Ajakan Bianca tadi siang membuat kepalanya hampir pecah. Hubungannya dengan Stefan belum membaik, namun ada masalah baru lagi yang menimpanya. Padahal, ia benar-benar ingin memperbaiki hubungan bersama sahabatnya.
"Apa yang kau pikirkan, Seena?!" gerutu Seena pada dirinya sendiri.
Sejak siang tadi ia kehabisan akal dan frustasi. Bianca benar-benar mengerjainya, padahal jelas-jelas ia tahu kalau Ethan adalah masalah terbesar di hidupnya. Namun, banyak kejadian yang malah terus-terusan membuatnya dekat dengan Ethan.
"Ah!!!!!!" teriak Seena seraya mengacak-acak rambut.
Musik yang sejak tadi sudah dinyalakan dengan volume tinggi bahkan kalah dengan teriakannya. Sepertinya sebentar lagi dia akan di tahap gila. Ia harus memilih kehilangan siapa di saat seperti ini? Stefan bahkan lebih kuat daripada Bianca, tak kunjung menjawab pesan atau panggilannya sejak kemarin malam.
"Kau gila? Ini sudah malam! Berhenti membuat keributan!" teriak seseorang dari lantai satu. Tentu saja itu Jammie.
"Seena! Kenapa dari tadi siang tidak turun? Makan dulu!" teriak seseorang yang lain, ibunya.
Mendengar itu, Seena langsung menurunkan volume pengeras suaranya. Ia melangkah ke arah pintu dan membuka pintu yang sudah terbuka setengahnya sejak tadi. Mungkin, itu yang membuat suara musik terdengar sampai lantai satu. Perlahan ia menuju depan kamarnya seraya melihat ke arah bawah. Ibu dan Jammie sedang sibuk menonton televisi, sementara ayahnya belum pulang.
"Mom!" panggil Seena pelan membuat wanita paruh baya di lantai satu menengadah ke arahnya.
"Sepertinya dia gila, Mom. Dari tadi siang begitu terus. Mungkin putus cinta. Sudah kubilang kau tidak seharusnya pacaran!" gerutu Jammie memprovokasi.
Seena melotot. "Diam kau! Pria singel sepertimu tidak pantas mengatakannya!" bentaknya pada Jammie. Lalu, ia melirik ke ibunya. "Boleh aku pesan pizza atau burger?" tanya Seena hati-hati sambil tersenyum lebar malu-malu.
"Lihat, Mom! Kepala Seena sepertinya terbentur!" timpal Jammie membuat Seena kesal.
"Mom!" teriak Seena merajuk.
Ibunya hanya tertawa. "Ibu lebih suka kau puasa!" ujar ibunya tiba-tiba seraya tertawa.
Jammie tertawa menang. Sementara, Seena langsung berlari menuruni tangga berniat memohon ke ibunya atau sekadar memberi pembalasan pada kakaknya.
***
Rumah terasa sepi sejak pagi tadi. Masalahnya dengan Bianca semalam sudah berakhir, meskipun begitu sepertinya tidak ada yang berubah. Terlebih lagi, Christian hari ini pulang ke Washington dan rumahnya mendadak sepi. Tentu saja karena Kevin dan Sam akan lebih senang datang ketika ada Christian.
Padahal Ethan sudah terbiasa sendirian. Tapi, semuanya tampak berbeda. Entah mengapa sejak teman-temannya selalu mengunjungi rumahnya setiap hari sementara saat ini baru beberapa jam saja tak ada mereka, ia mendadak merasa kesepian. Bagaimana bisa ia merasakan kesepian ketika sepanjang hidupnya selalu dihabiskan dengan kesendirian.
"Dasar bodoh!" ujar Ethan tertawa kecil melihat ulah tetangganya dari balik jendela.
Rambut lurus sebahu berubah menjadi arfo secara mendadak karena terus-terusan diacak-acak. Tak ada habisnya Ethan tertawa karena tingkah konyol gadis kamar seberang. Hingga, tiba-tiba ia kehilangan objek pandangan saat gadis itu menghilang dari balik pintu yang terbuka.
