"Rina aku bicara denganmu, kita harus menikah. Aku akan menikahimu." mendengar pengakuan dari Eza membuat Rina menoleh tapi dengan wajah penuh keraguan.
'Dari mana munculnya dia? Ini ke haluanku? Pasti ini hanya Imajinasiku. Ih kok horor sih,' gumam Rina dari dalam hati sambil menepuk pipi. Sambil terus menatap Eza wajah dengan wajah datar.
"Aku akan menikahimu Rina. Kamu tadi sudah berjanji kepadaku, akan mengabulkan permintaan ibuku. Sekarang ibu memanggilmu." Reza kembali masuk ke ruangan Bu Susi dan Rina masih terdiam dalam kebingungan.
"Rina kok malah melamun, Bu Susi memanggilmu. Cepat masuk Nak," ujar sang ayah.
"Ayah. Apa tadi yang dikatakan oleh Kak Eza?"
"Yang penting sekarang kamu masuk dulu ke ruangan Bu Susi," titah ayahnya sambil mendirikan Rina. Dengan wajah polos Rina pun akhirnya melangkah ke keruangan.
Dia terlihat gugup dan berkeringat dingin. Mencoba tersenyum namun sulit kemudian gadis itu menutup pintu secara perlahan.
Langkah pelan mendekati wanita paruh baya itu. Rina sama sekali tidak berani mengangkat wajah. Dia masih mengatur nafas yang terasa berat.
"Nak ...." panggil Bu Susi sangat pelan, sambil menggerakkan tangannya. Rina mendekat dan meraih telapak tangan mantan calon mertuanya.
"Iya Bu ... Rina di sini," jawab Rina sambil menurunkan badan mendekat ke Bu Susi. Wanita paruh baya itu meminta Rina lebih mendekat kepadanya.
"Ibu minta maaf. Tapi ... apakah kamu mau ... melakukan wasiat dari almarhum kakek-kakek. Apakah kamu mau menikah dengan Eza?"
Setelah mendengar bisikan itu mata Rina membulat. Seketika dia refleks menetap Eza. Rina masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Dia merasa tidak terima. Bu Susi kembali meraih tangannya.
"Ibu meminta, dengan penuh harap sayang ....' Suara pecah menyentuh hati itu membuat Rina sangat bingung. Eza menatapnya dengan mata berkaca-kaca pula.
'Mana bisa seperti ini? Kenapa rasanya aku dipermainkan. Aku memang sangat mencintai Kak Eza. Tapi ...?' batin Rina yang tidak terima dalam keadaan rumit. Rina seperti terdesak dengan kondisi Bu Susi yang masih lemah.
"Ibu memohon kepadamu sayang ... Eza sudah setuju akan menikahimu," tutur Bu Susi membuyarkan pikiran beku Rina. Rina tidak bisa berkata apapun mulutnya terasa bergetar dan terbungkam.
'Jika aku menolak bagaimana dengan keadaan Bu Susi? Jika aku menolak apa yang akan terjadi? Apa keadaan beliau akan semakin memburuk? Aku benar-benar ingin menolaknya. Sudah sekeras mungkin aku berusaha membenci Kak Eza. Dan aku pun ikhlas tidak memilikinya. Tapi kenapa menjadi seperti ini,' batin Rina sangat tersiksa.
"Ibu ...." panggil Eza segera mengecek tekanan jantung. Rina semakin bingung dan cemas, ketika Bu Susi wajahnya semakin memucat dan sulit untuk membuka mata.
Rina mundur dua langkah dengan wajah yang lemas. Dia masih mengatur napasnya sendiri. Semua terjadi dengan sangat cepat dan tiba-tiba.
'Bismillahirohmanirohim.' Rina mendekat ke Bu Susi. Dia kembali menggenggam erat tangan yang mulai keriput. "Ibu harus sehat, aku bersedia menikah dengan Kak Eza. Ibu harus sehat kembali jika menginginkan pernikahan antara aku dan Kak Eza. Hik hik hiks ets ... aku bersedia menikah. Tapi keadaan Ibu harus membaik lebih dulu," tutur Rina pelan berbisik kepada Bu Susi meyakinkan bahwa dia sudah bersedia, Eza memandang Rina.
"Terima kasih," ucap Eza singkat itu membuat Rina sangat terkejut.
"Bagaimana dokter Eza?" tanya salah satu dokter yang masuk ke ruangan Bu Susi. Dokter itu segera mendekat ke Bu Susi dan memeriksa. Rina dan Eza keluar karena datang dokter.
