah Tuan Arnius yang bergelar Malaikat Ninja. Dalam beberapa tahun terakhir, tersiar kabar tentang harta karun yang melimpah ruah dengan sebuah permata biru bening yang menjadi primadona. Mayat – mayat yang kalian lihat adalah para pemburu harta karun yang tersesat di tempat ini. Nasib kita akan sama seperti mereka."
"Samizu Kichiemon?" pikir Jiro.
Lima pengawal Jiro menjadi ngeri ketika mendengar cerita dari pria tua itu. Dilihat dari sisi manapun, memang pakaian yang dikenakan pria tua itu mirip dengan pakaian – pakaian para pemburu harta karun, dengan beberapa bagian sudah compang – camping. Pria tua itu tampak memakai penutup kepala yang terbuat dari kain tenun.
"Jika Kuil Yamaguchi memang ada, lalu di mana letaknya? Tidak ada satu pun orang yang menemukannya," Hideyoshi ikut dalam perbincangan itu.
"Samizu Kichiemon adalah orang yang penuh misteri. Ketika dia mendengar gagasan Tuan Arnius yang berniat membangun sebuah kuil rahasia, Kichiemon langsung menyetujuinya. Bahkan, beberapa kisah menyebutkan Kichiemon rela tak dibayar untuk melakukan itu."
"Di mana kuilnya sekarang?" tanya Hideyoshi lagi.
"Kau benar – benar tak mendengarkanku!" pria tua itu menjadi marah karena Hideyoshi tak memerhatikan apa yang dia ucapkan.
Hideyoshi tersentak dan menutup rapat mulutnya.
"Begini, apakah kau memiliki petunjuk di mana Kuil Yamaguchi berada?" tanya Jiro kemudian.
Pria tua itu sebenarnya tak mau menjelaskan lebih rinci, tetapi karena mereka telah memberinya minum, pria tua membuang jauh niat itu.
"Semua petunjuk ada pada buku saku itu. Meski tampak seperti buku biasa dan kosong, sebenarnya di dalamnya memuat banyak informasi tentang Kuil Yamaguchi. Jika kita dekatkan kertas itu pada api, maka tulisan itu akan terlihat jelas."
"Maksudmu, buku saku ini?" tanya Jiro seraya mengeluarkan buku saku dari balik jubahnya.
"Kau, ternyata membohongiku," pria tua itu sedikit muram. "Kau menemukannya di mana?"
Pria tua itu mengambil buku saku yang tadi berada di tangan Jiro, memeriksanya dengan teliti untuk memastikan bahwa buku saku itu benar – benar buku pentunjuk tentang Kuil Yamaguchi.
"Itu tidak penting," jawab Jiro tegas. "Yang ku butuhkan adalah, di mana Kuil Yamaguchi itu berada?"
"Kau seorang maniak harta karun," sindir pria tua itu tanpa tahu siapa pemuda yang sedang berada di depannya.
"Jangan samakan aku dengan kalian," Jiro kesal karena pria tua itu menyebut dirinya sebagai maniak harta karun.
Pria tua itu tak menggubris, dia tetap memeriksa lebih teliti buku saku itu.
"Tidak diragukan lagi, buku ini adalah buku petunjuk yang ditinggalkan oleh Kichiemon untuk menemukan Kuil Yamaguchi. Apakah kalian memiliki api?"
Jiro segera mengeluarkan kemampuannya. Dia memamerkan api di ujung jari telunjuknya dengan mengubahnya menjadi beragam warna; merah, hijau, kuning, biru, hingga hitam.
"Selain pemburu harta karun, ternyata kau seorang ahli sulap," kata pria tua itu yang sama sekali tak menunjukan wajah terkejut.
Lagi – lagi Jiro dibuat kesal. Tetapi karena dia sangat membutuhkan informasi dari pria tua itu, amarahnya ditahan sejenak.
***
Pria tua itu mendekatkan lembar pada halaman pertama buku saku itu ke api milik Jiro. Tampaklah tulisan tangan muncul di lembar kertas itu. Beberapa petunjuk tertera, termasuk clue yang menjadi kata kunci sebelum menemukan Kuil Yamaguchi. Seperti misalnya ke atas berarti ke bawah.
Jiro menjadi senang bukan main karena dia sangat dekat dengan Kuil Yamaguchi. Pria tua itu mengatakan bahwa lokasi Kuil Yamaguchi ada di bawah rumah sederhana di tengah hutan kecil itu. Dan, lorong gelap yang mereka pijaki adalah pintu awal menuju Kuil Yamaguchi. (RS)