Hafiz berhasil memberikan kejutan tidak terduga kepada Runia. Runia masih menikmati sentuhan secepat kilat di bibirnya, pipi itu serasa memanas. Hingga jelas merona ketika dia mendapatkan ciuman satu detik itu dari sang suami. Senyum bahagia mengembang di pipi Runia.
"Sangat magic. Dia ... memang sweet, masakannya juga enak," puji Runia menikmati makanan yang tadi disuapkan suaminya kepadanya.
Namun, tiba-tiba raut wajahnya berubah drastis. Senyum yang tadi terus mengembang kini hilang seketika.
"Apa itu kepura-puraannya juga? Atau dia melakukan semua hanya karena kasihan kepadaku? Karena aku sangat tahu bahwa itu suaranya. Kak Elsa mendengarkan kepadaku tentang suara itu. Yang merendahkanku, apa aku juga harus berpura-pura tidak terjadi apa-apa? Mana bisa, hatiku masih sakit. Rasanya tercabik-cabik," gumam Runia.
Tidak lama Hafiz datang, dengan koper yang lumayan besar.
"Baju mana saja yang nanti akan kamu pakai, di pernikahan Rina. Sini aku kemaskan," ujar Hafiz sambil membuka resleting koper.
Tiba-tiba Runia terdiam ketika Hafiz menanyakan tentang baju. Seakan dia mengingat sesuatu yang pernah dia dengar.
"Aku tidak tahu. Mas aja yang memilihkan untukku. Aku takut salah mengambil. Bukankah penampilanku kampungan?"
Mendengar itu Hafiz merasa heran, dia menatap penuh tanda tanya dengan mengerutkan kening.
"Aku sama sekali tidak melihatmu kampungan. Aku merasa setiap Penampilanmu pasti elegan dan mempesona, aku suka," tegas Hafiz kemudian mengambil lalu melipat kemejanya.
"Kamu bohong lagi. Tolong jangan pura-pura."
"Siapa yang pura-pura aku tidak pura-pura. Aku mengatakan sesungguhnya," sahut Hafiz penuh tanda tanya ke Runia. "Tolong jangan diam lagi. Bicaralah apa yang sesungguhnya terjadi. Aku tidak pernah pura-pura dalam hubungan kita," jelas Hafiz namun Runia malah tersenyum remeh Hafiz semakin bingung.
"Aku ingin memperbaiki diri agar kamu suka kepadaku dan tidak berpura-pura," ujar Runia pelan sambil terus memandang suaminya. Suaranya pun mulai terpecah dan matanya sudah berkaca-kaca.
"Sudah kubilang aku tidak pura-pura. Kamu maksud kepura-puraan itu yang bagaimana lagi?! Kalau kamu tidak menjelaskan. Mana aku tahu letak kesalahanku. Please, jangan membuat teka-teki. Aku bukan dukun yang bisa meramal isi hatimu. Katakan saja apa letak kesalahanku dan kekuranganku," pinta Hafiz lalu duduk disamping Runia dan menggenggam erat tangan Runia.
Runia tidak berani menatap Hafiz yang sedang memandanginya.
"Malah menangis lagi." Hafiz kembali terlihat sangat emosi. Kemudian dia meredam diri dengan beristighfar di dalam hati.
Runia masih tertegun dalam air mata bercucuran. Hafiz melihat jam di pergelangan tangannya. "Ini sudah waktunya kita pergi ke bandara. Kamu mau tetap di sini menangis seperti itu atau mengemas barang?!" tanya Hafiz yang segera bangun dan mengemas barang nya sendiri.
'Kurang bagaimana lagi coba aku. Memang wanita itu diamnya sangat menyiksa. Dia tidak mengatakan apapun malah sepertinya menuduhku,' umpat Hafiz dalam hati.
Runia segera bangun dan mengemas barangnya. Keduanya tidak saling berbicara ketika mengemas barang.
'Walaupun dengan marah dia tetap mau ikut denganku. Alhamdulillah sih, takutnya pikiran bibit macam-macam kepadaku,' bicaranya dalam hati bersyukur. Habis duduk di pinggir ranjang sambil mengecek ponselnya.
[Aku akan terbang satu jam lagi. Paman sudah pulang dari rumah sakit kan? Kamu juga harus menyiapkan mentalmu. Aku sebagai Kakak hanya bisa mendoakanmu agar kamu merubah Dirga menjadi sosok pria yang setia kepada satu wanita. Jangan menangis, aku tahu kamu menangis saat ini.]
