Lampu-lampu kelap-kelip dan suara bising masih melingkupi rumah Ethan. Bau alkohol di mana-mana, suara musik masih melantun dan teriakan demi teriakan penuh sesak.
Sudah berjam-jam lamanya Ethan dan teman-temannya berpesta. Terhitung sejak sore tadi, mereka belum saja lelah. Seperti remaja kebanyakan yang terkekang oleh rumah dan keluarga, mereka sekarang seolah bebas melakukan apapun yang ia suka. Musik, minuman keras dan pasangan, lengkap.
Seena menuruni tangga dengan terburu-buru, bau alkohol bercampur keringat membuatnya mual. Namun, Seena tetap lanjut turun dan mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Satu demi satu, namun ia tak menemukan Ethan di mana pun.
Seena menepuk pundak seseorang. "Di mana Ethan?" tanya Seena setengah berteriak berusaha mengimbangi suara bising-bising itu.
Gadis yang ia tepuk pundaknya berbalik. "Hei! Kenapa kau bisa di sini?" tanyanya ketus. Beberapa temannya yang sedang berjoget pun menoleh dan memojokkannya.
"Dasar tidak tahu malu! Kau datang meskipun tidak diundang?" teriak lainnya membuat Seena frustasi.
Seena tak mengatakan apapun dan langsung menemui Bianca dan Sam yang hampir tidak sadarkan diri. Sebenarnya, hanya tersisa beberapa orang saja yang masih dengan otak warasnya. Jika guru mereka tahu, habislah sudah. Selain usia mereka belum legal untuk pesta seperti ini, sikap yang mereka lakukan di rumah Ethan pun terbilang hampir di atas batas wajar.
"Bi, Sam, kau lihat Ethan?" tanya Seena beberapa kali mengusap keringatnya karena udara begitu panas.
Bianca memicingkan mata. "Ah, kau sudah menemukan bramu?" tanyanya setengah teler. Sam sudah ambruk dan tertidur di pangkuan Bianca.
"Belum. Aku harus mencari Ethan, di mana dia?" ulang Seena. Bianca yang setengah sadar langsung menunjuk ke luar ruangan, di halaman rumah.
Tak perlu pikir panjang, Seena langsung berlari dengan cepat dan pergi mencari Ethan. Ia sudah melupakan barang yang ingin ia dapatkan kembali. Ada hal yang lebih penting dari itu.
"Ethan! Ethan!" teriak Seena selantang-lantangnya sampai tenggorokannya sakit.
Seena mengedarkan pandangan ke seluruh halaman rumah, ia mulai mencari di tempat yang tidak terlalu luas itu. Di teras belakang, kolam renang yang sudah tidak terpakai hingga bengkel di halaman depan. Dan, seseorang tengah menundukkan tubuh di semak-semak.
Langkah Seena yang kelelahan terhenti di belakang orang itu. Kaki Seena gemetar, tubuhnya panas dingin dan air mata menetes tak ingin berhenti.
"Hoek! Hoek!" Seorang pria memuntahkan isi perutnya. Seperti yang Seena duga, Ethan.
"Ethan!" teriak Seena berteriak dan membiarkan air mata mengalir deras di wajahnya. Entah sedih atau kesal, semua amarah ingin ia tumpahkan.
Ethan menoleh ke arah Seena. Ia menatap Seena dengan tatapan kebingungan sekaligus kesal karena gadis itu tiba-tiba menyeretnya. Seena masih menangis dan membuat Ethan tanpa pikir panjang mengikuti langkahnya. Mereka sudah membelah pesta lagi dan menaiki anak tangga.
Seolah baterai habis, orang-orang sudah banyak yang pulang atau terkapar karena terlalu mabuk. Beberapa orang duduk-duduk menghabiskan waktu yang tersisa dan tak menyadari kehadiran Seena dan Ethan yang berjalan di tengah-tengah mereka.
"Kenapa kau ada di sini?" tanya Ethan untuk kesekian kalinya. Namun, Seena mempererat tarikan tanpa menjawab apapun.
Ethan merasakan perutnya seperti diputar-putar hingga merasakan mual luar biasa, bahkan ia mulai sadar karena rasa sakit itu. Namun, tubuhnya yang lemah membuatnya tak mampu memberontak dari sikap Seena yang seenaknya. Setengah terhuyung-huyung, Ethan menyeret kakinya melewati anak tangga.
Tiba-tiba mereka berdua sudah di ambang pintu. Seena mendorong pintu dan sesaat kemudian melepaskan genggamannya.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Seena masih menangis.
Ethan mengerutkan kening. "Ha?" Respon Ethan bingung.
Tak banyak hal yang Seena pikirkan, ia langsung meraih gelas berisi air di sisi ranjang dan menyiramkan ke wajah Ethan dengan frustasi. Ethan mulai sadar sekaligus merasa kesal. Hingga ketika Seena menunjuk ke arah ranjang, wajah Ethan berubah. Akal sehatnya kembali, matanya melebar dan bergantian menatap Seena.
