Seruni sebenarnya tidak tega melihat anak sekecil itu dibiarkan main lumpur. Tetapi ia sadar, dirinya sedang menumpang di rumah itu. Tidak pantas dirinya menggurui Maisaroh.
"Aku nggak mau main sama dia, Ma! Dianya jorok. Iiiihhh ...." Hilman sampai meninggalkannya. Ia takut kena cipratan lumpur dari Laila.
"Iya, kamu mau main apa, Hilman?" tanya Seruni.
"Mau main bola, Ma," sahut Hilman.
"Oh, kurasa di lapangan dekat kebun, ada anak-anak yang main bola sore hari." Maisaroh mengingat anak-anak desa lainnya, bermain di lapangan ketika hari sudah sore.
Karena Laila masih sangat kecil, Maisaroh tidak mengijinkan Laila pergi tanpa pengawasan. Apalagi sore hari merupakan waktu yang tidak baik untuk anak-anak bermain di luar rumah.
Kalau hari menjelang maghrib, Laila tidak boleh berada di luar rumah, Maisaroh akan menutup semua pintu dan jendela saat tiba waktunya maghrib.
"Main lumpurnya sudah ya, Laila! Ayo mandi!" panggil Maisaroh. Ia membawa handuk, mengajak Laila mandi.
"Iya, Ummi!" balas gadis itu. Ia berlari menuju Maisaroh yang tersenyum melihat Laila.
Laila pergi menuju kamar mandi bersama Maisaroh. Gadis yang masih berusia tujuh tahun itu melepas pakaiannya dan meletakan pakaian kotor itu di ember. Sementara Maisaroh mengikutinya. Ia mencucikan baju Laila dan juga mengawasi Laila mandi. Karena mereka ada di sumur timba, Maisaroh sudah mengisi jembangan dengan air sumur. Laila pun mandi sampai bersih.
Laila mandi tanpa dibantu Maisaroh. Gadis mungil itu menggosok badannya dengan sabun mandi setelah mengguyur badannya dengan air.
"Ummi, sudah!" Ia merentangkan tangannya. Maisaroh pun mendekap Laila dengan handuk.
Maisaroh yang keluar bersama Laila, membuat Seruni heran. Bukankah tadi Maisaroh membiarkan Laila main lumpur? Tapi kenapa sekarang ia terlihat sayang kepada Laila? Ia bingung harus bersikap apa pada ibu dan anak ini.
"Mba Seruni nggak mandi? Sudah sore, sebaiknya Mbak Seruni dan Hilman mandi dulu! Sebentar lagi mas Fattah dan mas Redho pulang." Maisaroh tersenyum dan meninggalkan Seruni yang mematung.
"Orang ini sungguh aneh!" gumam Seruni menggelengkan kepalanya.
Tak lama kemudian, Maisaroh kembali dari kamarnya. Ia membawa beberapa pakaian untuk dipakai Hilman dan Seruni.
"Mbak Seruni. Ini pakaian buat ganti. Maaf, hanya ini yang biasa kami pakai." Maisaroh menyerahkan beberapa potong pakaian itu pada Seruni.
"Terima kasih, Saroh. Kamu dan mas Fattah baik sama keluargaku. Dilain waktu, kami pasti akan membalasnya."
"Tidak apa-apa, Mbak. Sebagai sesama manusia, kita harusnya saling tolong menolong, bukan?"
"Eh, iya ...." Seruni agak canggung. Padahal keluarganya dulu tidak kekurangan apapun. Sekarang untuk berpakaian saja pun harus memakai pakaian orang lain.
Untungnya keluarga Fattah mau menampung dan membantu semua kebutuhan mereka. Walau dalam kekurangan, mereka selalu menolong orang yang membutuhkan pertolongan.
Malam harinya Seruni tidak menyangka karena Seruni akan diajari untuk membaca Alquran oleh Maisaroh. Sedangkan Redho dan Hilman diajak ke Mushola. Tetapi Hilman tidak mau ikut. Ia lebih baik berdiam diri di rumah.
Suara mengaji Laila, membuat Hilman tidak bisa tidur. Walau suara Laila begitu merdu. Bahkan Seruni pun mengagumi suara Laila yang melantunkan ayat suci Alquran.
"Bismillahir-rahmanir-rahiim. Al-hamdu lillahi rabbil 'aalamiin. Ar-rahmanir-rahiim. Maaliki yaumiddiin. Ii-yaaka na'budu wa-ii-yaaka nasta'iin. Ihdinaash-shiraathal mustaqiim. Shiraathal-ladziina an'amta 'alaihim ghairil maghdhuubi 'alaihim walaadh-dhaalliin. Aamiin ...."
"Masya Allah, Laila. Kamu sudah bisa membaca dengan baik." Maisaroh memuji Laila. Ia merasa senang karena Laila bisa mengaji dengan baik dan benar.
