Sinar matahari pagi menembus barisan kaca apartemen, kemeja putih tergantung berayun terhembus angin, larat noda kekuningan di bagian depan tidak menghilang, bagaimana pun sudah direndam, dikucek dan diberi pemutih. Nodanya tetap membandel.
Netra Azalea masih lekat melihat kemeja yang ia gantung, bagaimana pagi ini ia mencuci untuk satu baju. Teh hangat yang ia dekap dengan sepuluh jari adalah jawaban untuk menenangkan saraf yang tegang, bayangan ucapan Hera kemeja itu setara dengan gajinya tiga bulan sudah cukup membuat otak berdenyut.
Semoga saja ia pulang nanati, matahari mampu menghilangkan bekas nodanya. Semoga.
"Kau bisa menggantikanku sebentar?" Hera meminta Azalea menggantikannya di kasir dari tadi pagi kafe ramai pengunjung samapai mereka harus bergantian untuk istirahat.
"Tentu saja bisa Hera," senyum ceria Azalea. Ia menggeser kursi, kakinya sudah bisa berdiri namun belum bisa terlalu lama jadi terkadang ia membutuhkan kursi.
Dijam sibuk begini Ponselnya terus berdering, Azalea tidak ingin mengecewakan Hera dihari pertamanya bekerja, nanti ia bisa kembali menghubungi orang itu, setelah Hera kembali.
"Kewalahan?" tanya Hera mengambil alih kasir
"Pesanan anda Tuan?"
"Istirahatlah!" Bisik Hera seblum kembali dengan para pelanggan.
Email baru saja masuk, namanya kembali dipanggil untuk interview, ingin sekali Azalea melompat girang siang ini mereka menunggu kedatanngannya di kantor.
"Jef, kau bisa mengantar aku? baru saja aku dapat panggilan kerja." Sikut Jef yang sedang lewat ia tarik begitu saja, ia sampai lupa rasa haus yang tadi bersarang di kerongkongan.
"Tentu saja orang baru, tapi kau harus ijin lebih dulu pada Hera!"
Bagaiman ini kafe sedang ramai? Pantaskah ia meminta ijin, sedangkan ia baru saja kerja.
"Hey... Jangan murung kau hanya butuh ijin Hera memakai mobilnya, dia tidak akan menelanmu hidup-hidup!"
Azalea tertawa kecil, baru hampir 2 hari ia kerja di sini namun rasanya sudah sangat berat untuk meninggalkan.
"Baiklah," Azalea meninggalkan Jef, ia keluar dari dapur menuju kasir lagi.
"Hera, aku kembali dapat panggil kerja. Hari ini, boleh aku izin setengah hari?"
"Tentu saja boleh itu bagus untuk karirmu!"
"Masalahnya aku butuh mobil juga," keluh Azalea. Ia tidak ingin dikatakan lelet lagi.
Hera memberikan kunci mobilnya. "Kau harus berhasil!"
Jef membuktikan ucapannya ia menyetir mobil tanpa menginjak rem.
"Kau sampai tujuan nona."
"Kau tidak perlu menungguku Hera pasti butuh bantuan!"
"Baiklah, kau tinggal meneleponku!"
"Terimakasih, Jef."
Keduanya saling menjabat tangan hangat, saling memberi dukungan.
Bersama penghuni kantor yang lain Azalea memasuki lift, rambutnya dikuncir kuda, celana panjang putih dipadukan denngan blazer panjang sampai kemata kaki, riasan simpel foundation lalu bedak tabur natural sesuai dengan kulitnya, disempurnakan warna matte di bibir tipis, serta blus on tipis di bawah ekor matanya.
"Arumi Azalea?" Refkeks Azalea menjawab saat seseorang memanggil namanya.
"Iya. Saya, Arumi Azalea." Ia yang sedang duduk menunggu antrian meraih tongkatnya untuk berdiri, mengikuti langkah orang yang memanggilnya tadi.
Pintu kaca otomatis terbuka membawa Azalea masuk.
"Tunggu di sini!" Anggukan kecil Azalea berikan, sesaat ia menunggu, keluar empat orang sepertinya mereka baru saja selesai rapat, dengan lembaran keretas yang mereka bawa.
"Kau boleh masuk!" Entah apa yang membuat Azalea begitu gugup kali ini, tangannya menggapai gagang pintu seperti biasa ia akan menunduk melihat posisi tongkat terlebih dahulu, untuk langkah kedua barulah ia mengangkat kepalanya.
"Kau!" pelan tapi masih bisa terdengar oleh Dhruv, yang menunggu sejak tadi Azalea masuk. Duduk di sofa kantor.
Biasanya orangnya yang berdiri di depan meja, untuk kalin ini berbeda. Dhruv yang mendatangi orangnya.
"Apa begitu bahasamu, dengan Boss mu?"
Azalea terdiam melipat bibir.