"Apa yang kau lakukan? Kau membunuhnya!" teriak Ethan kalang kabut.
"Aku tidak melakukan apapun. Aku melihatnya sudah begini, apa yang harus kita lakukan!" teriaknya membuat Ethan bertambah panik.
"Kau sudah menelepon ambulans?" tanya Ethan langsung diiakan oleh Seena. "Christ! Christ!" teriaknya seraya mengoyangkan tubuh Christian.
Namun, keadaan Christian cukup mengkhawatirkan. Ia kejang-kejang dan memegangi dadanya seolah jantungnya akan meledak. Mata Christian terpejam, namun mengeluarkan air mata. Selain itu, dari mulutnya keluar butiran putih kecil. Seena menyadari bahwa itu obat yang sebelumnya ia lihat.
"Tidak ada waktu. Kita harus membawanya ke Rumah Sakit, sakitnya kambuh," ujar Ethan meraih kedua tangan Christian dan meletakkannya di punggung.
Seena menatap Ethan panik, lalu membantunya agar tubuh Christian berada di punggung. Seena dapat melihat sisi Ethan yang lain, sisi yang sebelumnya tidak ia kenal.
"Mobilku sedang bermasalah, kau ada mobil?" tanya Ethan membuat Seena memutar otak, lalu ia mengangguk dengan cepat dan mengisyaratkan untuk turun.
Ethan berhasil menggendong Christian di punggungnya, ia kemudian turun melewati ruangan yang hampir kosong, entah ke mana teman-temannya. Keadaan ruangan sangat berantakan dan menyisakan beberapa orang yang tertidur atau terjaga namun mabuk parah.
"Tetaplah sadar, Chris," tegas Ethan khawatir dan berkali-kali menguatkan sahabatnya itu.
***
Keadaan rumah sakit lumayan sepi karena tengah malam. Hanya beberapa perawat dan satu dokter yang terlihat bertugas di ruang UGD. Memang begini keadaan rumah sakit seharusnya, hening.
Malam itu, udara dingin masuk dengan kejam. Pergantian musim menjadi faktor utamanya. Rasanya benar-benar menusuk-nusuk hingga dingin masuk ke tulang-tulang.
"Chris! Chris!" gumam Ethan seraya mengatupkan kedua telapak tangannya.
Seena baru saja kembali seraya membawa sebotol air mineral dan kopi. Ia langsung memberikannya pada Ethan.
"Boleh aku minta yang itu?" tanya Ethan tak tahu malu seraya memberikan air mineralnya lagi dan meminta ganti.
Seena memberikan sekaleng kopi hangat yang ia pegang dan tidak mengambil botol air mineralnya. Ia yang baru saja duduk langsung berdiri.
"Mau ke mana?" tanya Ethan lagi menatap punggung Seena.
"Minumlah keduanya, kau harus menghilangkan mabukmu," jawab Seena santai. "Aku ke toilet sebentar, tunggulah dia," lanjut Seena tanpa di jawab oleh Ethan.
Gadis itu sudah berlalu meninggalkan Ethan yang termenung sendirian. Hingga, tiba-tiba seseorang keluar dari ruangan. Seorang pria berusia sekitar empat puluh tahunan, mengenakan jas putih dokter.
"Dia sudah melewati masa kritisnya. Ia hanya sedikit stres dan overdosis obat tidur. Tolong untuk beberapa hari ke depan ia berhenti mengonsumsi obat tidur," ujar dokter itu membuat Ethan sedikit terkejut.
"Apa saya boleh melihatnya?" tanya Ethan hati-hati.
"Untuk hari ini pulanglah, besok ketika dia dipindahkan ke kamar inap, baru kau boleh menemaninya," tegas sang dokter seraya berlalu meninggalkan Ethan yang dalam kecemasan.
Ethan kembali duduk menunggu Seena yang tak kunjung kembali. Rasanya terlalu lama ia menunggu dan menimbulkan ketidaktahuannya. Namun, ia tak begitu mempedulikan itu. Ethan menitikkan air mata satu persatu, ia menjadi lebih emosional ketika mabuk dan Seena tak boleh melihatnya dalam keadaan begitu.
***
Langit mulai terang dengan cahaya matahari menembus dinding-dinding kaca. Beberapa suster dan dokter yang bertugas lebih terlihat aktif daripada sebelumnya. Perlahan, Seena membuka matanya perlahan dan menemukan dirinya tertidur di kursi yang berada di depan mesin minuman otomatis.
Tubuhnya terasa lelah dan kedinginan, ia menemukan atap putih di hadapannya. Seena mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan terbuka itu. Dua mesin minuman otomatis, kantin yang baru saja buka dan beberapa orang yang lalu lalang. Ia ingat kalau dirinya begitu mengantuk dan duduk di kursi tadi malam. Namun, ia tak menyadari akan berbaring dan tertidur di sini.