Ethan mendadak mengingat kejadian kemarin malam. Ia ingin tahu bagaimana respon Seena tentang pesan yang ia kirim melalui Bianca. Sebenarnya ia agak keterlaluan, tapi ia tak tahu harus meminta maaf dengan cara apa. Terlebih urusannya dengan Bianca baru saja selesai.
Kemarin malam pertanyaan Bianca benar-benar menohok. Entah karena kebenaran atau kebohongan yang ia katakan. Tapi, memang ia tidak tidur dengan Seena. Hanya saja, bukan berarti ia tidak ada sesuatu hal dengan gadis itu. Terlebih Seena secara terbuka menerimanya.
"Sepertinya, kau tidak hanya ingin berteman," ujar Seena menatapnya skeptis. Ethan masih betul-betul ingat kejadian setelahnya saat di mobil paska menjenguk Christian saat itu.
"Kau menyukainya?" tiba-tiba sebuah pertanyaan menyadarkannya dari bayangan Seena waktu itu. Christian.
Sahabatnya yang sudah sejak dua minggu belakangan berada di rumahnya itu tiba-tiba turut campur dalam masalah pribadinya. Tapi, memang seperti itulah Christian meskipun kali ini ia terlalu mencolok.
Ethan menatap Christian sekilas lalu pergi meninggalkan sahabatnya itu yang masih berada di ambang tangga.
Waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Suara tertawa dan mengobrol di lantai satu dapat terdengar sampai kamar Ethan, menandakan kalau teman-temannya masih di sana. Tak ada yang bisa ia lakukan.
Ethan membuka ponselnya, mencari nama Seena di kontaknya dan membaca beberapa pesan terakhir. Sesaat ia tersenyum, namun langsung sirna seketika.
Seena: kau sudah sampai rumah?
Ethan: kita tetangga, seharusnya kau tahu.
Seena: tapi, aku tidak melihatmu dari sini.
Ethan: dari mana?
Ethan: ah, jendela? Aku di bawah, melanjutkan pekerjaanku. Mobilku masih bermasalah kadang-kadang.
Seena: benarkah? Sepertinya, tadi baik-baik saja.
Ethan: wanita tidak akan mengerti.
Seena: haha. Baiklah, selamat bekerja!
Ethan: bisakah kau meneleponku?
Pesan tiga minggu kemarin masih membuatnya senyum-senyum sendiri. Terlebih dalam ingatannya terpikirkan ciuman mengesankan mereka di mobil waktu itu. Ethan ingin merasakan sentuhan Seena sekali lagi.
Namun, tiba-tiba sirna ketika pesannya beberapa hari yang lalu. Tepat sehari sebelum Stefan datang dan berada di depan wajahnya lalu meluluhlantakkan perasaannya.
Ethan: kau sibuk?
Seena: tidak, kenapa?
Ethan: boleh aku menelepon?
Seena: ada apa? Tidak bisakah kau langsung mengatakannya melalui pesan?
Ethan: tidak terlalu penting. Lupakan saja.
Ethan masih ingat jelas saat itu. Jelas-jelas Seena memerintahkan Ethan agar menjaga jarak dengannya. Selebihnya, memang dirinya terlalu mengharapkan lebih. Buktinya, setelah hari itu Stefan datang dan kedekatannya dengan Seena tiba-tiba langsung sirna. Hampir merasa seperti darah dan nadi, kini menjadi bumi dan matahari.
Ethan bangkit dari ranjang dan melirik ke arah jendela. Ia dapat melihat seorang gadis berambut pirang sebahu baru saja masuk ke halaman rumah seberang. Pakaiannya cukup kasual untuk seseorang yang berkencan. Ia mengenakan kaus putih bergambar bendera Amerika Serikat di dadanya dengan dibalut jaket bomber berwarna merah gelap, untuk bawahannya ia mengenakan celana jins hitam legam ketat dengan sobekan di kedua lutut dan selain itu, untuk memberikan kesan feminin, ia mengenakan sling bag berwarna putih.
"Jam segini sudah pulang? Dia tidak jadi menginap?" tanya Ethan pada dirinya sendiri.
