Perasaan duka masih menyelimuti hati Eza. Hafiz yang sedari datang juga membantu semuanya di rumah Eza. Karena disibukkan dengan acara-acara. Eza dan Rina sama sekali tidak saling bicara walaupun mereka pengantin baru.
Hari-hari dilalui Eza dengan kemeranaan. Rina merasa prihatin dan hanya bisa memandanginya dari kejauhan.
Sampai selesai acara tujuh harian, tiada yang berubah dan tidak ada pembicaraan penting. Eza sudah mengemas barangnya.
Malam itu Hafiz mendatangi Eza lalu duduk di sampingnya.
"Selama ini kita memangnya teman biasa. Aku sudah membuatkan rumah yang kamu inginkan. Semuanya sudah sempurna menurutku."
Setelah Hafiz mengatakan semuanya Eza tetap diam dan tidak bergeming. Hafiz menatapnya kemudian menyentuh bahu Eza.
"Jika kamu terus seperti ini, seperti kamu saat ini yang terdiam dan terus terbelenggu oleh masalah-masalah yang sudah kamu lewati. Kamu tidak akan mudah bangkit jika kamu terus mengingatnya. Kita memang perlu belajar dari kenangan masa lalu. Untuk lebih baiknya Jadikan semua pelajaran hidup."
Eza menatap Hafiz yang dari tadi berbicara. Hafiz melepaskan tangannya dari bahu Eza. Lalu sedikit tersenyum menghadap ke Eza.
"Lalu memurutmu aku harus bagaimana?" tanya Eza. Hafiz tersenyum dengan pandangan lurus lalu bernapas.
"Kamu ingat dulu kamu pernah menasehati Asep. Dari kata mutiara Jalaludin Al Rumi. Cinta mengubah kekasaran menjadi kelembutan, mengubah orang tak berpendirian menjadi teguh berpendirian, mengubah pengecut menjadi pemberani, mengubah penderitaan menjadi kebahagiaan, dan cinta membawa perubahan-perubahan bagi siang dan malam. Kamu pernah mengatakan itu, lalu renungkan lagi. Cinta bagaimana yang selama kamu persembahkan untuk Intan?"
Mendengar itu Eza terus berpikir dan termenung.
"Kalau bisa lupakan secara perlahan dengan melakukan sesuatu yang positif, hadirkan lagi kenangan baru bersama orang yang baru. Diam itu tidak akan menyelesaikan masalah. Setelah banyak kejadian yang kamu alami, aku merasa ... tidak akan mudah menjalani kehidupan seperti kamu. Allah menguji seperti ini pasti Allah tahu batas kemampuanmu dan kesabaranmu. Memang seakan-akan kamu tidak bisa melupakan Intan. Tapi siapa yang tahu kehidupan mendatang. Kamu tahu lah, setiap manusia pasti memiliki cobaan. Dan, kamu sendiri yang bisa menyelesaikan masalah sendiri. Kamu sendiri yang mau bangkit atau tetap terpuruk seperti ini. Kamu hanya bisa mendukungmu. Aku tidak akan memintamu apa-apa. Bahkan aku tidak menuntut kamu untuk mencintai Rina. Tapi aku memintanya untuk kamu mencoba. Mencoba menghadirkan dia. Apa besok, kamu sudah akan berangkat ke Jakarta?" tanya Hafiz, Eza memandangnya.
"Iya. Apakah ada rumah lain? Apakah boleh menukar rumahnya?" tanya Eza lebih lanjut membuat Hafiz heran.
'Maklumlah, mungkin perlahan dia ingin melupakan Intan karena desain rumah itu yang diharapkan Intan. Intan memang benar-benar wanita yang parah, keong racun. Semoga jika ada usaha tidak akan ada yang sia-sia.' Hafiz berfikir dalam hati.
"Ada sih, tapi belum dicat. Juga sedikit berantakan, kamarnya saja masih ada satu tempat. Yang satu masih penuh benda-benda bagunan," jawab Hafiz.
"Tidak papa. Kamu juga ke Jakarta besok pagi?" tanya Eza yang menoleh ke arah Hafiz. Hafiz mengangguk-angguk.
"Aku seharusnya cuti tiga hari itu untuk mengajak dia bulan madu, setelah pernikahan. Tapi siapa disangka aku malah molor empat hari. Dengan terpaksa aku pulang besok. Sebenarnya ingin bertemu sama si mantan. Ya kapan-kapan saja lah," kata Hafiz. Eza mengangguk-angguk.
Malam semakin larut keduanya terus berbincang. Sementara Rina dan Hana berada di dalam satu kamar. Mereka bercanda, Hana terus meledaknya tidak henti. Rina terlihat tersenyum tapi juga terlihat kesedihan dari bola matanya.
