Menangis di atas bahu orang terkasih adalah sesuatu yang sangat menyenangkan. Belaian lembut seorang ayah yang terus berusaha menenangkan putrinya.
"Aku tidak ingin menangis seperti ini Ayah, hik hik hiks, est hiks ... tapi mata ini sudah tidak tertahan lagi dan terus mengeluarkan airnya. Hatiku sangat pedih dan terluka. Est ... aku tidak ingin menangis. Sudah lelah menangis, ets ... hiks, mataku sampai perih Ayah ...."
"Maafkan ayah yang tidak bisa berbuat apa-apa. Maaf Nak ...." kata sang ayah yang ikut menangis.
"Tuh kan ... jadi menangis semua. Hik hik hiks, est ... gara-gara aku," kata Rina berusaha tenang tapi tetap tidak bisa.
Wanita paruh baya yang menyaksikan itu tidak sanggup menahan air matanya. Dia merasa menjebak putrinya kedalam lubang yang tidak akan membuat putrinya bahagia.
Tangis haru penuh sesal, membuat dia bersimpuh di kaki sang putri. Rina segera mengangkat bahu bundanya tapi tidak sanggup Rina pun akhirnya duduk di lantai.
Saling memeluk dengan penuh isak menangis.
"Hik hiks est, maaf sayang ... Bunda menyusahkan putrinya, mana ada bunda di dunia ini yang seperti aku," ujar bundanya. Menangis lalu berlari, firasat Rina sangat tidak enak. Dia segera mengejar bundanya. "Bunda ...."
Para sanak saudara yang berada di rumah Rina menyaksikan tangis penuh haru. Mereka pun saling bertanya. Kenapa? Kenapa? Ada apa?
Rina terus berlari mengejar bundanya. Terlihat wanita paruh baya itu sangat menyesali tindakannya dan permintaannya. Merasa marah dengan diri sendiri dan tidak bisa menjadi sosok wanita yang baik untuk putrinya wanita itu mengambil belati.
Rina sangat terkejut ketika bundanya nekat, dengan pelan-pelan Rina menghampiri bundanya. "Bunda. Jangan seperti itu ... Bunda kumohon ... aku mohon Bunda. Bunda tidak bisa menyalahkan diri Bunda. Menyelesaikan masalah bukan dengan seperti ini Bunda. Aku mohon, aku mohon Bunda ... ets ... letakkan belati itu. Allah akan marah Bunda. Yakinlah ... nanti Allah akan membantu. Bunda ... aku akan semakin marah jika Bunda melakukan ini."
Dengan isak tangis Rina berusaha membujuk bundanya agar tidak menyakiti diri sendiri.
Wanita paruh baya itu terduduk lemas sambil menangis penuh haru. Terlihat ketidakberdayaannya. Rina segera mendekati dan membuang jauh belati itu. Memeluk sang bunda.
"Jangan lakukan itu lagi. Hik hik his est ... aku mohon. Dengan melakukan kebodohan kita akan menyesal seumur hidup. Mengakhiri hidup sendiri tidak akan tuntas di dunia ini. Masalahnya akan semakin bertambah dan berat kelak di akhirat." Rina mengatakan itu sambil mengangkat wajah bundanya menatap penuh kasih sayang.
"Bunda ... Allah itu Maha Adil." Suara Rina menjadi berat. Wanita paruh baya itu tidak berani menatap mata putrinya. Dia memeluk sang putri.
"Maafkan Bunda. Maafkan Bunda Nak ... Maafkan Bunda." Suara pecah dari wanita yang melahirkannya. Rina menghapus air mata bundanya.
"Kita punya Allah Bunda. Yang merencanakan semuanya Allah. Aku yakin ... walaupun saat ini aku merasakan berat hati untuk menerima kenyataan. Namun, aku percaya Rahasia Ilahi itu pasti ada. Bunda ... doa Bunda sangat ampuh untukku. Lebih baik berdoa saja. Jangan melakukan sesuatu yang dilarang oleh Allah. Orang yang melakukan bunuh diri tidak akan pernah mendapatkan kebahagiaan surga. Apa Bunda mau? Di dunia sudah sengsara di akhirat juga sengsara? Jika tidak bahagia di dunia, lalu kita bersabar kita tabah dan tawakal, aku yakin Insya Allah di akhirat kita akan bahagia. Aku berjanji aku tidak akan menangis lagi. Aku janji aku akan tersenyum. Aku akan menerima Dirga dengan Bismillah. Bunda doakan saja agar hatinya dibuka oleh Allah subhanahu wa ta'ala.'
