Suara deru mobil mulai berhenti ketika Stefan berhasil parkir di basemen. Seperti permintaan Seena, mereka akan menonton film. Tentu saja Seena sudah berhasil menemukan film yang benar-benar ingin Stefan tonton sehari sebelumnya.
"Seena!" panggil Stefan setengah berteriak, menyadarkan Seena dari lamunannya.
Sudah beberapa menit gadis itu memelototi ponselnya, entah apa yang ada di dalam sana. Setidaknya jika Seena masih bertahan beberapa waktu, mungkin bola matanya akan jatuh.
"Ah, ya?" sahut Seena kebingungan. Sementara itu, Stefan sudah keluar dari mobil membuat Seena setengah berlari menyusulnya.
Akhirnya, mereka berjalan sejajar. Seena melirik sekilas ke pemuda tampan yang tinggi menjulang di sebelahnya. Entah bagaimana, ada rasa tidak nyaman yang memburu seketika.
"Aku tidak suka kau sibuk dengan ponselmu sementara kita sedang berkencan," ujar Stefan dingin.
Seena tertunduk sesaat. Ia diam tak mengucapkan apa pun, lagipula memang salahnya sejak tadi memelototi ponsel tanpa beralih sedikit pun. Bahkan, beberapa ucapan Stefan tidak digubris.
"Jadi, mau lanjut atau pulang?" tanya Stefan akhirnya. Seolah mood-nya dapat berubah seketika.
Seena tersenyum simpul. "Aku sudah membeli tiket," ujar Seena memberikan jawaban yang memang diinginkan Stefan.
Mereka akhirnya meninggalkan basemen dan masuk ke bioskop. Seperti yang diduga, Manhattan tidak pernah sepi seperti kotanya yang kecil di pinggiran New York. Bioskop penuh dengan orang-orang lalu lalang keluar masuk mall atau pun bioskop. Di sebelahnya terdapat games station yang ingin sekali saja Seena coba.
Christian pernah berencana untuk mengajaknya berkeliling Manhattan bersama Ethan. Meskipun jarak rumahnya tidak begitu jauh dengan Manhattan dan beberapa kali berjalan-jalan bersama Janice dan Bianca, rasanya tentu akan berbeda ketika pergi dengan penduduk asli kota terpadat di Amerika Serikat itu. Tiba-tiba, Seena jadi ingat tetangganya itu.
"Pas sekali. Studionya baru dibuka," ujar Stefan ketika melihat beberapa orang keluar dari studio film yang akan mereka tonton.
"Boleh masuk sekarang?" tanya Seena dijawab anggukan oleh Stefan. Pria itu menggenggam tangan Seena dan menuntunnya masuk.
Mereka berdua akhirnya menemukan tempat duduk mereka. Tempat yang strategis, tidak sia-sia Seena membayar tiket yang sudah Jammie pesan. Bagaimana pun mendapatkan tiket film ini cukup sulit jika mendadak, karena tiket untuk dua hari ke depan sudah ludes. Tak rugi membayar dua kali lipat pada kakaknya sendiri.
"Wah, kita beruntung mendapatkan kursi ini. Bagaimana kau bisa?" tanya Stefan dengan suasana hati yang membaik.
Seena tersenyum tipis. "Aku sudah menelepon langsung sutradaranya!" sahut Seena bercanda.
Stefan tertawa. Sejenak Seena bersyukur melihat kekasihnya kembali seperti semula. Ia akan kehabisan akal jika Stefan sudah kesal, tak pernah dapat ia atasi sebelumnya. Itu adalah kekhawatiran terbesarnya selama menjadi kekasih Stefan. Pria itu memiliki suasana hati yang mudah berubah.
Lima menit kemudian film dimulai. Stefan dan Seena mulai fokus pada layar besar di hadapan mereka. Pada pembuka film tak terlalu menegangkan, namun untuk sebuah film aksi cukup mendebarkan. Film yang memang diharapkan keduanya karena sudah seminggu tayang dan respon penontonnya sangat baik, tiket pun selalu terjual habis setiap harinya. Memang bukan film yang mengecewakan sejak awal.
Tiba-tiba, ponsel Seena bergetar di jaketnya. Ia melirik sekilas ke arah Stefan, ketika mendapati Stefan fokus pada adegan demi adegan di layar monitor. Ia meraih ponselnya perlahan, ada perasaan khawatir karena pesan Bianca sebelumnya. Ia tidak akan bisa menginap di rumah Stefan.
Bianca: Tadi Ethan yang membalasnya. Tapi, bukan berarti aku menerima permintaanmu. Selesaikan urusanmu sendiri, jangan bawa-bawa orang lain.
Tiba-tiba seseorang merebut ponselnya, Stefan. Ia langsung mengantongi di saku jaketnya tanpa bicara apapun. Seena melirik sekilas ke arah kekasihnya, Stefan tak menatapnya namun terus-terusan menonton film seolah tak ada yang mengganggu. Meskipun begitu, Seena tahu kalau kekasihnya sangat kesal.
