Berada di belakang seseorang yang didambakan selama ini sangatlah membahagiakan hati. Terlebih lagi sekarang dia sudah menjadi kekasih halal dan menjadi makmumnya.
'Semua kelebihannya adalah pemberianMu. Subhanallah ... bahkan sebenci-bencinya dia ... dia juga mendoakanku.'
Air mata Rina benar-benar berlinang ketika Eza membaca sebuah doa setelah salat.
'Dia berdoa. Robbanaa hablanaa min azwaajinaa wa zurriyaatinaa qurrota'ayuniw waj'alna lil-muttaqiina imama. Artinya:
"Ya Allah, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa."
Allaahumma baarik lii fii ahlii wa baarik li ahlii fiyya. Artinya: "Ya Allah, berkahilah istriku untukku dan berkahilan aku untuk istriku." Subhanallah sangat mudah membuat aku jatuh hati lagi kepadanya. Ya Allah mudahkan dia mencintaiku. Setidaknya buat Dia terpaksa mencintaiku hingga benar-benar mencintaiku. Aamiin,' doa Rina dalam hati kemudian mengusap wajah.
Eza berbalik badan dan mengulurkan tangannya. Segera Rina meraih punggung tangan Eza. Terlihat jelas Rina tidak berani menempelkan Bibirnya di atas panggung tangan itu. Dia hanya meletakkan hidungnya, sangat lama.
"Rasanya aku ingin hilang ingatan. Agar aku berhenti mencintai Intan." Suara Eza sangat bergetar. Rina mengangkat wajahnya Eza segera menarik tangannya. Eza kembali berbalik badan ke arah kiblat.
Dia tertegun dalam diamnya. "Semoga tidak sampai hilang ingatan. Allah akan menghapus ingatanmu semua tentang dia. Aku yakin, keep smile. Aku sok manis pasti kamu merasa muak," ujar Rina lalu berdiri dan melipat mukenanya.
Eza masih terdiam di atas sajadahnya. Rina terus memperhatikan suaminya. "Dia tidur atau berdzikir?" gumam Rina bertanya. Eza bangun kemudian melipat sajadahnya makan di punggung sofa.
Dia berbaring pula di sofa, sambil memejamkan mata dan menutupi wajah dengan lengannya. Napas berat keluar.
"Bersediakah kau membuat kenangan bersamaku?" tanya Rina memecah kebekuan.
Eza sama sekali tidak menjawab. Merasa bosan dengan keheningan yang ada. Rina segera mengambil buku gambar. Saat dihadapkan dengan buku itu Rina malah terdiam dan tidak bisa berpikir sama sekali.
"Kenangan seperti apa yang ingin kamu buat?" tanya Eza tiba-tiba bangun dari sofa. Rina menoleh dan berkedip-kedip, jelas aja dia menahan senyum bahagia yang berdesir dari dalam hatinya.
"Malah diam saja, cepat! Waktu ganti baju 10 menit!" ujar Eza melepas baju. Rina segera menutup kedua matanya.
"Aku bilang waktunya hanya sepuluh menit, kamu sudah membuang waktu satu menit. Bukankah katamu kita harus menciptakan kenangan," kata Eza yang kemudian mendekat tanpa baju.
"Kenangan macam apa seperti ini? Oke, aku berdiri dan aku ganti baju." Rina berdiri sambil membuka sedikit jarinya. Ketika Eza mendekat ke meja untuk mengambil ponsel. Rina menoleh ke suaminya dan berusaha waspada.
Dhuggg!
"Ya Allah ... sakit ...." Rina rasa malu ketika dia menabrak pintu lemari. Dia melirik lagi ke suaminya.
Melihat tingkah Rina, Eza hanya menggelengkan kepala dengan wajah datar lalu kembali lagi melihat ponselnya.
"Aku harus pergi ke rumah sakit. Ada pasien darurat. Operasi usus buntu, aku harus membantu Dokter Arif. Doakan semoga sukses. Tunggu saja nanti di restoran depan, aku akan menemanimu setelah salat magrib. Nanti kamu telepon saja," jelas Eza dan kemudian bergegas mengambil kemeja dan jasnya.
Rina berdiri di depannya. "Kenapa lagi?" tanya Eza yang terlihat kesal. Tanpa berkata apapun terima segera meraih tangan kanan Eza dan menciumnya.
"Aku akan mendoakanmu." Rina tersenyum sangat manis, pipinya merona, dengan pandangan bercahaya yang dihiasi dengan bulu mata lentik dan alis hitam, menunjukkan dia sangat cantik membuat dia benar-benar sangat cantik jelita.
