Lorong bawah tanah!
Mereka berkumpul, mengelilingi orang tua itu ketika dia baru saja selesai membacakan peraturan menuju Kuil Yamaguchi yang terdapat di dalam buku saku itu. Nama Kichiemon yang disebut – sebut pria tua itu menarik perhatian Hideyoshi.
"Jika sudah melibatkan Kichiemon, sesuatu yang mustahil bisa berubah menjadi sebuah kemungkinan dalam sekejap," kata Hideyoshi memuji sosok yang dianggap sebagai arsitektur terbaik di zaman awal Fujiwara berkembang.
Jiro kaget ketika Hideyoshi mengatakan itu. Awal perkembangan Fujiwara berarti terjadi pada dua abad silam. Fujiwara semakin dikenal luas setelah menang dalam Perang Sekigahara di dekat Hutan Aokigahara.
Dua abad berlalu dan sejarah kembali diukir. Kali ini Fujiwara merasakan apa yang dulu dirasakan Fukushima Masanori ketika melihat keruntuhan Kekaisaran Fushimi. Mirisnya, di tempat yang hampir berdekatan.
"Kau tahu tentang Kichiemon?" tanya Jiro menoleh. Lorong gelap itu tak membuatnya kebingungan menatap siluet Hideyoshi.
"Ya. Dia dikenal sebagai ahli kontruksi bangunan. Aku menjadi tidak terkejut ketika mendengar bahwa tempat ini adalah salah satu karyanya yang besar."
Jiro pun pernah mendengar nama Kichiemon, tapi tak sedetail yang dibicarakan Hideyoshi. Dia hanya pernah mendengar Kichiemon adalah salah satu seniman dalam bidang konstruksi bangunan yang dekat dengan pemimpin Fujiwara. Tak lebih.
Pria tua di sebelah Jiro hanya diam saja. Nama Samizu Kichiemon sudah sangat melekat erat di kalangan pemburu harta karun. Sebab, Kichiemon disebut sebagai orang paling bertanggung jawab dalam setiap bangunan penuh misteri yang menyimpan perhiasan maupun barang berharga.
"Tapi, ngomong – ngomong, siapa namamu, Kek?" tanya Hideyoshi menepuk bahu pria tua yang masih terduduk di dekat tumpukan tulang – belulang, sejak kedatangan mereka tadi.
"Tadaichi," jawabnya singkat. Suaranya pelan tapi terdengar jelas.
Sejenak menjadi hening.
"Ada satu yang masih mengganjal di kepalaku," kata Tadaichi membuyarkan kesunyian yang merayapi suasana di tempat itu dalam beberapa waktu.
Jiro langsung menoleh ketika mendengar pengakuan Tadaichi. Dia tak tahan untuk bertanya, "Apa yang mengganjal di kepalamu?"
"Kelompok Och."
Selama mencari reruntuhan Kuil Yamaguchi bersama harta karun yang tersimpan di dalamnya, Tadaichi mengaku belum menemui kabar tentang Kelompok Och, sebuah organisasi terkenal yang memburu harta paling berharga.
Kelompok Och dipandang sebagai salah satu kelompok yang memiliki kapabilitas untuk dijadikan tolok ukur, apakah sebuah perhiasan patut diperebutkan atau tidak. Jika Kelompok Och mengejar sebuah perhiasan, itu menandakan barang tersebut amat berharga.
Nama Kelompok Och sudah sangat menjual dan bernilai tinggi di dunia perhartakarunan. Mereka mirip timbangan untuk menakar seberapa berharganya sebuah perhiasan.
"Kelompok Och? Apakah mereka semacam kumpulan para ninja pelarian?" tanya Jiro penuh telisik.
"Tidak ada yang tahu. Mereka selalu berada di balik topeng. Satu hal yang pasti, kelompok itu selalu mendeklarasikan perburuan harta karun melalui kertas kecil dengan dibubuhi identitas topeng mereka. Sejauh ini mereka hanya memburu barang – barang yang paling berharga."
"Aku pernah mendengar kabar itu," kata Hideyoshi nimbrung.