Rina menatap bundanya, berusaha menguatkan dan terus memberi pengetian. Wanita itu jelas merasa malu karena dia sudah memiliki Putri yang sempurna namun dia menyia-nyiakan putrinya. Dia tidak henti menciumi wajah Rina dengan isak tangis.
Rina menggenggam tangan sang Bunda. Meyakinkan bundanya bahwa dia bisa menerima kenyataan dan takdirnya.
"Hik hik hiks. Ets ... selama ini Bunda tidak pernah mengerti akan perasaanmu. Tidak menyadari jika Bunda punya sosok putri yang sangat spesial. Bunda tidak pernah tahu jika putri bunda berakhlak sangat mulia. Bunda malu sayang ...." tangis wanita itu sambil menamparkan tangan Rina di wajahnya.
Rina mengepalkan tangannya agar dia tidak menyakiti sang Bunda. Rina terus memeluknya. "Bunda aku menyayangi Bunda. Aku mencintai Bunda. Selama ini aku tidak pernah berbakti. Hek hek ets ... aku selalu meminta uang. Selalu mengeluh dan marah jika melihat meja makan kosong, ketika aku lapar. Aku selalu mengeluh ketika seragamku lusuh. Aku sama sekali tidak mengerti kesibukan Bunda. Aku sama sekali tidak memahami Bunda. Aku juga minta maaf Bunda ...." jelas Rina yang kemudian mengecup pipi bundanya. Lalu membersihkan air mata bundanya. Menatap penuh kasih sayang dengan jalinan yang terikat.
"Sekarang jangan menangis lagi Bunda. Dulu, saat aku kecil. Aku menangis Bunda selalu menguatkan aku. Bunda selalu menghiburku, selalu menenangkanku. Dan ketika aku terluka Bunda juga menolongku lalu mengobatiku. Bunda, sudah menjadi Bunda yang terbaik. Bunda juga menanamkan kepribadian baik kepadaku. Aku seperti ini karena Bunda yang mendidikku."
Tangisnya menjadi lagi di pelukan sang putri.
"Bunda menyakitimu. Dan Dirga bukan," sahut bundanya.
"Syuttt. Bunda doakan saja, nanti setelah menikah semoga dia menjadi sosok pria yang lebih baik. Semoga dia bisa setia seumur hidup. Semuanya mungkin saja jika Allah yang menghendaki. Walaupun Kelihatannya tidak mungkin dengan kelakuannya. Tapi apa yang tidak mungkin. Allah bisa segalanya. Bunda ...." Pekataan Rina lebih tabah karena dia tidak ingin bundanya kambuh.
Rina segera mengajak Bundanya untuk berdiri. Rina tersenyum.
'Yakin akan Kuasa Allah. Itu saja sekarang. Jangan menangis lagi Rina. Jika kamu terus menangis Bunda akan sedih dan merasa bersalah karena menerima perjodohan ini. Jadi tersenyum Rina pasti bisa,' katanya dalam hati.
Rina dan bundanya berjalan ke teras. Rina masuk ke dalam rumah untuk mengambil air minum, sementara Bundanya duduk di teras. Sanak keluarga mulai bergosip di belakang Rina. Ayah Rina segera menegur saudara-saudaranya. Mereka pun terbungkam.
Dari arah depannya Rina terkejut dengan gadis berpakaian SMA berlari mendatanginya.
"Huft ... Kak Rina ... huft ... ada air?" tanya Gadis itu. Rina memberikan air yang harusnya untuk bunda. Gadis itu meneguk air tanpa tersisa.
"Dasar kamu!" Rina tertawa lepas. Bunda merasa bahagia.
"Huh ... segar ... ada kabar baru!" ujar seorang gadis yang berdiri di depan Rina.
"Apa Zahra?" tanya Rina, memgambil gelas dari Zahra. Zahra terlihat sedang mengatur napas.
"Ibunya dokter Eza masuk ke rumah sakit. Kena serangan jantung," jelas Zahra dengan napas tersengal-sengal. Semua mata tertuju pada Zahra karena terkejut. Bahkan saudara yang di dalam ikut keluar.
"Astagfirullah ... kamu tidak bohongkan?" tanya Rina terlihat ragu.
"Demi Allah." Zahra meyakinkan Rina. "Kenapa semua pada muncul dari dalam. Memang aku tersangka?" tanya Zahra setelah melihat orang-orang keluar dari dalam rumah.
Bersambung.