Mobil di halaman sudah melaju lagi meninggalkan rumah tetangganya. Ethan tak dapat melihat jelas si pengemudi, namun ia sudah tahu pasti siapa itu.
Gadis berambut pirang itu masuk ke rumah. Buru-buru Ethan mundur karena takut ketahuan sedang mengintip. Hingga seseorang dari belakang mengejutkannya. Entah sudah berapa lama ia berada di sana.
"Chris!" ujar Ethan terkejut. Ia langsung duduk di ranjang.
Christian tersenyum tipis sepertinya tahu ulah Ethan. Ia berjalan mendekati sahabatnya yang kaku itu dan duduk di sebelahnya.
"Besok pagi aku pulang ke Washington. Sepertinya, istirahatku sudah cukup lama. Termasuk merepotkanmu juga," ujar Christian pelan membuat Ethan kikuk dan tak tahu harus menjawab apa. "Anneth sudah memesankan tiket, jadi kemungkinan aku sudah pergi bahkan sebelum kau bangun," lanjutnya.
"Mau kuantar?" tanya Ethan akhirnya.
Christian menggeleng dan menolak pelan. "Bianca bilang, dia akan meminta maaf padamu besok atau lusa di sekolah. Ia tidak bisa minta maaf sekarang karena mood-mu sedang buruk," jelas Christian membuat Ethan tersenyum tipis. "Lalu, jangan siksa dirimu sendiri, tak masalah menyukai gadis yang sudah memiliki kekasih. Tapi, kuharap ingat batasanmu dan putuskan untuk berhenti atau merebutnya. Jangan di tengah-tengah!"
Ucapan Christian begitu menohok. Namun, ada benarnya juga. Ethan menatap sahabatnya dalam diam. Sementara, Christian sudah keluar dari kamarnya. Tidak seperti Christian yang ia kenal, kali ini Christian benar-benar serius dan sepertinya cukup jengah dengan sikapnya yang plin-plan.
Grab. Suara pintu dibanting menyadarkan bayangannya tentang pernyataan Christian semalam. Ia melihat Seena, tetangganya baru saja masuk kamar dan membanting pintu. Selanjutnya, gadis itu membanting tubuhnya di kasur dan menggeliatkan tubuhnya karena kesal. Selimut dan seprai langsung berantakan dalam sekejap.
"Dasar bodoh!" Ethan langsung menutup tirai jendela saat itu juga. Ada secercah senyum di wajahnya.
Ia tak seharusnya menjadi penguntit terus-terusan. Seperti yang Christian katakan, ia perlu membuat batasan. Ia perlu menentukan pilihan. Berhenti atau merebutnya.
***
Kabar dari Sam benar-benar mengejutkan. Sebenarnya tidak terlalu mengejutkan jika itu datang dari mulut Christian sendiri, tapi nyatanya datang dari mulut Sam. Terlebih, pasti Bianca tahu. Maka, sudah dipastikan Seena ikut andil juga.
"Kau serius membayari kita berenam liburan di Florida?" tanya Ethan setengah berteriak pada panggilan teleponnya.
Ia dapat mendengar Christian tertawa. "Aku hanya membayari tiket pesawat kalian saja. Untuk resor, gratis karena itu milikku. Aku tidak akan miskin karena menggratiskan beberapa kamar selama dua minggu. Setidaknya ganti biaya makan saja!" sahutnya enteng.
"Kau benar-benar gila, Chris. Kau baru mengenal mereka. Ini bukan lelucon. Kau tidak ingat kejadian saat sekolah dulu?" gerutu Ethan kesal.
Sementara itu, Christian hanya tertawa lagi. Suara bising di belakang sahabatnya membuatnya sadar bahwa Christian cukup sibuk bekerja. Tentu saja, sebulan belakangan ini Ethan bisa melihat Christian memenuhi semua berita di internet atau televisi. Beritanya tidak jauh tentang kesehatan dan jadwal akting Christian mendatang. Tapi, yang terpenting Christian sepertinya cukup sehat dari sebelumnya mungkin karena waktu dua minggu belakangan di rumahnya.
