Chereads / My Bra Accident / Chapter 8 - 8. Dilemma

Chapter 8 - 8. Dilemma

Sorak-sorai masih jelas terdengar hingga dibubarkan oleh suara bel. Namun, masih beberapa tetap tinggal untuk sekadar bolos masuk kelas atau melihat sesuatu yang tanggung.

Stefan melepaskan ciumannya dari bibir Seena. Ia menepuk pelan kepala kekasihnya itu membuat beberapa orang cemburu. Bagaimana pun, Stefan pernah menjadi cinta pertama gadis-gadis di sana.

"Sampai kapan kau di sini?" tanya Seena menatap kekasihnya dengan hangat.

Stefan berpikir sejenak. "Besok sore?" jawabnya tidak yakin.

"Kenapa begitu cepat?" tanya Seena lagi dengan ekspresi kesal. Sementara itu, Stefan tertawa.

"Mau menginap?" tawar Stefan menggoda membuat gadis itu tertawa. "Aku di ruang kepala sekolah. Nanti kita pulang bersama, ya," lanjut Stefan dijawab anggukan mantap oleh Seena.

Akhirnya mereka berpisah mengambil jalan berlawanan. Rasanya sudah sangat lama Seena dan Stefan tidak bertemu. Apalagi Stefan yang mendadak hilang selama sebulan belakangan, membuat Seena khawatir.

Kelas baru saja dimulai, untungnya ia tidak terlambat masuk kelas. Di sana sudah ada Janice yang siap menggoda, sementara Bianca menatapnya tajam. Bagaimana pun, Bianca memang tidak menyukai hubungan Seena dan Stefan. Apalagi, sejak Seena dan Stefan berpacaran, selalu saja banyak yang mengganggu Seena. Tentu saja karena julukan Pangeran Stefan bukan omong kosong.

"Kau sudah selesai membaca bukuku?" tanya Bianca dijawab Janice dengan cengir-cengir. "Kalau kau tidak membacanya, Sam ingin membacanya," lanjutnya ketus.

Janice merengut. "Nanti akan kuselesaikan, dasar pelit!" gerutu Janice kesal.

Bianca tak merespon, ia kembali menghadap ke depan kelas meninggalkan Janice dan Seena yang menatapnya bingung. Hingga, guru pelajaran terakhir masuk kelas.

Dua jam berlalu begitu lama bagi Seena, namun akhirnya datang juga. Seena buru-buru memasukkan buku ke dalam tas dan keluar kelas dengan cepat meninggalkan Janice dan Bianca tanpa kata-kata.

Sekarang Seena berada di depan ruang kepala sekolah. Ruangan di lantai satu yang sangat besar di bandingkan ruangan lainnya, hampir setengah dari aula atau ruang astronomi. Tembok berwarna cokelat itu memiliki pintu kayu yang sangat tinggi, tingginya hampir menyentuh langit-langit. Seena mulai mendekati pintu masuk lalu menempelkan telinganya berharap dapat mendengar sesuatu di sana. Namun, sia-sia.

"Apa yang kau lakukan?" tanya seorang gadis dengan tatapan sinis. Beberapa temannya pun demikian.

"Setelah Stefan, kau mau menggoda Mr. Alexander juga?" tanya gadis yang lainnya.

Seena hanya mendengus dan mengeluarkan ponsel untuk menghubungi Stefan. Gadis-gadis itu tertawa setengah meledek masih tidak beranjak dari sana.

"Dasar jalang tidak tahu malu!" umpat gadis pertama namun masih diacuhkan oleh Seena.

Tiba-tiba tanpa Seena sadari, sebuah tangan melayang di hadapannya. Hampir saja menyentuh wajahnya, namun seseorang mencengkeram tangan itu dengan erat.

"Ethan," ujar Seena pelan, Ethan menoleh sekilas padanya lalu kembali menatap tersangka di hadapannya.

"Bisakah kalian tidak mengganggu orang lain?" Ethan menggertak.

Gadis di hadapannya mengeraskan rahang tak terima. Sementara, teman-temannya hanya melihat dengan ekspresi bingung.

"Kenapa kau?" Gadis itu menatap Ethan tajam, hingga Ethan kembali mengeratkan cengkeramannya. "Lepas!" bentak sang gadis membuat Ethan terpaksa melepaskannya.

Gadis lainnya melirik ke arah Seena. "Kau juga menggoda Ethan? Kau tidur dengannya?" tanyanya menohok.

Seena masih diam hingga tatapan tajam Ethan membuat mereka akhirnya pergi dengan segala kekesalan yang menumpuk menunggu dilampiaskan suatu saat. Mereka sudah menghilang di tikungan koridor meninggalkan hanya Seena dan Ethan.

Ethan hendak pergi, namun Seena memegang pergelangan tangannya. Sejenak Ethan melihat ke arah pergelangan tangannya, lalu ia berbalik melihat Seena yang tersenyum lebar di hadapannya.

"Sayang!" Seseorang membuka pintu, Stefan. Refleks Seena langsung melepaskan tangan Ethan begitu saja.

