Suatu pekerjaan yang disukai akan membuat seseorang merasa nyaman dan senang dengan apa yang dilakukannya walaupun hal sederhana.
Pagi sampai siang, Rina masih sibuk di halaman rumahnya. Berbeda dengan kakak iparnya yang harap-harap cemas.
"Kemana sih Mas Hafiz? Ini sudah terlambat."
Runia sudah berpakaian rapi, dia menunggu suaminya. Penampilannya sangat elegant. Gamis biru langit dan warna hijab senada membuat dia terlihat sangat cantik.
Runia duduk sejenak kemudian berdiri. Tidak ada ponsel untuk menghubungi suaminya. Dia terlihat sangat cemas. Seringkali dia melihat kearah pintu, kemudian melihat jam di dinding.
"Kok, lama banget ya? Katanya sebentar," gumamnya. "Huft ... ngantuk pula. Jika aku tidak datang, apa pikiran mereka."
Tok!
Tok!
"Runia ... Runia ...." Setelah mendengar suara itu dari luar, Runia terbungkam.
'Itu suara Kak Elsa,' ujarnya dalam hati.
"Aku tahu ya, kamu masih di dalam. Ayo pergi sama aku saja. Suamimu tidak akan datang karena dia sibuk main game bersama teman-temannya. Kalau tidak percaya aku punya vidionya."
Runia berusaha tidak percaya dengan apa yang diomongan Elsa.
"Ya jelaskan aku males pergi. Yang pasti aku bosen banget. Daripada aku pergi dengan dia mending aku menghabiskan waktu bersama kalian. Ah ... kamu. Apalagi penampilannya, nggak banget."
Suara itu memang suara dari Hafiz. Runia tertunduk dan tetap diam.
"Runia kamu sudah dengar kan, jadi sekarang ayo pergi. Aku tidak ingin keluarga salah paham. Runia ... Runia." Elsa tetap saja memanggil Runia. Setelah beberapa saat merasa tidak ada jawaban Elsa pergi dari rumah Runia.
Runia bersembunyi di belakang sofa. Dia tidak sanggup lagi menahan air matanya. Dia berbaring di lantai sambil menangis.
"Est ... hik hiks est .... hiks. Aku sangat kecewa dan aku tidak menduga jika suamiku mengatakan hal seperti itu kepada teman-temannya. Aku kira tadi malam tindakan yang tulus. Namun, ternyata semua hanya pura-pura."
Runia memejamkan mata saat air matanya terus membasahi pipinya.
*****
Detik berputar menit berganti. Hafiz membuka pintu. "Runia. Aku pulang, kita jadi pergi tidak?" tanya Hafiz berjalan. Hafiz sama sekali tidak menjadi jawaban.
Dan dia pun berjalan cepat ke kamar, dapur, kamar mandi untuk mencari istrinya. Matanya memandang siap ruangan. Namun dia tidak melihat istrinya.
"Apa dia pergi? Apa dia pergi sendiri? Aku tidak bisa menghubunginya karena ponselnya rusak. Runia kamu di mana?" tanya Hafiz.
Pria itu terlihat sangat dilema dan ingin menghubungi keluarga dari
Runia. Setelah dipikir-pikir di merasa tidak enak jika menghubungi keluarga istrinya.
Drettt!
Drettt!
"Ayah mertua?" Hafiz menerima panggilan itu.
"Halo Ayah, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Sudah sampai mana Fiz? Kamu berangkat kan? Tidak enak masa pengantin baru sama keluarganya tidak menyapa. Ini banyak saudara dari Makassar dan Bandung. Mereka juga lama tidak melihat Runia."
Mendengar itu Hafiz sangat terkejut. "Cepat ya. Ayah tunggu." Panggilan telepon ditutup.
"Jika Runia tidak ke sana dia ke mana?" gumam Hafiz. Terlihat wajah bingung dan cemas dari wajah pria itu. Hafiz kembali mencari istrinya, dia mengelilingi rumah dan berjalan ke taman belakang.
Semuanya sia-sia dia sama sekali tidak melihat istrinya. "Kamu di mana Runia. Runia ...!" teriaknya terus memanggil. "Apa ... Tristan? Huh!"
Hafiz kembali masuk ke dalam rumah. Dia terkejut ketika melihat wanita sedang makan dengan lahab dan duduk nyaman menghadap televisi.
Hafiz berjalan cepat dan sangat marah. Dia menarik pundak Runia.