"Jangan senyum-senyum sendiri!" lagu Eza sebelum pergi.
"Siap Dokter!" Rina segera menutup rapat bibirnya. Eza memakai sepatu dan kemudian pergi dengan wajah biasa saja. Rina berdiri di tengah pintu sambil mengamati langkah suaminya yang semakin cepat menjauh darinya.
"Dokter Eza. Rasanya setiap saat kamu menyuntik ku. Apa aku juga perlu operasi? Kenapa aku makin majnun," kalau Rina kemudian segera masuk ke kamar.
Dia berusaha menyibukkan diri agar waktu terasa cepat. Dia pun segera mengaji dan berdoa agar suaminya lancar ketika melakukan operasi bersama dokter lain.
****
Semburat Jingga menghiasi langit di sore itu, Rina yang berdiri di depan kaca tembus pandang mengamati kota Jakarta yang akan gelap.
"Kenapa jantungku terus berdetak. Dan rasanya sangat hebat," gumamnya. Rina kemudian mengangkat kedua tangannya memandang ke langit.
"Mohon lancarkan segalanya ya Allah. Semoga operasinya lancar dan pasien yang dioperasi itu kembali sehat, Aamiin."
Rina sangat bahagia ketika suaminya meminta sebuah doa darinya. Menurutnya Itu adalah hal yang sangat istimewa.
Suara azan yang begitu indah pun sudah berkumandang. Rina segera melaksanakan kewajibannya yaitu salat Maghrib. Setelah selesai salat, berdzikir dan berdoa. Rina segera berdandan. Dia mencari baju yang sesuai.
Matanya tertuju kepada gamis berwarna biru langit. Dia segera memakai dan berdandan secantik mungkin untuk suaminya. Tidak biasanya dia memakai lipstik yang sangat tebal merah merona. Merasa tidak nyaman dengan warna bibirnya, Rina segera menghapus lipstik merah itu.
Dia lalu memakai lipstik berwarna merah muda dan tidak tebal. Setelah siap pergi sambil tersenyum, Rina mengambil ponselnya dan berusaha menghubungi suaminya.
Dia terus menelpon nomor Eza. Sampai beberapa kali panggilan itu dijawab.
"Semoga tidak terjadi apa-apa. Ya Allah hindarkan suami hamba dari masalah berat. Aamiin," doa Rina segera mengusap wajah. Mengambil tas dan pergi. Saat di tengah pintu dia sadar bahwa dia masih memakai sandal jepit.
"Dasar Rina yang konyol." Rina kembali masuk ke kamar dan memakai high heels.
Untuk sejenak dia terdiam dan tersenyum.
"Semoga setelah ini ada harapan pasti Aamiin. Rasanya seperti ... ah ... tidak bisa dikatakan."
Dengan perasaan tidak sabar Rina melangkahkan kaki. Ketika berjalan dia berusaha menghubungi lagi suaminya.
Tuttt ... tuttt ....
"Iya. Tunggu saja, aku akan datang."
Mendengar Eza mengatakan itu Rina merasa sangat bahagia. Walaupun suara Eza seperti biasanya.
"Eh ... tunggu, jangan di putus dulu teleponnya. Bagaimana operasinya lancar kan?" tanya Rina karena mencemaskan.
"Alhamdulillah lancar. Aku minta kamu jangan ceroboh, jangan melakukan hal konyol. Kalau menyeberang lihat jalanan yang memang benar-benar sepi."
"Alhamdulillah ...." Perasaan Bahagia tidak bisa lagi ditutupi Rina. Senyum di pipinya mengembang sempurna.
"Kenapa?" tanya Eza yang merasa aneh.
"Kamu mencemaskanku 'kan? Kamu takut aku kenapa-napa 'kan?"
Mendengar pertanyaan Rina yang seperti itu Eza segera menutup telepon. "Yah ... death. Tapi aku sangat senang. Terima kasih ya Allah." Rina menatap langit berbintang dan tidak sabar lagi ingin segera berkencan dengan suaminya.
Rina berjalan cepat menuju restoran, pandangannya menyapu seluruh ruangan lalu berjalan memilih tempat duduk.
Dia duduk lalu menepuki pipi yang memanas dengan kedua telapak tangan yang mendingin. Matanya terus menuju ke pintu.
Menunggu adalah hal yang paling menyebalkan. Sesekali Rina melihat menit dari ponselnya. 'Lima belas menit berlalu dengan mudah,' batinnya yang merasa cemas dan terus melihat ke arah pintu.
Bersambung.