Chereads / Terpaksa Mencintaimu / Chapter 43 - Selalu Ceroboh

Chapter 43 - Selalu Ceroboh

Berusaha seperti tidak melakukan apapun walaupun dia baru saja melakukan tindakan ceroboh yaitu memeluk Eza.

Pesawat benar-benar landing dengan sempurna. Rina bisa bernapas lega ketika pesawat berhenti. Para penumpang pun mulai mengambil koper dan segera turun.

Eza membantu gadis kecil itu untuk melepaskan sabuk pengaman.

"Terima kasih Om." Ucapan merdu dengan senyum manis.

"Sama-sama cantik ...." jawab Eza dengan tersenyum sambil mencubit pipi gadis itu.

"Terima kasih Dokter," ujar sang Ibu dari anak itu. Eza mengangguk sambil tersenyum.

"Ke gadis kecil bisa manis seperti itu, kenapa kalau sama aku asem. Apa aku perlu menjadi anak kecil?" gumam Rina dengan duduk yang tidak jenuh. Mengawasi satu-persatu orang yang hendak keluar dari awak kabin pesawat.

Eza malah duduk santai sambil mainan ponsel. Rina terus memperhatikan penumpang yang berlalu-lalang lalu menjadi sepi. Rina melirik ke suaminya.

"Kapan kita turun?" tanya Rina. Eza sama sekali tidak bergeming. "Huh!" Rina meniup wajah suaminya lalu berdiri. "Kenapa sulit untuk berdiri?" gumamnya merasa kakinya sangat berat.

Rina terus berusaha menggerakkan kakinya tapi tidak bisa kemana-mana. Dia akhirnya sadar jika sabuk pengamannya belum dilepas. Dengan Rina yang terus bergerak otomatis Eza juga bergerak. Keduanya menatap, Rina merasa tatapan itu menakutkan. Eza segera menatap ponselnya. Rina kembali duduk pasrah, sambil memijat keningnya.

'Kenapa aku selalu membuat malu, diriku sendiri. Selalu ceroboh dan konyol? Bagaimana aku tidak sadar jika aku masih terikat dengan sabuk pengaman. Aduh ... dari tadi saking tegangnya aku itu menahan. Mana sudah terasa di pucuk lagi. Kalau dibuat gerak pasti keluar.' Rina menutupi wajah kedua tangannya.

Pleak!

"Awas ya jangan macam-macam!" seru Rina sambil menatap tajam dan menunjuk dengan jari telunjuk kirinya. Eza tidak memperdulikan dan Rina kembali menepuki punggung tangan Eza yang berada di atas area sensitif milik Rina. Yang pasti itu sangat panas tapi Eza tidak mempedulikan dan segera melepas sabuk pengaman milik keduanya.

'Bodohnya ... lagian tidak ada alasan lain untuk dia menyentuhku. Kenapa tadi aku berburuk sangka? Dan tidak berfikir apapun!' batin Rina yang merasa malu.

Eza sudah berdiri dan dia segera mengambil koper. Rina masih tetap duduk sambil memangku kan tangan di atas dagunya. Jari-jari terus bergerak menepuk pipinya.

"Kamu mau tidur di sini?" tanya Eza dengan nada ketus. Rina memang sudah tidak melihat seorangpun berada di awak kabin pesawat kecuali para pramugari dan para petugas.

Eza dengan cepat melangkah tanpa mempedulikan Rina. Rina malah bersandar lemas dan memejamkan mata.

"Pergi saja sana!" seru Rina setelah melihat Eza melangkah dengan cepat.

"Mau kamu itu apa sih?" tanya Eza dengan kesal dan tanpa kesabaran, dia kemudian membopong Rina dengan cepat.

Sangat terkejut dengan tindakan tidak terduga suaminya. "Eh. Hik hik hiks est ...." Rina menangis sambil memukuli dada Eza. "Hiks ... esht. Aku ingin buang air kecil."

"What?!" Eza benar-benar terkejut dan menghentikan langkahnya.

Mendengar itu Eza berbalik arah dan segera berlari ke kamar mandi. Sambil terus mempererat tubuh Rina di atas lengannya. Dengan rasa canggung Rina terpaksa berpegangan di bahu Eza.

Menatap Eza dengan terkesima ketika serius berlari ke kamar mandi. Eza menurunkan secara kasar selalu membukakan pintu.

"Cepat masuk! Tunggu apa lagi!" teriak Eza membuat Rina sedih. Rina masuk kamar mandi.