"Ya, aku tahu. Selalu ada kemungkinan terburuk untuk beberapa hal," sahut Christian pelan. "Tapi, tak masalah. Ada kau yang bisa memukul orang-orang yang berulah!" lanjutnya mantap.
Ethan mendengus. "Aku akan membayarmu. Setidaknya, biarkan aku membayar setengah dari semua biaya yang kau keluarkan!" tegas Ethan. "Kau meremehkanku?" Ethan mendengus.
"Kau memang harus membayarnya. Ternyata kau tahu diri juga," timpal Christian santai membuat Ethan tertawa.
"Setidaknya aku harus menghabiskan uang si Tua Brengsek itu. Kau kan' tahu, aku punya banyak uang di tabunganku," sahut Ethan bangga. Tentu saja, Christian tahu betul tentang kehidupan Ethan.
"Kau masih saja menyebut ayahmu dengan sebutan itu. Tapi, ini bukan soal uang, Bro. Kau harus membayarnya dengan hal lain." Kata-kata Christian sejenak membuat Ethan terkejut.
"Jangan bilang kalau rumor soal kau gay adalah benar, Chris?" tanya Ethan skeptis.
Sesaat Christian tertawa lepas. Christian sungguh tak dapat menahan tawanya. Baginya, kata-kata Ethan adalah lelucon yang tepat untuk melepas lelah.
"Setidaknya kau boleh gay. Tapi, jangan denganku. Aku masih menyukai tubuh wanita," lanjut Ethan membuat Christian semakin melantangkan tawanya.
"Bukan, bukan. Bukan seperti itu, Brengsek! Aku tak bisa berhenti tertawa karenamu, Ethan! Biarkan aku bicara!" gerutu Christian kesal.
Ethan tertawa kecil. "Oke, oke. Jadi, apa maksudmu? Aku harus membayarnya dengan apa? Aku tak bisa memberikan ginjalku! Nanti aku tidak bisa mabuk lagi!"
Christian menghela napas dan mengontrol tawanya. "Jujur padaku. Kau menyukai Seena, bukan?" tanya Christian kemudian.
Mendadak tenggorokan Ethan tercekat. Seketika ia jadi tak bisa bernapas. Ada kabut dan kunang-kunang di matanya membuat bayangan tentang Seena tiba-tiba saja muncul lalu menghilang, datang lalu pergi dan begitu seterusnya. Ia tak habis pikir, satu nama yang diucapkan Christian dapat menghancurkan akal sehatnya dengan mudah.
"Kau masih di sana?" tanya Christian lagi menyadarkan Ethan dari emosi tidak stabilnya.
"Perlukah kita membahas hal tidak penting ini?" tanya Ethan balik.
Ethan mengambil bungkus rokok dan mengeluarkan satu batang, lalu membakarnya di mulut. Asap berhambur keluar menyesak sudut-sudut kamar yang berantakan.
Christian tertawa kecil. "Baiklah, hutangmu lunas."
"Apa maksudmu lunas? Aku akan membayar dengan cara lain," gerutu Ethan tidak terima. "Aku tak bisa melakukan ini, Chris!" ujar Ethan setengah berteriak.
Christian tertawa. "Kubilang hutangmu lunas! Penolakanmu sudah menjawab pertanyaanku!"
Ucapan sarkastik Christian sejenak menyadarkannya. Sebenarnya, Christian hanya menguji agar ia mengaku, padahal jelas-jelas Christian orang yang paling tahu tentang dirinya melebihi dirinya sendiri.
"Ya, ya. Aku memang menyukainya. Puas?!" tegas Ethan tak terima. Terdengar suara tawa puas Christian.
Seperti yang diduga. Ethan tak bisa membohongi siapapun apalagi Christian, hanya saja agak menyebalkan menjawab pertanyaan orang yang sudah tahu jawabannya. Tapi selain mengakuinya, tidak ada yang dapat dilakukan.
"Oh ya, kita tidak hanya bertujuh. Ada seseorang yang akan datang." Christian langsung menutup telepon tepat ketika seseorang memanggilnya.
Ethan mendengus sebal. Ia harus menyiapkan mental untuk bulan depan.
***