Hafiz mengirimkan pesan lewat whatsapp. Runia melihat kesedihan dari wajah Hafiz, dengan alis Hafiz yang menurun serta napas berat yang baru saja dihembuskan.
"Sudah siap? Kalau sudah ayo pergi. Oh ya, tadi sudah minum vitamin atau obat belum?" tanya Hafiz sedikit cemas.
"Kamu takut aku menyusahkanmu?" Pertanyaan Runia itu membuat Hafiz berdiri dan sangat kesal.
"Apa kamu tidak bisa tidak berburuk sangka kepadaku. Aku tanya baik-baik loh, kamu malah jawabnya seperti itu. Apa kamu tidak melihat jika aku peduli kepadamu. Apa kamu tidak melihat kalau aku bersungguh-sungguh bukannya aku berpura-pura. Setelah aku mengucapkan ikrar suci aku berniat, bahkan aku berjanji, untuk belajar menerimamu apa adanya. Ingin aku mencintaimu. Est ... sudahlah. Percuma berbicara denganmu, kalau sudah siap ayo pergi. Aku tunggu di mobil."
Setelah mengatakan itu Hafiz segera membawa kopernya dan keluar dari kamar. Dengan wajah memerah karena marah Runia harus mengendalikan dirinya.
Runia pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri lama dia keluar. Dia mengenakan dress panjang di bawah sedengkul, lalu legging panjang warna hitam. Hijab pasmina warna abu-abu.
Olesan bedak tipis dan lipstik merah muda semakin mempercantik dirinya.
"Apa aku terlalu kejam kepadanya? Apa seharusnya aku jujur. Seharusnya dia sendiri sadar karena dia yang mengatakan. Masa seseorang melupakan apa yang pernah dikatakannya. Dia sama sekali tidak merasa bersalah," gumam Runia segera memakai sepatu.
Dia melihat kotak kado di pojokan. Runia segera mengambil kotak itu dan membukanya.
"Ponsel? Kenapa aku tidak tahu ada ponsel di sini? Bodohnya aku ... apa ini yang dimaksud dia tadi. Dia sudah mengabariku tapi aku tidak membuka? Apa mungkin ... pada saat reuni dia terlambat pulang karena membelikan aku ponsel? Apa Elsa sengaja memperkeruh suasana. Bodohnya aku ... aku sudah lama mengenal Elsa dengan segala perbuatannya, dan sekarang aku masih mempercayainya." Runia merasa sangat bersalah.
Dia segera berlari lalu menutup pintu. Runia berbalik badan dengan tidak sabar ingin meminta maaf. Namun, dia terbelalak dan menggentikan langkah kakinya.
Dia melihat Elsa sedang membisiki Hafiz. Runia melangkah cepat.
"Aku sudah siap ayo berangkat," kata Runia sambil membuka pintu mobil, Hafiz menoleh dia tersenyum lalu membuka pintu mobilnya.
"Kak Elsa, aku mau bulan madu. Semoga Kakak cepat nikah. Agar tidak menjadi ulat dalam rumah tangga orang," kata Runia sangat mengejutkan. Elsa tercengang, Runia puas dan segera masuk ke dalam mobil.
"Kamu terlalu kasar," kata Hafiz sambil menyalakan mesin mobil, Runia senyum singkat.
"Maafkan aku ya Kak Elsa," kata Runia dengan santainya. Hafiz memandanginya dengan aneh. "Aku sudah minta maaf, jadi ayo," ujar Runia lalu memakaikan sabuk pengaman milik Hafiz.
Hafiz semakin bingung dengan tingkah sang istri. "Aku minta maaf. Nanti aku akan jelaskan, kenapa aku marah dan mendiamkanmu," ucap Runia mendekatkan wajahnya ke Hafiz.
Hafiz merasa gugup karena berhadapan dengan istrinya yang memandanginya penuh makna. Dia menelan ludah kasar lalu melajukan mobil.
Runia menumpangkan tangan kanannya di atas bahu Hafiz lalu meletakkan dagu di atas punggung tangannya. Dia terus memandangi suaminya hingga membuat Hafiz salah tingkah.
Runia tersenyum kecil dan lalu menjauhkan wajah. "Terima kasih sudah pengertian. Terima kasih sudah sabar, terima kasih untuk semuanya. Dan, maafkan aku," ujar Runia. Hafiz hanya melirik singkat lalu tersenyum.
Bersambung.