Seorang gadis desa bernama Laila Fatihani. Ia adalah gadis ceria dan baik hati. Hari ini, ia sedang membantu kakeknya berkebun di ladang.
Kakek Pramono adalah seorang kakek yang memiliki kebun kecil, yang cukup menghidupi dirinya beserta cucunya. Ia selalu mengajarkan akhlak dan ilmu agama. Membuat Laila tumbuh menjadi gadis yang baik budi pekertinya. Tak jarang ia akan membantu siapapun yang membutuhkan pertolongan.
"Laila, tolong ambilkan pupuk di gubuk! Ini sudah abis," perintah Pramono.
"Iya ,Kek," jawab Laila dengan semangat.
Angin berhembus kencang, yang membuat kerudung panjang yang dipakainya berkibar mengikuti alunan angin berhembus. Ia lantas memegang kerudungnya agar tidak terlepas. Udara di perbukitan yang masih hijau dan asri.
Laila mengambil satu kantong pupuk yang beratnya sepuluh kilogram. Ia mengangkat dengan kedua tangannya lalu membawa sekarung pupuk ke ladang.
"Ini, Kek. Pupuknya." Laila mendekati kakeknya yang sedang istirahat.
"Kamu lanjutin, Nduk. Kakek istirahat dulu." Sang kakek mengelap wajahnya yang berkeringat dengan kaosnya sendiri.
Kakek Pramono berjalan ke arah pohon melinjo. Ia duduk di bawahnya sambil mengipaskan capingnya, untuk mendinginkan wajahnya, agar tidak kepanasan.
"Bismillahirrahmanirrahim. Semoga tanamanku dan kakek cepat besar. Biar kami bisa beli beras dan bisa makan enak. Aamiin ..." doa Laila sambil membuka karung tersebut dengan pisau.
Pupuk berbentuk kaplet itu akan dicampurkan dengan pupuk kompos. Laila hafal itu semua. Ia mulai menakar beberapa pupuk kompos dan pupuk yang diperoleh dari pemerintah desa tersebut.
Sang kakek menatap Laila dengan senyum. Tubuh rentanya membuat fisiknya semakin lemah. Itu sebabnya ia harus sering-sering istirahat. Jadi, Laila-lah yang akan menggantikannya. Yah sebenarnya Laila yang banyak melakukan pekerjaan.
"Ya rasulallah ya habiballah ... Ya rasulallah. Muhammad ibni Abdillah ... Muhammad ibni Abdillah ...." Laila melantunkan sholawat sambil memberi pupuk pada tanamannya.
"Alhamdulillah ... kamu sudah besar, cucuku kalau bersholawat pun sangat merdu," gumam kakek Pramono yang memuji Layla dari jauh.
Namun sang kakek, memikirkan hal lain di dalam benaknya. Ia masih terfikirkan tentang masa lalunya. Ia teringat tentang anaknya yang telah lama meninggal. Kedua orang tua Laila telah meninggal dunia.
Ayah Laila, meninggal karena kecelakaan motor sepuluh tahun lalu. saat itu, Laila masih berumur delapan tahun. Dan sebelum ayahnya meninggal, kakek Pramono telah diberitahu, bahwa Laila telah dijodohkan dengan anak sahabatnya.
Ibu Laila menyusul ayahnya Laila dua tahun kemudian karena penyakit jantung yang ia derita. Karena tidak memiliki biaya untuk membawanya ke rumah sakit, ibunya Laila hanya dirawat di rumah. Sampai ia tidak bisa bertahan dan akhirnya pergi untuk selamanya.
Maka dari itu, Laila dirawat oleh kakeknya. Kini kakek Pramono telah berperan sebagai ayah sekaligus ibunya. Yang telah membesarkan sekaligus mendidiknya menjadi gadis yang cantik dan baik budi pekertinya.