Waktu berlalu begitu cepat. Seratus sepuluh menit berlalu hingga film selesai. Namun, hampir dua jam belakangan Seena tak menikmati film yang sedang tayang, sepertinya Stefan juga begitu. Bukan itu yang paling parah, mereka sama-sama diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing seolah tidak ada seseorang di sisinya.
"Aku antar kau pulang," ujar Stefan seraya memundurkan mobil lalu berbelok dan keluar dari basemen.
Tiga puluh menit perjalanan agak canggung karena tidak ada yang memulai obrolan. Apalagi suasana di dalam mobil sangat sepi tanpa musik atau pun radio yang diputar. Seena sibuk dengan jalan raya yang penuh dengan kendaraan dan orang-orang berkerumun, Manhattan memang tidak pernah sepi. Sementara itu, Stefan sibuk dengan kemudinya dan fokus menyetir saja.
Tepat tiga puluh menit. Mereka sampai di depan rumah Seena. Entah berapa kecepatan mobil yang ditumpanginya, setidaknya pada kecepatan normal perlu lebih dari satu jam. Seena merasa sedikit khawatir.
Stefan langsung menghentikan mobil tanpa bicara apapun. Seena pun terdiam sesaat menatap rumahnya dan rumah tetangganya yang hampir serupa.
"Maafkan aku," ujar Seena lemah. Stefan terdiam tak menjawab apa pun.
Pria itu hanya merogoh sakunya lalu memberikan ponsel Seena yang sempat ia sita dan meletakkannya di dasbor. Seena langsung mengambilnya lalu bersiap untuk keluar.
Pintu mobil terbuka, lalu Seena turun sepenuhnya. Ketika hendak menutup pintu, ia dapat melihat tatapan Stefan yang kosong ke depan. Jujur saja, Seena sangat merasa bersalah karena dua hari pertemuannya justru menjadi buruk.
"Telepon aku kalau sudah sampai. Hati-hati," ujar Seena lagi seraya menutup pintu.
Gadis itu berjalan masuk ke halaman rumah membiarkan Stefan menatapnya dari jauh. Ada sesuatu yang mengganjal di hati Stefan, namun ia tak tahu alasannya.
***
Seena membuka tirai jendelanya. Hari sudah sangat siang, entah bagaimana akhirnya ia bisa tidur nyenyak. Padahal, pikirannya sedang berantakan selama semalam.
Dari kejauhan, ia dapat melihat jendela di hadapannya yang sudah terbuka. Cahaya masuk membuat seluruh isi kamar terekspos. Namun, ia tidak melihat siapa pun di sana. Lagipula, memang bukan saatnya ia mencari sang pemilik rumah.
Tut... tut... tut...
Bianca belum juga mengangkat teleponnya. Namun, Seena masih belum menyerah. Ia harus membalikkan keadaan. Sudah keenam kali teleponnya tidak kunjung dijawab. Seena bersikukuh agar Bianca menyerah.
"Ya?" jawab Bianca akhirnya. Seena tersenyum menang.
"Kenapa tidak cepat menjawab teleponku?" tanya Seena skeptis. Bibirnya bergetar mengekspresikan kebingungan.
Bianca menghela napas. "Ada apa?" tanyanya balik.
Akhirnya, Seena sepenuhnya bangun dari tidurnya. Kemarin bukanlah mimpi. Sahabatnya kecewa padanya, kekasihnya kesal dengannya dan semua itu karena Ethan, tidak sepenuhnya. Sebenarnya, ini adalah salah Seena sendiri karena tidak dapat mengontrol emosi dan pikirannya.
"Aku minta maaf. Memang salahku selalu merepotkan kalian. Sekaligus aku minta maaf memakai mobil Sam waktu itu dan tidak mengembalikannya dengan benar. Aku minta maaf, Bi." Seena mengusap air mata yang tak sengaja menetes di pipi.
Seena tak mendengar suara Bianca. Namun, Seena tahu kalau Bianca sedang mendengarkannya dengan baik.
"Aku benar-benar minta maaf. Tidak seharusnya membawa kalian ke masalahku. Aku harap kita tetap berteman," lanjutnya.
Terdengar suara tawa kecil dari seberang. "Aku yang berlebihan. Lupakan masalah ini. Tapi, memang jujur aku tidak begitu menyukai Stefan dan aku muak dengan semua yang berhubungan dengan Stefan!" tegas Bianca membuat Seena diam sesaat.
"Baik, baiklah," sahutnya singkat. Jujur saja, Seena tidak tahu alasan sesungguhnya Bianca membenci Stefan. Tapi, Bianca selalu membenci kekasihnya itu bahkan sebelum Seena mulai berpacaran dengan Stefan.