'Aku memang parah!' keluh Rina yang benci kepada diri sendiri. Setelah beberapa menit Rina pun keluar dari kamar mandi.

Melihat Eza sedang berbicara dengan salah satu pramugari yang sangat cantik. Rina berjalan dan kemudian menarik kopernya, bunga, boneka. Membuat dia sangat kesukitan berjalan. Dia terus berjalan dan memilih menunggu Eza dari kejauhan.

Melihat Eza yang sangat nyaman dan tertawa lepas ketika berbicara dengan salah satu pramugari itu. Rina terus menatap ke atas agar air matanya tidak terjatuh. Setelah bermenit-menit akhirnya Eza berjalan menghampiri Rina.

Keduanya berjalan cepat, lebih lagi Eza hanya fokus dengan koper dan ponselnya. Rina terus mengikuti langkah panjang suaminya.

Eza terlihat menelpon seseorang. Rina berdiri di sampingnya. Baru kali ini dia melihat kota Jakarta.

'Masya Allah Subhanallah dunia ini benar-benar luas,' ucap syukurnya dalam hati menikmati pemandangan siang itu.

Taksi berhenti di depan mereka. Sopir membantu memasukkan koper milik keduanya. Eza membuka pintu depan ternyata ada anak kecil yang berusia tiga tahun.

Dengan wajah terpaksa Eza dan Rina sama-sama duduk di kursi penumpang.

Sopir masuk dan mobil melaju.

"Anaknya demam?" tanya Eza. Supir itu mengganggu. "Kenapa tidak di rumah saja. Bersama ibunya?" tanya Eza lebih lanjut.

"He ... dia pergi meninggalkan kami," jawab supir itu.

"Huk. Huk. Huk." melihat anaknya Batuk bapak itu segera memberikan air mineral. Rina hanya memperhatikan dan merasa kasihan.

Suara batuk itu membuat Eza mencondongkan tubuhnya. Mengecek suhu badan dan detak jantung anak itu. "Kita harus pergi ke rumah sakit sekarang juga," ujar Eza setelah tahu keadaan anak itu.

"Dia memang baru keluar dari rumah sakit, karena saya tidak bisa membayar. Jadi saya pikir lebih baik saya merawatnya di rumah saja," jelas supir itu.

"Ini paru-paru. Tolong bapak perhatikan anaknya."

Mendengar itu sopir itu segera mengerem mobilnya. "Kamu ngomong seenak hati! Karena kamu tidak merasakan jadi saya." Tangis supir itu terpecah setelah berkata kasar kepada Eza. Suasana menjadi sedikit tegang.

"Maaf ...."

Mendengar kata maaf dari bibir Eza membuat Rina sangat lega.

"Jika anda sayang kepada anak anda. Tolong bawa ke rumah sakit sekarang juga. Aku akan menghubungi salah satu temanku." Eza segera menelpon seseorang.

'Dia memang baik hati. Tidak bisa baik kepadaku. Selalu kebencian yang terlihat,' batin Rina, lalu melihat dan mendengar batuk itu tidak berhenti. Dan terlihat sangat menyedihkan ketika Rina melihat orang tua tunggal dari bocah itu.

'Ternyata banyak yang lebih tragis kehidupannya ketimbang aku. Seharusnya aku benar-benar harus bersyukur. Ya Allah ... ya Allah ....'

"Tolong jangan menganggap ini semua remeh!" ujar Eza lalu membayar taksi itu dan memberikan kartu namanya. "Kami turun di sini, dan mohon segera datang ke rumah sakit karena temanku sudah menunggu. Abdi Famili ya," jelas Eza yang segera turun dari taksi itu. Rina mengikuti.

Keduanya sama-sama menurunkan koper. Rina tidak berkata apapun, Eza juga sedang sibuk menelpon seseorang.

'Jakarta.' Rina sangat takjub dengan pemandangan kota yang baru saja didatanginya.

Taksi sudah berhenti di depan kedua pasangan ini. Eza segera masuk ke kursi depan dan Rina kursi belakang. Mobil melaju dengan kecepatan sedang.

Eza terlihat mencari sesuatu. Supir bertanya alamat. "Kemana Pak?"

"Hah ...." Eza mengeluh sambil menjambak rambutnya. Rina memperhatikan sambil bertanya-tanya. "Hotel saja."

Mendengar itu Rina sangat terkejut.

Bersambung.