***
Hilman Syahputra, seorang anak dari pemilik kebun terluas di desanya. Ia sedang menghirup udara di siang hari ini. Ia merasakan sengatan sang surya. Namun semangatnya tidak pernah pudar. Ia sedang mengawasi pekerja yang sedang menanam beberapa jenis palawija.
Musim hujan adalah waktu terbaik untuk melakukan penanaman. Karena waktu tersebut, kita tidak perlu menyiram tanaman. Tetapi lebih baik jika tanaman mendapat air yang cukup. Tidak berlebihan atau kekurangan.
"Mas Hilman!" Seorang wanita cantik nan seksi mendekati Hilman yang sedang melihat-lihat perkebunan.
"Eva?" panggil Hilman agar wanita itu mendekat.
"Sayang ... ini makan siangnya."
Wanita yang bernama Eva itu adalah suami dari Hilman. Mereka sudah menikah satu tahun lalu. Pernikahan mereka sebenarnya tidak berjalan dengan baik. Bukan karena mereka tidak saling cinta. Tetapi karena orang tua mereka yang tidak setuju atas pernikahan mereka.
"Terima kasih. Mari duduk." Hilman mengajak Eva ke bawah pohon rambutan.
Selain beberapa palawija, kebun ini juga memiliki beberapa pohon buah. Seperti buah rambutan, jeruk, mangga, dan kelapa. Saat ini sedang berbuah pohon rambutan dan mangga. Dan saat ini mereka duduk di bangku di bawah pohon rambutan uang berbuah lebat.
"Aku bukain yah?" tawar Eva, yang dibalas anggukan oleh Hilman.
Wanita tersebut, dengan telaten melayani suaminya. Ia dengan sabar mengeluarkan isi makanan dari dalam tasnya. Sementara Hilman memanggil para pekerjanya.
"Ayo, Mas. Makan. Aku udah masak banyak!" ucap Eva sambil meletakan makanan tersebut di atas tikar.
"Iya. Aku panggil mereka dulu yah." Hilman berjalan menuju ke tempat para pekerja di perkebunan milik orang tuanya.
"Iya, Mas," sahut Eva dengan senyumannya.
"Pak Toto, Pak Anwar, Pak Syamsi. Ayo makan bersama!" panggil Hilman terhadap para petani yang sedang bekerja.
Orang orang yang dipanggil itu menyahut dan mulai mendekat. Mereka dengan senang hati bergabung untuk makan bersama. Karena kadang Eva akan mengantarkan makanan untuk Hilman. Tetapi wanita itu tidak selalu mengantarkan makanan. Hanya saja saat ini Eva yang ingin memasak banyak.
"Mari, Pak. Makan!" ajak Hilman.
"Iya Mas Hilman."
"Terima kasih."
Eva mundur dari tempat tersebut. Wanita tersebut duduk di belakang Hilman. Ia hanya membawakan makanan, tetapi ia tidak berniat ikut makan.
"Kamu gak makan?" tanya Hilman pada Eva.
"Enggak, Mas. Kamu aja sama bapak-bapak ini. Saya udah makan kok," jawabnya bohong.
"Eva. Jangan bohong. Ayo makan! Aaaa ...." Hilman menyuapi Eva, sehingga Eva pun menyambut suapan itu dengan malu-malu, karena dilihat beberapa petani.
Eva yang mendapat perlakuan romantis dari suaminya itu, merasa sangat bahagia. Bahagia ia memiliki seorang suami yang baik kepadanya. Namun tidak untuk kisah cinta mereka. Perjuangan cinta mereka yang berliku, membuat mereka menjadi pasangan yang tegar.
*Flashback*
"Kami tidak merestui hubunganmu dengan wanita ini!" pekik Redho, ayahnya Hilman.
"Pah!" Ia menatap Redho geram. Bukan ini yang ingin ia dengar dari mulut orang tuanya. Yang ia inginkan adalah sebuah restu.
"Kamu anak durhaka, Hilman! Bawa perempuan itu pergi! Papa nggak mau melihatnya!" Redho yang tersulut emosi karena anaknya memilih seorang wanita malam untuk menjadi calon isterinya. Sedangkan Hilman sudah ia jodohkan dengan anak sahabatnya.