"Semuanya butuh waktu, yang penting tetap sabar. Aku juga sedang proses kok. Semoga Allah selalu membantu. Aamiin." Hana menatap Rina. Rina yang memejamkan mata karena lelah.
"Setiap saat aku merasa nyeri. Apa juga begini artinya sulit bernapas karena seseorang. Terkadang hampa. Sifat manusia memang kurang bersyukur, mengeluh terus. Kayak aku," ujar Rina.
"Sudah istirahat, belum ada malam pengantin diantara dua pernikahan ini," kata Runia lalu berbaring.
"Apa Mas Hafiz belum bertindak?" tanya Rina. Runia malah tertawa dan segera menutup wajahnya dengan bantal. Karena penasaran Rina bangun lalu menyingkirkan bantal itu dari kakak iparnya.
"Aku tidak akan mengizinkan Mbak tidur sebelum menceritakannya," pinta Rina.
"Dasar kepo," ujar Runia. Rina berbaring dan terus memaksa.
"Ayolah ... ayolah ...." Dengan wajah lemas.
"Jadi ... malam itu hujan."
"Aa ... so sweet," kata Rina yang heboh lebih dulu. "Lalu ... apa ...?"
"Lalu ... kami bersama ... ber."
"Ber ... apa ...? Ih ...."
"Malam itu sangat ...."
"Ih ... jangan gantung-gantung dong Mbak," protes Rina.
"Salat berjamaah isya' bersama," tutur Runia membuat lemas Rina.
"Yah ... aku tegang-tegang. Ternyata malah ibadah lainnya. Aku kira ...." Rina tidak meneruskan, Runia tertawa. Mereka terus berbincang dan akhirnya Runia menceritakan segalanya kepada Rina dengan yang terjadi di malam pertamanya.
Rina terus mendengarkan. Sampai azan subuh berkumandang. Berakhirlah cerita Runia. Langit gelap kini mulai bercahaya.
Embun pagi membasahi dan mulai menguap saat mentari beranjak.
[Aku mohon kamu cepat berkemas. Karena setelah ini kita akan pergi. Jangan terlambat. Kurang satu jam lebih dua puluh lima menit, harus sudah Check in.]
Mendapat chat dari Eza. Rina sangat terkejut karena Eza tidak mengatakan apapun. Dengan tergesa-gesa dia mengemas semua pakaiannya tanpa dia lipat.
"Kamu itu benar-benar tidak rapi ya." Eza berjalan ke lemari. Mengambil sesuatu dan Rina pun menurunkan kopernya.
Brokkkk!
Rina terkejut dan menatap Eza. Pria itu hanya menggelengkan kepala. Dia jongkok dan segera membantu. Rina sangat gugup, namun dia berusaha biasa saja lalu mengambil barang-barangnya.
Baju-baju Rina berserakan. Rina terkejut saat CD dan lainnya, berada di depan Eza. Panik dengan ekpresi lucu dia segera mengamankan dan menyembuyikan pakaian dalamnya. Tiada diduga Eza sangat cepat ketika melipat baju dan sangat rapi.
Rina merasa malu dan takjub dengan apa yang dilihatnya. Dalam waktu 15 menit Eza tidak berkata apapun. Setelah selesai Eza memberikan sebuah kantong plastik yang cukup banyak. Rina merima dengan wajah aneh.
"Aku tidak ingin kamu muntah lagi!" seru Eza sambil melihat jam di pergelangan tangannya.
"Cepat, ayo kita berangkat."
Gerak cepat Eza membuat Rina Salah Tingkah setiap saat. Rina mengikuti Eza dengan pakaian sederhana. Ternyata di depan sudah ada kedua orang tuanya. Karena Jadwal penerbangan berbeda dengan Hafiz.
Eza dan Rina berangkat lebih dulu. Akan pergi jauh dari kedua orang tuanya Rina tidak kuasa menahan tangisnya. Pelukan sesaat dari kedua orang tuanya membuat Rina sedikit tenang.
Eza dan Rina berangkat menuju bandara dengan diantar Raihan. Mereka tidak berbicara sama sekali. Rina merasa tidak nyaman dengan kondisi badannya.
'Keringat dingin terus keluar. Pasti badanku juga tidak enak. Apa nanti pendapatnya Kak Eza. Ini sangat buruk. Biar saja, nanti aku akan menyalahkannya, jika dia mengataiku bau. Dia kan tidak menyuruhku bersiap dari tadi malam,' umpat Rina dalam hati, yang terus memperhatikan Eza.
Bersambung.