Langit malam perlahan mulai menghilang. Burung-burung mulai muncul dengan kicauannya. Jalanan yang beberapa jam lalu sepi sudah mulai ramai dengan kendaraan-kendaraan yang mulai memulai aktivitas.
Seena menyalakan ponselnya berkali-kali, sepertinya baterai ponsel habis. Akhirnya, ia pasrah menyusuri jalanan menggunakan mobil Sam hingga rumah. Entah apa yang akan dilakukan Bianca padanya karena mobil kekasihnya ia bawa begitu saja. Ia harap, Bianca dan Sam masih di rumah Ethan.
Beberapa kali Seena melirik ke rumahnya sendiri, lampu-lampu belum menyala. Akhirnya ia mengendap-endap ke rumah Ethan sekali lagi untuk mengembalikan kunci. Namun, tidak ada siapa pun di sana. Semuanya sudah pulang meninggalkan rumah dalam keadaan berantakan.
Akhirnya, ia melangkah menuju rumahnya tanpa membawa mobil Sam yang sudah diparkir di halaman rumah Ethan. Ia tepat berada di depan pintu, pintu rumahnya terkunci. Selain itu, ia lupa membawa kunci cadangan karena tak pernah terpikir akan sepagi ini ia pulang. Lalu, dengan sangat terpaksa Seena mengetuk pintu.
Ia mengetuk pintu. Tak ada yang menjawab, berkali-kali ia coba mengetuk pintu. Memang terlalu pagi untuk bertamu, apalagi di akhir pekan pasti keluarganya tidur terlalu larut. Seena menghela napas pasrah, ia duduk di depan pintu sembari memandangi langit yang mulai cerah. Ia menemani langit menyambut fajar.
Hampir satu jam ia duduk di depan pintu, tubuhnya hampir membeku karena hanya menggunakan kaus lengan pendek dan celana jin. Seharusnya, ia menerima tawaran Ethan ketika meminjamkan jaketnya. Namun, Seena menghela napas lega ketika mendengar suara langkah dari dalam rumah.
Seena bangkit dari duduknya lalu mengetuk pintu sekeras mungkin. Seseorang menyahuti dari dalam, Jammie, kakaknya.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Jammie mengerutkan kening terkejut.
Seena setengah bergumam karena bibirnya membeku dan memeluk tubuhnya yang dingin. "Akan kuceritakan nanti," sahutnya dan berlari menaiki tangga sebelum orang tuanya tahu.
Jammie yang tidak terlalu peduli akhirnya tak ambil pusing. Setelah ke kamar mandi, ia kembali lagi ke kamarnya tepat di sebelah kamar Seena.
Seena membanting tubuhnya di kasur. Segera ia mengisi daya ponsel lalu menyalakannya. Ia pikir setidaknya dapat menyuruh Bianca atau Janice agar ia bisa pura-pura menginap di rumahnya. Namun, sepertinya kedua orang tuanya tidak akan tahu kalau ia baru saja pulang.
Tiba-tiba, ponselnya berdering. Sebuah panggilan masuk nomor tidak dikenal. Seena mendekatkan tubuhnya ke pengisi daya, lalu mengangkat panggilan itu tanpa bicara terlebih dahulu, setidaknya ia harus mengenali sang penelepon.
"Kau sudah sampai rumah?" tanya seseorang dengan suara asing, namun ia rasa pernah mendengarnya.
Seena berpikir sejenak, akhirnya ia tak menemukan siapapun di pikirannya. "Siapa?" tanya Seena hati-hati. Sang penelepon tertawa.
"Ethan," sahut sang penelepon. Kali ini, Seena yang tertawa.
"Aku baru saja sampai." Seena membetulkan posisi tubuhnya agar lebih nyaman.
"Ah ya, syukurlah," sahut Ethan pelan. "Apa yang sedang kau lalukan?" tanyanya kemudian seolah masalah di antara mereka selesai.
Suara Ethan ternyata enak didengar. Seena memang tak banyak tahu tentang pria itu, bahkan ia tidak pernah benar-benar mengobrol. Alhasil, ia tidak dapat mengenali suara tetangganya itu.