"Iya, Ummi."
"Anak itu merdu banget," lirih Seruni. Mendengar itu, Seruni semakin ingin belajar mengaji pada Maisaroh.
Karena Hilman tidak mau diganggu saat tidur, Hilman pun ikut dengan Redho dan Fattah ke mushola. Yang diharapkan Hilman adalah bisa dengan tenang tidak mendengar Laila mengaji.
Pada kenyataanya, di Mushola lebih banyak orang mengaji. Bahkan ia lebih suka mendengar suara Laila yang merdu.
"Kenapa, Nak? Sepertinya kamu ngantuk?" Fattah melihat gelagat Hilman yang tidak bisa diam. Ia ingin segera pulang ke rumah.
Hingga malam ke enam. Esoknya, Redho berniat untuk pergi ke kota. Karena Redho bekerja di kota. Waktu cutinya hampir habis. Ia harus memboyong keluarganya ke kota. Ia tidak ingin merepotkan sahabatnya lagi.
"Kuharap ini terakhir kalinya, saya merepotkanmu, Fattah. Kuharap saya bisa membalas kebaikanmu. Begini saja, bagaimana jika anak kita sudah dewasa, kita nikahkan mereka!" usul Redho, yang tentu di dengar oleh Hilman dan juga Laila.
Saat ini, Laila dan Hilman sedang makan bubur buatan Seruni. Mereka terlihat menikmati bubur walaupun wajah Laila belepotan. Karena makannya Laila masih berantakan. Hal itu membuat Hilman tertawa. Sungguh pemandangan lucu buat Hilman, melihat makan Laila yang berantakan seperti itu.
"Yah, saya sih tidak keberatan. Tetapi lebih baik kita diskusikan ini lain waktu? Mereka masih anak-anak!" jawab Fattah.
"Abi!" panggil Maisaroh.
"Iya, Ummi?"
"Bukankah mereka terlihat akrap?" ucap Maisaroh.
"Benar. Tetapi tunggu mereka dewasa! Kita akan memutuskan bagaimana baiknya! Bagaimana kalau kita pertemukan saat dewasa? Kalau mereka mau, kita jodohkan saja. Itupun kalau mereka mau menerima. Kalau tidak, kita tidak perlu memaksa," usul Seruni.
"Baiklah ... memang mereka masih belum mengerti. Tapi sudahlah ...." Redho menghembus nafasnya. Ia merasa pembicaraan ini terlalu mendadak.
Pada akhirnya, mereka menyelesaikan percakapan mereka. Redho merasa harus membayar budi kepada Fattah. Salah satu caranya adalah dengan menjodohkan Hilman dengan Laila.
Keinginan Redho semakin kuat. Melihat Laila yang begitu imut, membuatnya ingin sekali memiliki cucu seperti Laila kelak. Kalau bukan karena budi baik Fattah sekeluarga, ia tidak bisa bertahan hidup seperti apa. Mungkin ia akan bersama pengungsi lain. Berebut makanan dalam keadaan yang memperihatinkan.
Sebelum pamit, Redho sudah mengatakan kesungguhannya. "Pokoknya ini janjiku padamu, Fattah. Biarkan Laila menjadi istri Hilman. Aku bersumpah, Hilman akan menikahi Laila saat dewasa."
"Tidak, Redho. Biarkanlah mereka tumbuh besar."
"Kamu tidak tahu Fattah. Aku akan bekerja keras untuk hidup dengan baik dan akan kembali ke desa ini untuk melamar Laila untuk Hilman."
"Baik ... baiklah, Redho. Terserah kamu saja. Aku tunggu kedatanganku untuk melamar Laila untuk Hilman. Insyaallah aku akan menerima lamaran itu." Pada akhirnya Fattah menyetujuinya.
"Baik. Baiklah, kalau kamu setuju. Tunggu aku, Fattah. Selamat tinggal calon besan. Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh ...."
"Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh."
Kedua keluarga itu akhirnya berpisah.
*Flashback end*
Hilman sudah sampai di depan rumah, dimana alamat rumah itu di dapat dari seorang yang dipercaya, untuk mencari alamat Pramono (kakeknya Laila). Ia belum pernah ke tempat ini. Dan rumah itu tidak berbeda jauh dengan rumah yang ia tempati dahulu dengan Laila. Ia memeriksa pesan di ponsel genggamnya, memastikan alamat itu benar.
"Semoga ini berjalan lancar!" ucapnya menghembuskan nafas pelan. Ia mengetuk pintu itu dengan tangan kanannya.
"Assalamualaikum ...." Seorang perempuan mengucap salam di belakang Hilman.
Hilman yang mendengarnya pun menengok ke belakang. Ia melihat seorang perempuan mengenakan jilbab panjang sedang menuntun sepeda. Hilman dan gadis itu saling berhadapan.
***