"Duduk!" perintah Dhruv lagi, diikuti Azalea duduk disebrang meja, di hadapan Dhruv.
"Mari kita kesampingkan urusan diluar kantor!" Dhruv melonggarkan ikatan dasi yang masih saja sering terlalu ketat.
"Arumi Azalea, aku tertarik pada gambar yang kau buat untuk prodak baruku, kapan kau bisa mulai bekerja?"
"Mm..." Sedikit tersentak kaget Azalea masih terpaku.
"Kau melamun saat tes kerja?" pertanyaan Dhruv yang langsung disanggah Azalea.
"Tidak. Maksudku, Aah... saya diterima bekerja?" tanyanya masih belum percaya.
"Kau pikir kantor ini tempat bermain?" Azalea harus ingat orang ini adalah bongkahan besar es yang dingin.
"Tentu tidak, aku bisa memulai hari ini juga."
"Okey," Dhruv berdiri mengangkat telpon. "Kesini!" Ia kembali menutupnya, tidak lama seseorang mengetuk pintu lalu terbuka, orang yang datang adalah orang yang tadi mengantar Azalea masuk.
"Ikut denganku! aku tunjukan cara kerjanya!"
Ruang kerja di sini terbuka hanya dipisahkan ruang pembatas.
Meja Azalea yang paling pinggir menempel pada tembok, saat diperhatikan mejanya lebih luas kursinya pun berbeda kalau yang lain dengan kursi satu kaki sedangkan kursi Azalea dua kaki yang berarti aman untuknya, Azalea bersyukur untuk itu. Ia kebetulan bisa mendapatkannya.
Hari ini Azalea hanya diperkenalkan pada pekerjaan kantor, selebihnya ia hanya menjelajah internet sampai istirahat sore barulah ia turun. Di halaman belakang kantor ternyata berderet restoran penyaji makanan sore, ia masih melihat-lihat menyesuaikan dengan kantong.
Gara-gara panggilan cepat ini, ia melewatkan makan siang. Semakin dilihat semakin tidak ada yang sesuai dengan kantongnya, tongkatnya berbalik arah.
Dhruv di ujung sana baru saja keluar dari lift, ia memangil asisten lalu membisikan sesuatu sebelum ia kembali berjalan meninggalkan kantor.
Azalea baru saja kembali ia sudah disambut ramahan penghuni ruangan. "Hey.. Kemarilah! bos baru saja mentraktir kita," satu kotak ayam krispy berpindah kegenggaman Azalea. "Suasana hatinya sedang baik hari ini."
"Apa dia bos yang galak?" tanya Azalea. Yang mendengar percakapan mereka tentang Dhruv yang diam-diam tapi mengerikan.
"Bos tidak pernah marah, tapi langsung pecat!"
"Betul, posisi yang kau gantikan sekarang, dia dipecat karena ketauan bekerja sambil menopang dagu," timpal yang lainnya membuat Azalea ciut.
"Hanya menopang dagu?" ulang Azalea bagaimana dengan ia? jalan saja seperti kura-kura.
Jam istirahat sore telah selesai, Azalea kembali pada ruangannya.
"Arumi, ini pekerjaanmu! besok harus sudah ada hasil meski sedikit, bos harus melihat apa yang kau kerjakan."
"Baiklah terimakasi." Meninggalkan senyum pada rekan kerjanya yang berlalu. Azalea mulai melihat tumpukan keretas dengan gambar yang belum selesai. Laptop mulai menyala sedangkan tangannya mulai mencoba menyelesaikan gambar.
Azalea sudah ada di kafe sore ini, tadi Jef menjemput, sesaimpainya di kafe Hera dan yang lainnya malah sudah menyiapkan pesta kecil.
"Berarti kau berhenti Arumi!?"
"Ya... Itu sayangnya, tapi aku akan tetap kesini setiap hari setelah pulang kerja," tutur Azalea tidak ingin membuat kecewa.
"Untuk hari rabu aku tidak bisa karena harus terapi," Azalea menggerakan kakinya, disambut riuh penghuni ruangan.
"Kakinya bergerak, Rumi kakimu bisa bergerak."
"Mm..." Azalea tersenyum.
"Aku ingin cepat pulih, ingin berlari di rumput, berenang juga mengecet kuku kakiku." Azalea tertawa dengan bahagianya, melanjutkan pesta kecil mereka sampai jam delapan, barulah pesta usai.
Seperti biasa jalanan selalu ramai untuk kesekian kali netra Azalea menjelajah mencari punggung seseorang.
Ini sudah malam mungkim ia sudah pergi, apa yang Azalea harapkan melihat Punggung tegap itu lagi, Azalea tersenyum ia menyukai punggung itu ketika menggendong anak kecil.
Hampir saja Azalea tersandung kaget dengan pikirannya barusan, bagaimana tidak punggung itu ada, duduk di kursi trotoar bersama anak-anak jalanan.