"Seena?" tanya Ethan membuat Seena tersadar dari lamunannya.
"Ah, ya. Kenapa?" tanya Seena balik. Ia merasakan jantungnya berdegup cepat, pipinya tiba-tiba terasa panas.
"Kau tidur?" tanya Ethan hati-hati.
Seena meyakinkan dirinya sendiri, ini bukan Ethan yang ia kenal. Namun, bayangan itu kembali muncul. Ia masih ingat ketika dirinya tertidur di paha pria sombong itu dengan jaket yang menghangatkan tubuhnya. Tiba-tiba bayangan liarnya muncul. Seharusnya, ketika Ethan memejamkan mata, sekali saja ia ingin menciumnya.
"Tidak, ada apa?" tanya Seena sinis. Ia berusaha melupakan sikap manis Ethan malam tadi.
"Sepertinya kau lelah, baiklah aku tidak akan mengganggu-----" ujar Ethan membuat Seena merasa bersalah.
"Tidak. Aku biasa saja, hanya sedikit mengantuk dan kedinginan," ujar Seena salah tingkat. Lalu, ia mengutuk dirinya sendiri karena berbicara hal tidak penting.
"Chris sudah sadar, mau menjenguknya?" tanya Ethan dengan intonasi lambat hingga membuat kalimatnya menjadi persuasi.
Seena dapat bernapas lega sejenak. "Syukurlah. Bolehkah aku ke sana?" tanya Seena antusias. Entah kenapa dia menjadi sangat senang.
"Aku sudah di rumah. Kita berangkat bersamansaja, akan kujemput pukul tiga sore," tegas Ethan memutuskan.
Tak tahu apa yang ia pikirkan, namun tak ada kata lain selain setuju. Seena berkali-kali mengutuk dirinya sendiri. Belakangan ini, banyak hal konyol yang ia lakukan.
***
Sudah seminggu lebih sejak pesta itu berlangsung. Namun, masih banyak hal yang dapat diceritakan. Entah berapa banyak teman kelasnya menyusup ke pesta Ethan, namun Seena melihat banyak cerita dari teman-temannya tentang hal-hal lucu dan seru di pesta itu.
Tiba-tiba ponsel Seena berdering. Sebuah nama tercetak di sana, Stefan, kekasihnya. Seena mendengus kesal, sudah sebulan Stefan menghilang dan pria itu baru saja menghubunginya hari ini.
"Dasar brengsek!" gerutunya kesal.
Namun, ketika membuka pesan, ia kaget bukan kepalang. Seena berdiri dari kursinya membuat Bianca dan Janice terkejut. Lalu, Seena melangkah menuju jendela di sisi lain. Ia dapat melihat Stefan di pintu gerbang sekolah.
Tanpa pikir panjang, Seena berlari meninggalkan teman-temannya yang masih ada di kantin dan menuruni tangga. Bianca dan Janice pun menyusul hingga mereka berdua berhenti ketika melihat Seena berhenti. Seena dan Stefan.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Seena dingin.
Bianca dan Janice menjaga jarak hingga tanpa sadar beberapa orang berkumpul untuk melihat kedatangan Stefan. Namun, suasana di antara Seena dan Stefan tampak menegangkan dari yang dikira.
Setahun lalu, Stefan bersekolah di tempat ini. Satu tahun duduk di kelas yang sama, membuat mereka dekat dan menjadi sepasang kekasih. Namun, baru sebulan berpacaran, Stefan harus pindah ke Washington karena ayahnya pindah tempat bekerja. Akhirnya, setahun belakangan mereka menjalin hubungan jarak jauh, namun jarak yang jauh membuat mereka semakin jauh pula.
Langkah riang Stefan mendekati kekasihnya. Ia memeluk Seena erat-erat dan mengecup bibir gadis itu pelan. Beberapa siswa di sana melihat iri sekaligus kesal. Bagaimana pun, Stefan dikenal sebagai keponakan dari pemilik sekolah. Sementara, ayahnya mengurus cabang lain di Washington dan ia harus pindah ke sana.
