Mentari bersinar terang di pagi hari. Setelah hujan semalaman, akhirnya pagi itu terasa sejuk.
Keadaan Rina sudah membaik. Dia segera ke dapur. Dia lupa, jika ada tamu.
Air di dalam kamar mandi terus mengalir. "Siapa orang di dalam situ?" tanya Rina bergumam.
Dia segera mengambil spatula, memegang dengan erat-erat dan sudah siap untuk memukul. Dia sudah berdiri di depan pintu kamar mandi.
"Rina kamu sudah bangun?" Suara itu tidak asing bagi Rina barulah terbelalak dan mengingat sesuatu.
'Ha? Aku lupa. Berarti yang ada di dalam sini adalah ... tetot ... He, Kak Eza?' tanyanya dalam hati.
Ceklek.
Suara gagang pintu yang turun. Rina meneguk ludah kasarnya ketika pintu itu akan terbuka.
Rina segera berbalik badan menatap lurus kedepan, dia melangkah namun tidak sadar jika ada seekor kucing memutari kakinya.
Tangan itu menarik pundaknya. Reflek dia mundur, memutar dan terjatuh di atas lengan Eza. Rina reflek berpegangan pada pundak Eza.
Tersadar dengan cepat Rina menutupi matanya ketika melihat Eza tanpa baju. Jelas saja tubuh basah yang bau harum serta bentuk kotak-kotak perut idaman kaum hawa itu membuat Rina semakin gugup setelah melihatnya.
Eza mendirikan Rina. "Kamu mengintipku mandi? Ternyata kamu lebih mesum dari Dirga," ujar Eza lalu melepas tangannya dari pundak Rina.
"Aku tidak mesum, aku juga tidak mengintip kamu mandi. Aku hanya lupa jika ada seseorang di dalam rumahku," kata Rina lalu fokus memasak.
"Dasar konyol, alasan macam apa itu?" ujar Eza lalu memakai kaos dengan langkah cepat meninggalkan Rina.
"Wanginya masakannya," puji Bu Susi yang menghampiri Rina. Rina hanya tersenyum.
"Wangi apanya dia itu belum mandi. Bau koyok, dan lain-lain. Saran aku kamu harus wangi, agar Dirga betah di rumah, ketika kamu jadi istrinya. Mana ada suami yang betah, jika istrinya tidak cantik."
Rina sangat kesal mendengar perkataan Eza. Dia melampiaskan kekesalannya dengan membuat suara berisik dari wajan dan spatulanya.
"Heh, Eza. Dimana-mana istri yang baik itu saat pagi hari masak untuk suaminya keluarganya. Setelah selesai Masak dia baru akan membersihkan diri dan berpenampilan cantik di depan suaminya. Memiliki istri itu bukan sekadar cantiknya dan merias diri. Istri juga harus bisa masak, agar suaminya sering meluangkan waktu di rumah. Rugi lho kalau hanya memiliki istri yang handal dalam berpakaian dan merias diri tapi tidak bisa masak."
"Belain terus Bu dia. Terus sanjung-sanjung sampai dia terbang ke awang-awang," timpal Eza terlihat sangat muak karena Ibunya tidak henti memuji Rina.
"Eza! Apa menurutmu semua kata-kata ibu ini salah?! Ibu hanya mengatakan yang sejujurnya dan sewajarnya. Kamu boleh mencintai Intan sesuka hatimu. Tapi jangan dibutakan cinta itu dan diperbudak olehnya. Bahkan kamu selalu menentang Ibu."
Rina menyaksikan pertikaian itu. Bu Susi berjalan mengejar Eza.
"Sebisa mungkin aku akan membuat Intan menjadi sesuatu yang baik di mata ibu. Tapi juga harapanku Ibu bisa menerimanya terlebih dahulu. Belum apa-apa ibu selalu menjelek-jelekkannya. Selalu seperti itu! Rina juga mempunyai kekurangan sangat banyak! Saking cintanya Ibu tidak melihat kekurangan gadis ceroboh itu!"
Sangat menusuk jantung dan hati. Ucapan itu membuat karena tidak sanggup lagi menahan air matanya. Memang seharusnya dia tidak mendengarkan pertikaian itu.
"Aku tahu aku memang ceroboh. Dan aku selalu ceroboh depanmu," sahut Rina yang keluar dari persembunyian.
Eza sangat marah dengan menarik rambutnya dari depan ke belakang dengan tangan kanan dan tangan kiri di pinggang.