Ethan mendengus. Lalu, pergi tanpa pamit dengan ekspresi wajah yang tidak berubah. Tatapan dingin yang seharusnya sejak dulu selalu ia tampilkan pada publik.

"Siapa?" tanya Stefan membuat Seena menoleh ke samping, sudah tak ada Ethan di sana.

Beberapa kali ia mengedarkan pandangannya, masih tak menemukan Ethan di mana pun. Akhirnya, ia kembali menatap Stefan memberikan senyum lebar seperti biasanya.

"Ah, bukan siapa-siapa," jawab Seena seraya menggandeng tangan Stefan.

Kekasihnya itu hanya tersenyum dan mengangguk-angguk. Lalu mereka meninggalkan sekolah untuk menghabiskan waktu, sekadar meringkas setahun belakangan menjadi sehari.

***

Bianca meneguk sodanya hingga habis. Entah sudah berapa lama dirinya menjadi cukup akrab dengan Ethan dan juga, Christian. Kalau seisi sekolah tahu hubungan pertemanannya dengan Christian, seorang bintang terkenal, pasti akan ada banyak orang yang memburunya seperti pesta yang gagal karena Christian tidak ikut di sana. Sejak saat itu, semua orang kecewa pada Ethan, namun seminggu setelahnya kembali seperti semula bahkan Ethan semakin akrab dan membawa beberapa wanita ke rumah untuk bersenang-senang.

Mereka sudah dua jam lebih berada di sini dan menonton film bersama. Film pertama, I am Legend tahun 2007 yang dibintangi oleh Will Smith sudah selesai ditonton. Akhirnya, mereka akan lanjut ke film berikutnya, film romantis berjudul After yang dibintangi oleh Josephine Langford dan Hero Fiennes Tiffin.

"Sepertinya pacarmu sedang frustasi," ujar Ethan pada Sam, ia tak sepenuhnya menikmati menonton film romantis, memang bukan salah satu genre yang ia suka.

Christian yang sudah dua minggu menginap sekilas memperhatikan mereka. Untungnya, Anneth memberikannya istirahat selama yang diinginkan Christian sehingga ia dapat istirahat lebih banyak. Atau sekadar untuk bersenang-senang. Bagaimana pun, ia tidak pernah merasa pertemanan sebesar sekarang sejak menjadi model. Ia benar-benar merindukan kehidupan seperti orang biasa.

Sam melirik ke arah Bianca. Gadisnya itu sedang fokus dengan ponselnya, hampir melupakan keberadaan orang-orang di sekitarnya. "Kenapa kau?" tanyanya tidak peka.

Ethan melirik ke arah gadis itu. Sementara Sam bertanya, Bianca tak menjawab, ia justru hanya menatap kekasihnya tajam. Christian tertawa memperhatikan keduanya disusul dengan tawa Ethan dan Kevin ketika melihat ekspresi ketakutan di wajah Sam atas tingkah kekasihnya.

"Dia sedang kesal dengan Seena," sahut Janice yang sejak tadi memainkan ponselnya karena paham dengan sikap Janice sejak pagi.

Ethan melirik sekilas ke arah Janice dan berpura-pura tak peduli. Sementara itu, Christian, Kevin dan Sam memperhatikan Janice dengan serius. Tak tahu sejak kapan enam orang itu membentuk perkumpulan seperti ini, relatif seminggu dua kali mereka akan berkumpul di rumah Ethan. Tentunya, Ethan tidak pernah mengundang mereka datang.

"Kenapa?" tanya Christian penasaran.

Janice mengambil keripik lalu memasukkannya ke mulut. Sementara itu, Ethan berpura-pura menonton acara televisi dengan serius.

"Shit!" umpat Bianca membuat terkejut teman-temannya. Bahkan, Ethan.

Semuanya menatap Bianca dan hendak memarahinya. "Kau ini!" gerutu Sam melotot.

Bianca mengangkat ponselnya, menunjukkan sesuatu pada mereka semua. Semuanya mendekat dan membaca isi pesan itu, kecuali Ethan.

"Apa yang harus kulakukan?" tanya Bianca lemah.

Ethan menoleh. "Jawab saja kalau kau tidak bisa," usul Kevin. Semua orang mengangguk.

"Dia tidak akan menyerah, setidaknya dia akan menghubungiku," ujar Janice membuat ketiga pria yang sedang antusias itu memutar otak.

Bianca melirik ke arah Ethan diikuti teman-temannya. Ethan yang merasa diperhatikan mengerutkan kening dan berkata, "Apa?"

"Kenapa tidak kau saja yang berkencan dengannya?" tanya Bianca entah ditujukan pada siapa.

Christian tertawa. "Jangan, dia brengsek. Kasihan Seena!"

Mendengar ucapan Christian, Ethan tertawa. Ia mengambil sekaleng bir dan meminumnya perlahan. Ethan masih tak peduli dengan teman-temannya yang masih saja meributkan sesuatu tentang Seena.