Hideyoshi mengingat – ingat cerita dari beberapa orang di desanya yang sempat berkhayal, suatu saat bisa ikut ambil bagian dalam petualangan Kelompok Och. Ketika mendengar impian mereka, Hideyoshi hanya mengangguk pelan, mengiyakan saja, karena memang tak berminat pada perburuan harta karun.
***
"Sebenarnya aku penasaran, apa yang hendak kalian cari ketika sampai di dalam Kuil Yamaguchi?" Tadaichi menatap wajah tujuh orang di depannya, yang tampak samar di balik cahaya remang dari api kecil yang menyala di ujung jari Jiro.
Jiro menjawab pertanyaan itu dengan santai, "Apa yang hendak kami cari? Yang jelas kami bukan pemburu harta karun. Kami hanya sedang mencari seseorang."
"Hahaha.." Tadaichi menjadi tertawa geli usai mendengar pengakuan Jiro. Menurutnya sangat aneh. Padahal sudah jelas tidak ada orang lain selain mereka berdelapan di lorong bawah tanah itu.
"Tidak ada satupun orang yang selamat di sini. Hanya aku, lalu kalian baru saja datang," kata Tadaichi kemudian, menyusul tawanya yang mulai reda.
"Terserah kau saja!"
Jiro masih dengan nyala api di ujung jari telunjuk bergerak melangkah ke dalam lorong. Ruangan gelap yang kemudian disirami cahaya remang menjadi sangat eksotis.
Meski sudah tua, Tadaichi berdiri gesit, lalu mendekati Jiro. Tanpa mengatakan satu – dua patah kata pun, telapak tangan Tadaichi merenggut api di ujung jemari Jiro yang sedang menyala bebas di ruang hampa, lalu memadamkannya dengan segera. Lorong itu kembali menjadi gelap gulita.
"Apa yang kau lakukan, Bodoh!" pekik Jiro dengan nada kasar.
Beberapa detik kemudian, obor api yang terpasang di beberapa titik tembok, menyala terang, mengular sepanjang lorong tak berujung yang tak lebih dari satu setengah meter lebarnya. Sekarang, tempat itu memiliki pencahayaan yang cukup.
"Ingat! Aturan di tempat ini berkebalikan. Jika ke atas berarti ke bawah, maka gelap berarti terang."
Jiro baru memahami tindakan Tadaichi barusan. Padahal beberapa menit yang lalu mereka membaca aturan di dalam buku saku itu, tetapi mereka sudah lupa. Justru orang tua bernama Tadaichi itu yang memiliki ingatan dan intuisi yang kuat.
***
"Baiklah, Kek. Kau yang memimpin ekspedisi ini dan berjalan di depan," Jiro memberi perintah tanpa meminta persetujuan Tadaichi. "Tak perlu banyak berdebat. Waktuku sangat berharga."
Tadaichi berjalan pelan, menyusuri lorong panjang berbentuk kotak. Dalam beberapa waktu kemudian, mereka sampai pada sebuah ruangan. Di tempat itu terdapat air mancur yang mengalir ke sebuah kolam berisi ikan – ikan koi. Sementara di sisinya terdapat dua lorong dengan bentuk yang mirip.
Mereka memeriksa ruangan seluas empat kali empat meter itu. Berharap menemukan sesuatu yang bisa dijadikan sebagai petunjuk baru untuk menemukan Kuil Yamaguchi. Jiro baru merasakan, menemukan kuil tersebut tak semudah dalam bayangannya.
Brugh..
Salah satu pengawal Jiro tak sengaja mendorong sebuah tombol sebesar batu bata di tembok. Jiro langsung mendekati tombol yang terbenam ke dalam tembok itu.
Tadaichi meneriaki mereka untuk segera menunduk. Jiro, Hideyoshi dan dua pengawal lainnya menunduk sambil memegangi kepala mereka. Sementara tiga pengawal lainnya malah seperti orang kebingungan melihat tingkah rekannya. Tiga orang itu malah saling bertanya – tanya, mengapa mereka menunduk?
Srett.. srett..
Sistt.. sistt..