Merasa lemas dan tidak berdaya akan keadaan Rina merasa letih. Sementara Eza masih mondar-mandir dengan kecemasannya.
"Bagaimana bisa kamu menerima pernikahan ini?" tanya Rina kemudian menatap Eza. Setelah mendengar itu langkah Eza terhenti. Dia menghadap Rina, segera menghampiri Rina.
"Ibuku sangat menyayangimu. Apa kamu tidak menyayanginya? Aku memang terpaksa menerima yang diinginkan Ibuku untuk menikahimu. Dan aku sangat berterima kasih karena kamu tidak menolak kemauan ibuku. Semuanya sulit bagimu, aku tahu. Aku tahu aku sangat naif, bodoh, ceroboh, gila, buta dan yang lain. Tapi aku bisa dan aku sadar siapa orang yang aku pegang disaat aku terluka." Eza menatap mata Rina.
Rina juga menatapnya penuh dengan tanda tanya. "Tapi bagaimana dengan perasaan kita. Aku benar-benar tidak bisa berpikir saat ini. Terlebih kamu, aku tidak bisa hidup bersamamu. Bagaimana caramu meyakinkan ku. Katakan padaku bagaimana bisa kamu menjalaninya semua bersamaku?" Rina tidak sanggup lagi menahan air matanya. Napasnya berderu cepat seimbang dengan kebingungannya.
"Aku paham kamu tidak terima. Selama ini aku memang sudah menyakitimu. Tapi tidak bisakah kita mencoba. Aku mohon Rina. Mungkin rasa cintamu kepadaku sudah mati, tapi apa tidak bisakah menghidupkan kembali?" Eza balik bertanya kepada Rina, sambil menekan kedua bahu Rina dengan kedua tangannya.
"Aku tidak percaya kepadamu."
"Aku paham dan aku mengerti. Setidaknya balaslah rasa sayang ibuku. Ibuku sudah menganggapmu sebagai anaknya sebagai putrinya. Tolong bantu aku Rina ... tolong ...." Eza berusaha meyakinkan Rina.
"Masalahnya semua ada di kamu. Aku mohon kamu mengerti juga. Jika kita menikah dan kamu masih terbelenggu oleh cintamu. Kita akan sama-sama tersiksa, kamu mengertikan maksudku! Heh ... bagaimana lagi. Aku sudah mengiyakan," jelas Rina sambil menurunkan kedua tangan Eza.
Eza terdiam setelah mendengar perkataan Rina. Dia berdiri memaku dengan kegelisahan. Sementara Rina melangkah cepat dia menangis dengan menutup kedua wajahnya.
'Hik hik hiks. Est ... hiks est ... mana bisa seperti ini? Est ... heh ... aku tidak pernah mengubur cintaku. Est ... walaupun begitu. Sangat sulit menerima kenyataan ini. Tapi juga Aku tidak bisa berbuat apapun. Aku sudah menerima permintaan Bu Susi. Heh ... dan aku harus menghadapi kenyataan. Bagaimana aku bisa hidup bersama seseorang yang napasnya selalu di penuhi dengan masa lalunya?'
Rina bersandar lemas dan tidak berdaya pikirannya kacau dan kalut.
'Mencintai itu sangat indah jika sama-sama memiliki perasaan. Kalau cuma sepihak rasanya sangat menyakitkan. Lebih baik tidak ada ikatan ataupun hubungan. Lah, kalau ada pernikahan? Memang pernikahan mainan. Kenapa dulu kakek memberi wasiat. Kan jadi tekanan batin seperti ini. Hik hiks ets heh ... aku sekarang juga serba salah. Aku bersyukur bisa lepas dari Dirga. Heh ... sebelum menjawab tadi aku membaca Bismillah. Jadi sekarang memang aku harus memasrahkan semuanya kepada Allah. Akhirnya, ketika aku bisa menggapai bintang yang aku inginkan, aku malah ingin melepasnya,' keluhnya dalam hati sambil mengusap wajah berkali-kali.
"Rina ... kamu kenapa di sini? Keadaan Bu Susi bagaimana?" tanya Bundanya yang baru saja tiba. Rina tidak membuang waktu, dia segera memeluk wanita yang melahirkannya.
"Apa keadaan Bu Susi parah? Sampai kamu menangis seperti ini?" tanya sang bunda. Rina masih terisak dan belum bisa menjawab.
Bersambung.