Hafiz dan Runia memasang kemesraan di depan keluarga, namun itu hanya sebatas kepura-puraan belaka. Mereka juga berada di dalam satu kamar.
Dua malam bersama di dalam satu atap, namun saling diam tanpa kata. Runia juga memilih tidur di sofa. Hafiz tidak memaksanya dan tidur di ranjang dengan nyaman.
Mereka tidak saling berbicara sama sekali. Hafiz memperhatikan Runia.
'Betah sekali dia membisu, apa yang sebenarnya terjadi. Aku merasa tidak melakukan kesalahan. Dia tidak mengatakan apa pun mana aku tau? Letak kesalahanku. Padahal aku sudah sangat sweet lo ini. Aku juga baik kepada keluarganya. Entahlah,' umpat Hafiz dalam hati lalu memejamkan mata.
Tok!
Tok!
Hafiz membuka mata setelah mendengar suara pintu diketuk, Runia dan Hafiz saling menatap kemudian bangun. Runia melangkah cepat ke pintu sambil menyampingkan rambutnya.
"Runia mau pinjam."
Ceklek.
"Maaf ya. Mau pinjam changer," ujar budenya. Runia segera mengambilkan dengan tersenyum.
"Lho, kenapa kok ada bantal dan selimut di sofa? Apa kalian tidak seranjang? Kalian tidak tidur bersama?" tanya bude.
Hafiz segera bangun, berjalan menghampiri lalu merangkulkan tangan di atas pundak istrinya. "Seranjang Bude, tapi beberapa sudah empat puluh delapan jam. Dia marah tanpa alasan, diam membisu," kata Hafiz jujur. Runia pun tidak berkata apapun dia hanya memberikan changer itu kepada budenya.
"Marahnya jangan lama-lama Runia. Kalau ada masalah segera di tuntaskan. Kalau diam malah memperpanjang masalah itu sendiri," jelas budenya.
"Tuh dengerin! Kamu dengarkan ...?" Hafiz merasa diatas awan ketika bude itu memberi nasihat kepada Runia.
"Kamu juga harus mendengarkan, apapun keluhanya Fiz. Pasangan itu harus intropeksi diri, jangan membesarkan egois masing-masing. Karena dua pasangan itu jelas banyak perbedaan. Ya sudah bude lelah karena besok kan akan pulang, kalian selesaikan masalah kalian. Karena sejak bude datang kemari kalian itu kelihatannya hanya pura-pura mesra di hadapan kami. Jangan seperti itu ya," jelas Budenya. Runia dan Hafiz hanya mengangguk pasrah.
Hafiz menutup pintu, Runia menurunkan tangan Hafiz dari pundaknya secara kasar, Hafiz mengepalkan karena geregetan. Runia kembali ke sofa memakai selimut lalu berbaring.
"Kamu masih ingin tetap diam seperti itu?! Oke, siapa takut. Siapa yang nantinya akan mengajak bicara lebih dulu. Dia harus kasih hadiah. Kalau diam berarti setuju," kata Hafiz lalu berbaring menutup badan dengan selimut.
Sesekali Hafiz mengintip istrinya dari lubang dalam selimut. Melihat Runia yang masih terus menggerakkan jari telunjuknya ke punggung sofa. Jelas saja jika istrinya tidak bisa tidur.
Runia bangun, dia meraih kotak obat. Hafiz turun dari ranjang dengan cepat.
"Sudah kubilang jangan minum obat tidur!" kata Hafiz mencegah lalu merebut botol itu dari Runia. Runia hanya menatapnya tajam, kemudian dia kembali tidur di sofa.
"Terus saja diam! Kalau perlu tidak usah melihatku!" seru Hafiz kesal lalu berbaring di ranjang. Dia terus mengamati gerak-gerik istrinya.
Dia melihat Runia bangun dan mengambil buku. Dia memperhatikan istrinya dari dalam selimut. Saat sadar istrinya akan menoleh ke arahnya dia segera menutup mata.
****
Embun pagi sudah menguap, para tamu pun pamit. Runia dan Hafiz menyertai kepergian keluarga dengan tersenyum.
Untuk sejenak Hafiz memandang istrinya. Wajah tetap kusut, Hafiz mengurungkan niatnya untuk mengajak Runia berbicara. Hafiz segera pergi ke tempat kontruksi setelah itu.