Seena bangun dari pembaringannya, ia merasakan tubuhnya begitu lelah dan sakit karena kursi besi yang ia tiduri. Ia duduk dan menyadari sebuah jaket jatuh ke lantai, jaket yang membantunya menghalau dingin. Menyadari sesuatu selain itu, ia menoleh ke kiri dan menemukan seorang pria duduk di sebelahnya, pria itu memejamkan mata dan melipat tangan di dada, Ethan.
"Kau sudah bangun?" tanya Ethan setengah bergumam masih menutup matanya.
Seena terdiam sesaat. Pantas saja kepalanya terasa lebih enak, ia tidur di paha Ethan. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Seena hati-hati.
Pria itu masih memejamkan mata dan beberapa kali mengeratkan pelukannya pada diri sendiri. Ia mengenakan kemeja putih lengan pendek semalam, Seena baru menyadari jaketnya sudah menutupi tubuhnya sejak semalam.
"Aku menunggumu dua jam dan kau ternyata tidur di sini. Aku mau menghubungimu namun tidak memiliki nomormu," Ethan belum membuka mata.
"Ah ya, aku ketiduran," sahut Seena malu.
Ethan bergumam seraya mengangguk-angguk. Lalu berkata, "Pulanglah, istirahatlah di rumah."
Seena memutar matanya berpikir. Ia menutup tubuh bagian depan Ethan dengan jaket, bersamaan dengan itu Ethan membuka matanya karena terkejut.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Seena serius, dijawab dengan anggukan oleh Ethan. "Baiklah, aku akan pulang. Sampaikan salamku padanya," tambah Seena dijawab anggukan sekali lagi.
Lalu, gadis itu bangkit dari kursinya dan meninggalkan Ethan sendirian. Mau tidak mau, Ethan pun harus kembali ke ruangan Christian lagi.
"Shit!" umpat Ethan ketika merasakan salah satu pahanya kaku. Kepala Seena benar-benar berat.
Suara bising di koridor mulai terdengar, tidak seperti malam tadi. Beberapa orang berkumpul di depan ruangan Christian membuat Ethan begitu terkejut. Ia lalu berjalan lebih cepat untuk mencapai tempat itu.
"Dia Christian Barnes!" teriak seorang gadis berpakaian pasien.
Beberapa orang berkumpul dan mengintip dari jendela. "Aku harus meminta tanda tangannya," timpal seorang suster.
"Dia sangat tampan seperti yang orang-orang katakan!"
"Aku harus mengambil fotonya!"
"Aku harus memamerkan pada teman-temanku. Tak masalah harus sakit selama bisa melihat Christian!" Riuh di sana langsung berhenti ketika Ethan menerobos masuk tanpa pamit.
Ethan mendorong lalu menutup pintu dengan kasar. Reputasi Christian bisa saja turun kalau-kalau orang-orang itu memfoto dan mengirim hal-hal tidak benar di media sosial. Ethan bangkit dan langsung menarik tirai hingga menutup seluruh jendela, membuat orang-orang di luar sana kesal dan marah. Namun, akhirnya kerumunan itu bubar juga.
"Kapan kau bangun?" tanya Ethan lebih pada dirinya sendiri.
Christian berbaring tak berdaya. Tubuhnya terasa dingin dan lemah. Ia masih tak sadarkan diri.
Ethan melangkah mendekati jendela yang menghadap keluar. Ruangan Christian berada di lantai lima, jadi Ethan merasa aman dengan membuka jendela menampilkan cahaya matahari yang masuk dengan cepat.
"Kau selalu memaksakan diri sendiri," ujar Ethan pelan. Ia menatap keluar menopang wajah dengan kedua tangannya.
Tak terasa persahabatan mereka hampir sepuluh tahun terjalin. Ethan lupa kapan pertama kali mereka bertemu. Hanya saja ia ingat kalau Christian selalu mengejar-ngejarnya, meminta ia menjadi sahabatnya. Christian, ia mengenalnya sebagai anak kecil cengeng.
Tiba-tiba Ethan mengingat sesuatu. Malam tadi, tubuhnya begitu lemah sekaligus emosi yang naik-turun membuatnya menangis sejadinya. Hingga sepenuhnya ia sadar dari mabuk dan mulai mencari Seena, lalu menemukannya di kantin rumah sakit. Ada rasa mengganjal di hati Ethan semalam.
Ingatan samar-samar saat setengah mabuknya itu membuat kepalanya tiba-tiba sakit. Air matanya menetes di sudut mata meninggalkan bendungannya. Ethan merasakan tubuhnya menggigil, namun napasnya tercekat. Ethan menangis dalam diam di sudut ruangan menatap jalanan di kejauhan.
"Saya sarankan agar dia menemui psikiater atau psikolog," ujar dokter yang semalam merawat Christian sebelum pergi.
***