Beberapa anak panah meluncur deras dari atas kolam. Rentetan serangan anak panah mengarah tepat ke tempat di mana tiga pengawal itu berdiri. Mereka seperti terpaku.
Zrakk..
Anak – anak panah yang berasal dari busur otomatis itu, langsung menghujani tiga pengawal yang tetap berdiri tak bergeming, tepat menancap pada leher mereka.
Seketika darah segar mirip saus tomat mengucur seperti kran air, bercipratan di tembok maupun di lantai lorong. Tak berselang lama, mereka sekarat, lalu mati di tempat. Tubuhnya bergelimpangan ambruk.
"Bodoh!" gerutu Jiro yang melihat tiga pengawalnya mati sia – sia dalam waktu yang hampir bersamaan. Padahal Tadaichi sudah berteriak kencang untuk menunduk. Jiro menjauhkan tangannya dari atas kepala yang tadi berusaha menutupi, lalu berdiri normal.
"Sudah ku bilang, tempat ini memiliki aturan yang terbalik, penuh jebakan dan misteri," Tadaichi mengulang lagi penjelasannya. Entah berapa kali dia harus mengingatkan.
"Sederhana tapi merepotkan. Benar – benar karya unik dari seorang pengagum misteri sejati. Tak heran Kichiemon mendapat gelar sebagai Master Arsitek dari banyak orang," Hideyoshi memuji sekaligus mengeluh dengan aturan yang dibuat Kichiemon. Hideyoshi memahami, sejak membuka pintu rumah itu beberapa waktu lalu, sama saja ikut bergabung dalam permainan Kichiemon.
Jiro berpaling dari tiga mayat, yang beberapa menit lalu masih hidup bersamanya. Dia berjalan mendekati dua lorong di dekat kolam ikan. Dia meraba – raba, memeriksa, hendak memilih akan melewati lorong yang mana. Dia tak mau kejadian seperti yang menimpa tiga pengawalnya, terulang lagi.
Sejurus kemudian, Jiro memberi saran, lebih tepat disebut sebagai perintah, untuk orang yang masih tersisa lima nyawa itu menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama diisi Tadaichi, Jiro, bersama seorang pengawal. Sementara Hideyoshi dan satu pengawal sisanya membentuk kelompok lain. Jiro mengambil lorong sisi kiri untuk diselidiki.
Mayat ketiga pengawal itu dibiarkan tergeletak begitu saja di mulut lorong yang tadi mereka lewati. Sebab, tempat itu memang sejak awal dibuat untuk mengubur orang – orang bodoh yang berniat datang ke Kuil Yamaguchi.
"Kita bertemu di tempat ini dua jam dari sekarang," kata Jiro penuh penekanan. "Jika sebelum dua jam menemukan sesuatu yang mencurigakan, langsung bergerak temui kelompok lain."
Mereka pun segera berpisah.
***
Setelah berkeliling selama dua jam, mereka kembali lagi ke tempat yang telah disepakati bersama. Jumlah mereka masih utuh dan kemudian merundingkan apa yang telah mereka temukan.
"Apa yang sudah kau temukan di lorong itu, Hideyoshi?" tanya Jiro memulai perbincangan. "Apakah ada sesuatu yang mencurigakan di sana?"
Hideyoshi diam sejenak, lalu berkata, "Kami menemukan sebuah pintu besar yang terdapat motif kepala naga di tengahnya. Tapi kami belum melihat apa gerangan yang ada di balik pintu itu."
"Sebuah pintu dengan motif kepala naga di tengahnya?" tanya Jiro memastikan. "Kau yakin dengan apa yang kau lihat?"
"Sangat yakin, Tuan."
"Baiklah. Kami tak menemukan apapun di sepanjang lorong di sebelah kiri itu. Kami hanya berputar – putar, seperti sebuah labirin tak berujung," kata Jiro lirih.
Suasana kembali hening. Semua terhenyak dalam sepi.
"Jadi, ku pikir kita perlu mendatangi dan memeriksa pintu yang mencurigakan itu," Tadaichi memberi masukan.
"Itu yang ingin ku katakan," kata Jiro menyela ucapan Tadaichi.
Lalu, semuanya mengangguk tanda setuju. (RS)