"Bilang saja sebenarnya pada orang tuamu, begitu," usul Kevin lagi.

Sam dan Christian tertawa sementara Janice dan Bianca mengumpat padanya. "Kau gila?" teriak Janice dan Bianca mengejutkan Kevin. Sam dan Christian masih tertawa akibat sikap konyol Kevin.

Sementara itu, Ethan mulai merasa kesal dengan ulah mereka. "Bisakah kalian diam sebentar?" gerutunya.

Namun, bukannya diam justru semuanya bertambah berisik. "Kau sama sekali tidak membantu. Seharusnya kau membantu Bianca menjawab pesan dari Seena!" sahut Christian diiakan oleh teman-temannya.

Ethan mendengus. Ia menyadari bahwa teman kecilnya itu sudah berubah. Christian paling benci keramaian, ia akan menjadi sangat pendiam namun tidak menyangka ia akan cocok dengan teman-temannya.

"Memang pesan apa?" tanya Ethan santai. Namun, ketika Bianca menunjukkan ponselnya tiba-tiba ia merasa sesuatu memukul dadanya, sakit.

Seena: Bisakah kalau ibuku bertanya kau jawab kalau aku sedang menginap di rumahmu? Aku akan tidur di rumah Stefan sekarang.

Ethan mengeraskan rahang. "Ada apa?" tanya Bianca hati-hati, ia melihat ekspresi Ethan yang tiba-tiba berubah mendadak. Sementara itu, Christian tersenyum tipis.

Tanpa pikir panjang, Ethan meraih ponsel Bianca dan mengambil swafoto bersama teman-temannya, banyak ekspesi yang tidak pas kecuali dirinya yang sudah siap berpose. Tentu saja teman-temannya kebingungan karena sikap Ethan yang mendadak itu.

"Kirimkan foto kita padanya," ujar Ethan mengembalikan ponsel pada Bianca. Namun hal itu membuat Bianca mengerutkan kening karena bingung.

Ethan menghela napas. Ia kembali mengambil ponsel Bianca. Menekan tombol send dan pesan terkirim pada Seena. Lalu, ia menuliskan sesuatu.

Bianca: Jangan selalu berlindung pada orang lain, ketika kau menikmati tidur bersama banyak pria. Ethan.

Semua teman-temannya berkumpul di sisi Bianca membaca pesan yang baru saja Ethan kirim. Segala reaksi bermunculan, bagaimana pun Ethan terlalu kasar mengatakannya.

"Kenapa kau mengatakan seperti itu padanya?" tanya Janice kesal. Bagaimana pun, Seena tetap sahabatnya.

"Kalian yang menyuruhku membalasnya!" gerutu Ethan kesal.

Bianca meletakkan ponselnya, ia menatap Ethan kesal. Sementara itu, Sam dan Kevin terdiam karena tidak ambil pusing dengan kata-kata Ethan.

"Kau keterlaluan, Ethan," ujar Christian pelan namun Ethan dapat mendengarnya dengan baik.

Christian bangkit dari sofa, ia menuju lantai atas lalu kembali beberapa saat kemudian setelah meminum obat. Suasana masih hening penuh ketegangan.

"Kutanya sekali lagi, kau tidur dengan Seena?!" tanya Bianca setengah berteriak. Ia mencengkeram kaus hitam Ethan hingga melar.

Semuanya terdiam mendengar pertanyaan Bianca. Begitu pula, Ethan yang tidak tahu harus mengatakan apa. Christian yang mendengarnya pun diam di pertengahan tangga memperhatikan suasana yang mulai menegangkan.

"Jawab!" bentak Bianca sekali lagi.

"Tidak, aku tidak tidur dengannya," jawab Ethan terbata-bata.

Bianca mendengus. "Kalau kau tidak tidur dengannya, kenapa kau ragu-ragu menjawabnya?" tanya Janice curiga.

Diam-diam semua orang memperhatikan Ethan dengan penasaran. Mata mereka bak mata elang yang tak sekalipun melepaskan mangsanya.

"Sebenarnya, kami hampir melakukannya." Ethan mengeraskan rahang dengan mata terpejam sesaat.

"Ha?!" ujar semua orang serempak kecuali Christian.

Ethan menghela napas. "Lupakan saja, aku tidak pantas membicarakan ini."

Semua orang terdiam saling memperhatikan. Ethan sudah bangkit dari sofa hendak meninggalkan teman-temannya di sana. Ia melangkah mendekati Christian lalu naik ke tangga.

"Kau menyukainya?" tanya seseorang membuatnya langsung menoleh, Christian.

Kilatan mata Ethan menatapnya tak percaya. Sementara itu, Christian menatapnya datar dengan ekspresi serius. Tidak biasanya Christian akan bersikap seperti itu pada dirinya. Entah kenapa, Christian lama-lama seperti orang berbeda.

Setelah berhenti sesaat ia kembali menuju kamarnya. Ia tak perlu menjawab pertanyaan konyol itu, atau memang tak seharusnya menjawab karena ia tak tahu jawaban sebenarnya.

***