"Bagaimana kabarmu?" tanya Stefan masih belum melepaskan pelukannya, wajah keduanya sangat dekat.
Seena menghela napas panjang. "Kau ke mana saja?" tanya Seena kesal, namun ia tak melepaskan pelukan Stefan begitu saja. Bagaimana pun, ia masih sangat mencintai kekasihnya itu.
"Yang terpenting, sekarang aku di sini. Bukankah begitu?" sahut Stefan percaya diri. Seena mendengus.
Selain cantik dan seksi, Stefan menyukai sikap Seena ketika kesal. Tanpa pikir panjang, ia langsung mencium bibir kekasihnya. Ia melumat dengan pelan hingga Seena membalasnya juga. Mereka semakin mengeratkan pelukan dan berciuman hingga beberapa saat seolah tidak ada yang melihat.
Bukan hanya beberapa siswa saja yang melihat ciuman panas mereka, namun seseorang yang diam-diam mulai menaruh harapan pada Seena. Ia meninggalkan kerumunan yang menonton adegan panas itu dengan bebas.
***
Ribut-ribut di kantin membuat Ethan, Sam dan Kevin menghentikan makannya. Mereka bertiga begitu penasaran dengan yang dilakukan siswa-siswa itu hingga akhirnya mereka mulai menuruni tangga.
Langkah mereka terhenti tepat di anak tangga paling bawah. Ethan melihat Seena di pintu lobi, sementara itu seorang pria berambut pirang dengan kulit pucat mulai mendekati Seena. Ketika berada tepat di hadapan Seena, pria itu langsung menarik Seena ke dalam pelukannya. Tangan kanannya melingkar di pinggang Seena membuat dada keduanya saling menempel.
Ethan mengeraskan rahang. "Siapa dia?" tanya Ethan pada Sam.
Sam menoleh sekilas lalu berkata, "Stefan, pacar Seena."
Ethan mengeraskan rahang ketika tiba-tiba tangan kiri pria itu beralih ke pipi Seena membawanya tepat di depan wajahnya. Ethan dapat dengan jelas pria itu mengecup bibir Seena tanpa aba-aba, singkat. Hingga sorak-sorai teman-temannya untuk adegan selanjutnya lebih mendebarkan. Seolah tak ada siapapun, mereka bercumbu dan saling berciuman di depan semua orang dengan bergairah.
Tiba-tiba, Ethan merasakan dadanya sesak. Lalu pergi begitu saja meninggalkan orang-orang yang masih tinggal.
Ethan menghentikan langkah tepat di toilet, ia membuka satu ruangan lalu menutupnya rapat. Ia duduk di kloset, masih mengingat kejadian yang menyakitkan di depan matanya sendiri.
Padahal seminggu lalu mereka cukup dekat. Hal itu membuat Ethan lebih tersakiti. Bayangan seminggu lalu masih teringat jelas di kepalanya.
Setelah selesai menjenguk Christian, Ethan bermaksud mengantar Seena. Meskipun sudah ditolak dengan halus, Ethan tetap memaksa hingga akhirnya mereka berada di dalam mobil dan diam satu sama lain.
"Sejak kapan kau mengenal Chris?" tanya Seena hati-hati berusaha mencairkan suasana.
Ethan menoleh sekilas ke arah Seena. "Sejak kecil. Kami besar di Manhattan dan bertetangga. Lalu, kami selalu bersekolah yang sama kecuali sekarang. Sejak ia menjadi model, kami jadi jarang bertemu, setidaknya kami akan bertemu ketika Natal," Ethan menceritakan secara singkat tentang Christian. Sementara itu, Seena mengangguk-angguk. "Kau menyukai Chris?" tanya Ethan membuat Seena terkejut dan suasana menjadi canggung kembali.
"Tidak. Aku hanya menganggapnya teman," jawab Seena pelan.