"Setidaknya, kalau kau minta maaf, janjikan sesuatu!" gerutu Bianca tiba-tiba membuat Seena tertawa.
Suasana hati Bianca mudah sekali berubah. Namun, itu sangat menguntungkan bagi Seena. Setidaknya, ia tidak akan kehilangan sahabatnya bagaimana pun.
"Kau terdengar mengancam!" timpal Seena tak terima.
Bianca tertawa lagi. "Baiklah, aku tidak akan memaafkanmu kalau begitu!"
"Aku akan mati kesepian tanpa kau dan Janice, Bi!" seru Seena membuat Bianca merasa menang.
Meskipun baru dua tahun belakangan mereka bertiga saling mengenal dan bersahabat. Rasanya seperti sudah begitu lama dan membuat kenangan indah bersama adalah salah satu penyebab setiap harinya mereka merasa semakin dekat. Tak ada yang semenyenangkan memiliki sahabat seperti Bianca yang perhatian namun kadang selalu bersikap sinis dan tidak dapat mengekspresikan diri. Sementara itu, ia memiliki Janice yang murah hati, periang dan kadang-kadang suka ikut campur urusannya. Seena merasa bahwa dirinya adalah sosok yang sangat beruntung di dunia ini.
"Kau mendengarku?" tanya Bianca lagi membuat Seena tertawa.
"Ya, ya. Ada apa, Sayang?" sahut Seena menggoda. Kini giliran Bianca yang tertawa.
"Kau harus mengabulkan permintaanku kalau ingin kumaafkan!" seru Bianca membuat senyum di wajah Seena sirna seketika. Ia benar-benar berharap agar Bianca tidak meminta dirinya putus dengan Stefan.
Seena menghela napas rendah. "Oke. Aku akan melakukan apapun yang kau mau," jawab Seena lemah. "Tapi, aku akan menganggap ini sebagai pemaksaan ya!" lanjut Seena seraya tertawa, membuat Bianca pun demikian.
"Sudah lama kita tidak pergi bersama. Bagaimana dengan liburan musim panas?" tanya Bianca memastikan, bagaimana pun itu terdengar persuasif.
Seena terdiam sesaat, ada rasa lega di dalam dirinya. Namun, sialnya ia harus memikirkan caranya keluar dari rumah nanti. Kejadian setahun lalu tidak mau terulang lagi.
"Baiklah, tapi aku tidak mau menyetir sendirian lagi. Tahun lalu, badanku pegal-pegal. Kau dan Janice sudah bisa menyetir, bukan?" tanya Seena memastikan.
Setahun lalu, ia benar-benar dikerjai Bianca dan Janice. Selain dimarahi habis-habisan karena ketahuan berbohong saat pergi liburan bersama sahabatnya, ia juga harus menyetir bolak-balik ke Virginia Beach tanpa ada yang menggantikannya. Setidaknya, masalah mobil harus diselesaikan walaupun ada masalah lain yang mengganggunya.
"Aku atau pun Janice tidak bisa menyetir pesawat, Seena!" sahut Bianca membuat Seena mendadak kehilangan akal.
"Apa maksudmu?" tanya Seena terkejut. "Kita akan ke mana?"
Bianca menghela napas. "Kita akan bersenang-senang. Bagaimana dengan Florida?" tanya Bianca antusias. Namun, tidak dengan Seena.
"Kau gila? Kenapa tidak sekalian Hawaii?" gerutu Seena kesal. "Aku harus menjual ginjalku dulu. Lagipula, setelah aku pulang liburan pasti keluargaku sudah menyiapkan peti mati!"
Sementara itu, Bianca tertawa lantang tak dapat menahan lelucon Seena. Jujur saja, sebenarnya ia benar-benar serius.
"Aku akan mencari kontak pembeli ginjal kalau begitu. Setidaknya, sebelum kau mati, kau harus bersenang-senang dulu di Florida atau Hawaii, bukan?" timpal Bianca menggoda.
"Sialan!"
Rasanya, ada yang mencekik leher Seena kemudian. "Christian yang mengajak kita. Dia punya resor di Florida. Dia menyuruhku untuk mengajakmu!" ujar Bianca tiba-tiba membuat Seena terpaku sesaat.
"Christian?" tanya Seena memastikan.
Bianca berdeham mengiyakan. "Aku, kau, Janice, Sam, Kevin dan Ethan. Bagaimana?"
Sesaat ada yang diam-diam membuat perasaan Seena bertambah kalut. Kali ini, ia tak ingin kehilangan sahabatnya lagi. Jujur saja, terasa berat berdiri sendiri tanpa Bianca atau pun Janice. Terlebih karena seisi sekolah membencinya. Namun, perlukah ia memutuskan menjadi lebih dekat dengan seseorang bernama Ethan? Seseorang yang membuatnya kehilangan akal hingga berpikir untuk meninggalkan kekasihnya.
"Bagaimana?" tanya Bianca lagi.
***