"Apa salah saya, Om?" tanya Eva sambil terisak.
Tidak menyangka. Eva yang senang akan diperkenalkan dengan orang tua Hilman, kini hanya menyesal. Ia tidak menyangka, calon mertuanya tidak merestui hubungan mereka. Eva yang tidak tahu apa apa, hanya bisa menangis.
"Kamu tidak bersalah. Tetapi Hilman sudah om jodohkan dengan anak teman om. Kamu mengertilah ... kamu sebaiknya meninggalkan anak saya ..." ucapnya lirih. Pria paruh baya itu hanya menggeleng, karena anaknya tidak mau nurut.
"Tidak, Pah. Saya tidak terima perjodohan itu. Saya akan menikahi Eva. Tidak peduli papah setuju atau tidak!" jawabnya dengan keras.
Hilman membawa Eva pergi dari rumah tersebut. Hilman sudah tahu sejak kecil, bahwa dirinya sudah dijodohkan. Seorang gadis desa yang terpaut umur yang jauh dengannya.
Dulu waktu perjodohan itu, Hilman yang baru berumur lima belas tahun. Sedangkan gadis yang akan dijodohkan itu baru tujuh tahun. Dia adalah gadis desa yang suka bermain tanah sewaktu kecil.
Hilman tentu pernah melihat gadis itu. Yah setidaknya dua belas tahun yang lalu. Kini usia Hilman sudah dua puluh tujuh tahun. Berarti gadis itu sudah berumur sembilan belas tahun.
Entah bagaimana wajah gadis tersebut. Tetapi ia harus memastikan tidak akan menikahinya. Dia harus menunjukan pada gadis itu. Dia sudah memiliki pasangan yang ia sukai. Bukan gadis desa yang pastinya tidak modis dan kolot itu.
"Kenapa kita pergi? Hilman ... apakah kita akan menikah? Kurasa tidak. Lebih baik, kita berpisah. Aku akan kembali ke tempat lamaku ..." tutur Eva dengan air mata sudah mengering, karena habis menangis.
"Tidak Eva! Kamu tidak boleh kembali ke tempat itu. Aku akan bertanggung jawab padamu. Aku akan menikahimu!" kekeh Hilman.
"Tapi kamu tahu aku kan? Aku bukan wanita baik-baik. Aku wanita yang sudah tidur dengan banyak pria. Aku wanita kotor!" jelasnya sambil meneteskan air matanya lagi. Ia mengingat siapa dirinya sebenarnya.
"Tidak Eva. Meskipun kau bukan wanita yang suci lagi. Entah berapa puluh atau berapa ribu orang yang pernah tidur denganmu. Tetapi aku mencintaimu. Aku akan selalu ada untukmu. Ayo kita pergi dari sini!" ajak Hilman. Entah kemana Hilman mengajak Eva pergi. Yang penting, ia harus menikahi Eva.
Cinta memang buta. Yah setidaknya ini yang dirasakan Hilman. Ia tidak peduli dengan Eva yang sudah tidak suci lagi. Yah, Eva adalah bekas wanita malam. Tetapi perlakuan Hilman padanya, tidak seperti lelaki hidung belang yang menginginkan tubuh moleknya. Hilman tidak pernah menyentuh apa yang bukan semestinya.
Hilman dan Eva hanya sebatas berpelukan dan berciuman. Dan itu tidak lebih. Tetapi Hilman adalah seorang pria sejati, ia ingin menikahi Eva sebagai rasa cintanya itu.
Hilman membawa Eva ke luar kota. Mereka menikah secara resmi di sana. Walaupun Eva adalah anak yatim piatu, Hilman tetap menikahinya secara hukum. Berbagai cara ia lakukan untuk mendapat kan haknya menikahi Eva secara legal. Dan akhirnya ia pun berhasil.
*Flashback end*
***