*****
Waktu berlalu sangat cepat. Hafiz tidak pulang. Dia juga tidak mengabari istrinya. Runia berusaha bersikap biasa saja walaupun hatinya sangat perih.
Perasaan masih marah tapi dia tetap saja menanti suaminya pulang. Dia menunggu di ruang makan. Lalu berjalan ke ruangan TV. Suaminya tetap tidak kunjung datang.
****
Sudah dua hari Hafiz tidak pulang. Entah dia bersembunyi di mana. Hafiz pulang ke rumah dengan keadaan bersih. Pakaian baru serta potongan rambut yang lebih keren.
Dia berjalan ke dapur dia tidak melihat istrinya. Hafiz memanggilnya sambil berjalan ke kamar Runia.
"Runia ...." Hafiz membuka pintu kamar. Kamar itu sangat bersih. Dia melangkah cepat kemarnya sendiri tetap tidak melihat Runia.
Hafiz mengelilingi setiap sudut rumahnya. Dia berhenti ketika melihat Runia berbaring di tempat salat dan masih menggunakan mukena.
Dia merasa terluka di dalam hati ketika melihat Runia. "Runia ... Runia ...." panggil Hafiz sambil mengangkat bahu istrinya.
"Kamu pulang Mas," jawab Runia dengan suara lemas dengan wajah yang pucat.
Hafiz segera membopong istrinya. Pria ini membawa Runia ke kamar. Hafiz segera melepaskan mukena istrinya. Dengan panik dan bingung ia segera mengambil air hangat untuk mengompres kening istrinya.
"Aku tidak tahu alasan mu marah kepadaku karena apa. Karena kamu tidak berbicara sama sekali. Jangan seperti ini Runia. Soal aku tidak pulang, itu karena aku sengaja lembur. Aku sudah menghubungimu, di ponsel yang aku berikan. Aku kira kamu sudah membacanya. Karena saat lembur aku sama sekali tidak melihat ponsel. Aku sengaja kerja dan tidak pulsng, agar aku bisa mengajakmu berbulan madu di Makassar, menghadiri pernikahan Rina yang kurang dua hari lagi. Runia ...."
Hafiz terlihat sangat menyesal dengan tindakannya. Dia menangis di atas punggung tangan istrinya yang lemah tidak berdaya. Hafiz segera bangun, mengatakan tangan Runia pelan kemudian dia ke dapur.
Dia sama sekali tidak lelah dan letih. Dia membuatkan makanan untuk istrinya. Setelah setengah jam, Hafiz kembali ke kamar Runia.
Runia sudah membuka matanya, Hafiz tersenyum lega. "Jangan marah dulu. Sekarang yang penting kesehatanmu," kata Hafiz kemudian menegakkan sandaran istrinya lalu menyuapi.
Runia tetap terdiam dia sama sekali belum membuka mulutnya. "Tolong jangan membuat aku bingung. Makanlah, ibadah seperti apapun jika tidak menta'ati suaminya, tidak ada gunanya ibadah itu. Apalagi yang diminta suaminya bukanlah sesuatu yang dilarang Allah. Aku memintamu makan untuk tidak menyiksa diri. Jadi makan," kata Hafiz lalu menyuapi istrinya.
"Jika kamu tetap ingin diam. Diam saja terus. Tapi aku sudah menyiapkan tiket pesawat untuk pergi ke Makassar. Apa kamu mau pergi denganku? Rina pasti merasa senang jika kamu mau ikut," kata Hafiz. Runia menitihkan air mata.
"Jangan menangis! Aku bingung. Kalau tidak mau pergi ya tidak papa. Kamu sudah mendiamkan aku hampir empat hari. Sudah jangan menangis, aku minta maaf," ujar Hafiz mengalah. "Dari pada aku membuatmu tidak nyaman mending aku, pergi."
Runia menarik tangan Hafiz yang akan beranjak. "Aku akan ikut ke Makassar," kata Runia pelan. Hafiz memandang Runia dengan penuh tanda tanya.
"Tapi kamu sakit," ujar Hafiz sambil memastikan dengan menyentuh kening Runia dengan punggung tangannya.
"Berikan vitamin C, nanti juga enakan," ujar Runia. Dengan cepat tanpa permisi Hafiz.
Muach.
Mencium singkat bibir istrinya. "Itu bukan vitamin melainkan ciuman." Hafiz melarikan diri setelah melakukan tindakan tidak terduga.
Bersambung.