Eza terlihat muak dan marah kemudian dia pergi dari rumah Rina dengan melajukan mobil sangat cepat meninggalkan Ibunya yang duduk lemas.
Rina memeluk wanita paruh baya itu. "Hik hik hiks, est ... selalu seperti itu. Apa aku ini Ibu yang egois Nak?" tanya Bu Susi itu heran dengan sikap Eza.
"Hik hik hiks, est ... Ibu ini harus bagaimana lagi coba ... heh ...."
Tangisan wanita paruh baya itu membuat Rina sangat sedih.
'Macam apa ini! Seharusnya aku tidak menyaksikan ini semua. Menyesal. Sangat disesalkan aku bisa mencintai seseorang seperti itu. Dia sama sekali tidak pernah memperdulikan perasaanku, jangankan perasaanku, perasaan ibunya pun dia tidak mempedulikan. Dan, aku masih tetap saja buta oleh cintanya. Apa memang seperti itu cinta buta? Apa memang juga seperti ini cinta gila? Heh ...'
Rina bangun dan kemudian mengambilkan air putih untuk calon mertuanya. Dia menghapus air matanya dan segera kembali ke ruang tamu.
"Terima kasih," ujar Bu Susi setelah meminum air. Wanita paruh baya itu masih memegang erat gelasnya tatapan kosong. Rina hanya terdiam dan duduk di samping Ibunya.
"Niat seorang ibu adalah melihat putranya bahagia. Tapi bagaimana Ibu bisa melihat putranya bahagia jika wanita pilihanya bukanlah wanita baik. Mungkin juga aku egois memaksakan perasaan putraku," ungkap Bu Susi memandang wajah cantik Rina. Bu Susi membelai wajah mulus itu.
Rina menggenggam erat tangan yang mulai kendur itu.
"Ibu harus percaya kalau Kak Eza bisa merubah Intan menjadi wanita baik. Mendukung penuh dan terus mendoakan, agar pilihan itu bisa tepat. Agar ibu juga bisa bahagia dan Kak Eza juga bisa bahagia. Ibu harus yakin, sebuah cinta akan membawa kebaikan. Kak Eza adalah pria baik, jadi jodohnya juga akan baik," ujar Rina dengan suara pecah, setelah meyakinkan Bu Susi.
'Lalu bagaimana nasibku. Yang akan menikah dengan orang ahli zina. Ya Allah ...'
Rina menangis tertegun, Bu Susi terlihat bingung ketika melihat calon menantunya.
"Sayang ...." Ibu Susi memeluknya. "Ibu sangat tahu kalau kamu belum bisa menerima perjodohanmu dengan Dirga. Tapi yakin Nak, Dirga juga baik ...." tutur Bu Susi.
'Aku harus bagaimana menghadapi semuanya? Apa aku harus berpura-pura mengembangkan senyumku walaupun hatiku menangis? Hik hik hiks, est ....' Rina tidak sanggup berkata-kata, dia segera menghadirkan kekuatan dan mencoba tersenyum.
"Maafkan aku. Maafkan aku Ibu," kata Eza yang ternyata sedari tadi berdiri di balik pintu luar. Eza mendekat ke Bu Susi duduk bersimpuh dan menangis di atas punggung tangan ibunya.
"Sekarang ibu, akan mendoakanmu saja. Mendoakanmu agar kamu bahagia dunia akhirat." Bu Susi membelai rambut Eza.
"Maafkan aku karena sudah berburuk sangka kepadamu. Mungkin terkadang aku hanya melihat kecerobohan mu. Tapi kamu gadis yang cerdas selama ini. Kamu juga gadis baik." Eza menatap Rina dari bawah, Rina membuang wajahnya.
"Sudah biasa kamu melakukan ini. Dari dulu," kata Rina ketus. Lalu berdiri dan pergi ke dapur.
'Mengatakan maaf memang mudah. Dan, aku juga mudah memaafkanmu. Aku juga sadar diri aku selalu bertingkah ceroboh ketika ada di depanmu. Aku selalu ingin kelihatan perfect namun malah salah tingkah. Sesakit apapun, bagaimana caranya aku menglebur perasaanku kepadamu. Aku selalu bermimpi untuk bersamamu. Dan, aku sadar jalan kita akan berpisah. He, tetapi aku tetap mencintaimu. Gila,' kata Rina dalam hati.
Bersambung.
IngsyaAllah nanti habis magrib up lagi. Terima kasih jika masih setia menunggu cerita saya.