Ethan tersenyum tipis namun Seena dapat melihatnya dengan jelas. Gadis itu pun tersenyum membalasnya.
"Bagaimana denganku? Bolehkah aku menjadi temanmu?" tanya Ethan masih menatap jalanan yang mulai sepi karena memasuki perkampungan di mana mereka tinggal.
"Tentu saja," sahut Seena mantap.
Lalu, tidak ada obrolan lagi hingga mobil memaksakan diri berjalan di jalanan yang rusak. Seena menoleh ke arah jendela, namun ia tidak dapat melihat apapun selain gelap. Sementara itu, Ethan menatap ke jalanan tanpa penerangan, ia hanya mengandalkan lampu mobilnya. Jalanan yang gelap sekaligus berbatu membuat Ethan menyetir dengan lambat.
"Kenapa kau memilih pindah ke tempat seperti ini? Manhattan bukankah lebih nyaman?" tanya Seena membuat Ethan tersenyum.
"Ayahku sengaja membuangku di sini," sahut Ethan santai seraya tertawa.
Sementara itu, Seena mengerutkan kening tidak paham. Ia kembali diam, karena sebenarnya terlalu canggung berada di dekat Ethan. Hingga tiba-tiba sesuatu menyentuhnya, tangan Ethan menyentuh tangannya.
Tangan kanan Ethan mengaitkan jari-jarinya di tangan Seena. Sekilas ia menoleh ke arah Seena dan menyadari gadis itu menatapnya balik tanpa menyingkirkan tangan Ethan dari tangannya.
Ethan kembali menghadap ke arah depan sementara membiarkan tangannya menggenggam tangan Seena meskipun gadis itu tak melakukan apapun. Hingga, Ethan mendengar tawa kecil dari sampingnya.
"Sepertinya, kau tidak hanya ingin berteman," ujar Seena membuat Ethan terkejut. Tiba-tiba ia menghentikan mobilnya mendadak.
Kalau-kalau mobil dalam kecepatan tinggi, mereka mungkin saja akan kecelakaan. Untungnya, semua jadi baik-baik saja. Seena masih menatap Ethan tanpa mengalihkannya sekalipun. Hingga akhirnya Ethan kembali menatap gadis di sebelahnya.
Suasana begitu hening, tak ada yang melintas semalam itu kecuali mereka berdua. Mereka saling menatap cukup lama tanpa mematikan mesin mobil. Hingga, tangan kiri Ethan melepaskan sabuk pengaman.
Ethan mendekatkan tubuhnya ke arah Seena. Seena masih diam di tempat membuat Ethan merasa diberikan kesempatan. Tanpa pikir panjang, Ethan langsung mendaratkan ciumannya di bibir Seena. Ia menempelkan kedua tangannya di wajah gadis itu untuk memudahkan aksinya.
Hati-hati Ethan melepaskan ciumannya perlahan menyadari bahwa Seena tak beranjak dari posisinya. Lalu, ia melakukannya sekali lagi. Kali ini, ia mengulum bibir Seena dengan brutal hingga mau tak mau Seena membalasnya. Mereka saling menghisap bibir lawannya, kemudian Ethan mengabsen satu persatu gigi Seena dengan lidahnya. Seena membuka mulutnya perlahan membiarkan Ethan dapat memasukkan lidahnya lebih dalam. Jujur saja, Seena sudah mendambakan ciuman Ethan sejak lama.
Ethan tak tinggal diam. Ia melepaskan satu persatu kancing kemeja Seena, gadis itu tak menolak sedikit pun. Hingga, Ethan lebih mengeksplorasi tubuhnya dengan mudah. Bibirnya masih saling mengulum, namun tangan Ethan sudah menggerayangi seluruh tubuh Seena membuat gadis itu sesekali mendesah.
Tiba-tiba Ethan merasakan tubuhnya semakin menuju Seena. Akhirnya, ia menyadari bahwa Seena menarik tuas kursi hingga gadis itu dapat berbaring nyaman di sana. Keduanya saling membalas tatapan nakal dan menikmatinya satu sama lain.
***