"Kenapa saat aku panggil kamu tidak menjawab?! Dan kenapa pakaianmu seperti ini?! Keluarga sudah menunggu mari pergi. Cepat bersiap!" Nada bicara Hafiz sangat tinggi dengan tatapan penuh kemarahan.
Apalagi ketika istrinya sama sekali tidak meresponnya. Runia hanya fokus ke depan layar televisi.
"Heh ...! Aku bicara sama kamu, apa kamu tidak mendengarkan?!" tanya Hafiz sangat kesal. "Jangan diam saja! Ayo pergi keluarga sudah menunggu!"
Hafiz meluapkan rasa emosinya dengan suara meninggi. Runia diam dan hanya menangis sambil terus makan. Hafiz merebut wadah cemilan itu lalu melemparnya.
Tarrr!
Pecah berserakan Runia berdiri kemudian menatap suaminya. Hafiz bernapas cepat. Runia berjalan cepat ke kamarnya tanpa sepatah katapun, kemudian.
Bruakkk!
Dia membanting pintu. Hafiz berjalan cepat ke kamarnya. "Baiklah terserah kamu kalau kamu tidak mau berangkat menemui keluargamu. Aku malah senang. Oh ... kamu pasti akan membuat aku malu di hadapan keluargamu, iya kan? Kamu akan mengatakan ke mereka semua jika yang tidak mau pergi adalah aku. Oke ... baik!" Hafiz berdiri di depan pintu kamar Runia.
Dia meletakkan kado di depan pintu, kemudian pergi dari depan kamar Runia.
"Belum apa-apa saja sudah seperti ini. Marah tanpa alasan yang jelas. Bagaimana aku bisa jatuh cinta jika dalam sehari saja dia sudah membuat aku mendidih."
Hafiz membersihkan pecahan beling yang tadi dibanting olehnya. Setelah membersihkan dia tetap tidak melihat Runia dari keluar dari kamar. Kemudian dia mengambil ponselnya dan mengetik.
[Maaf ayah sepertinya aku tidak bisa datang, Runia sedang sakit. Ayah. Aku juga merasa tidak enak jika tidak bertemu keluarga. Apalagi mereka dari jauh. Apa kira-kira mereka bisa datang ke rumah. Aku akan menyiapkannya.]
Chat itu di kirim ke mertuanya.
[Baik. Siapkan ya.]
Balasan dari mertuanya. Hafiz tersenyum, dia mulai sibuk memasak membersihkan rumah. Memesan beberapa cemilan. Dan, akhirnya selesai ketika azan maghrib.
Setelah salat dia pergi ke kamar Runia. "Aku mengundang keluarga untuk datang ke rumah. Aku tidak ingin mereka berburuk sangka kepadaku. Aku bilang kamu sakit. Aku juga sudah menyiapkan segalanya. Jadi kamu sudah tidak akan melakukan apapun kecuali bertemu dengan mereka. Marah saja denganku terus. Tapi jangan marah kepada mereka."
Hafiz duduk di ruangan tamu sambil mainan ponsel. Tidak lama keluarganya datang. Keluarga itu menggoda Hafiz tidak henti.
"Bagaimana tadi malam? Apa berhasil memasukkan?"
Pertanyaan aneh seperti itu tidak dijawab. Hafiz hanya tersenyum. Dia masih berharap jika istrinya akan keluar menemui keluarganya. Hafiz menunduk.
"Bude, lihat Kak Runia," ujar gadis yang menuntun Runia.
"Aduh sayang seharusnya kamu istirahat saja. Malah rame seperti ini," kata wanita paruh baya segera menggandeng Runia. Hafiz melirik ke istrinya yang berusaha tersenyum.
Wajah Runia memang pucat, pandangannya juga layu. "Sudah istirahat saja sayang ... paling tadi malam terlalu tajam sampai kelelahan," ledek salah satu keluarganya. Runia tersenyum singkat.
Mereka duduk bersama Hafiz pamit ke belakang. Dia merenung sejenak di bawah langit gelap.
'Dia sama sekali tidak mengatakan apapun. Apa pernikahan ini akan berlanjut? Heh ... sebentar lagi pernikahan Rina. Jika aku tidak membawa dia ke Makassar, bibi semakin membenciku. Hah ...!' Hafiz mengendalikan diri dan masuk ke dalam rumahnya.
Dia menutupi perasaannya dengan senyuman.
Bersambung.