"Wah, jalan-jalan dengan calon adik ipar, Mel?"
Suara itu...
Kenapa setiap kali mendengar suara itu, jantung Melati masih berdebar? Jeri, si brengsek itu, apa yang dia lakukan di sini?
Jeri yang baru saja keluar dari dapur, langsung duduk dengan santainya di ruang tengah, ia menyalakan televisi, meski tatapan tajamnya masih mengarah ke arah Melati dan Elang yang baru saja kembali ke kediaman Bagaskara.
"Wait, calon adik ipar?" celetuk Elang bingung.
"Jeri pikir, aku pacar Sam." bisik Melati di telinga Elang.
Elang langsung cemberut dan menatap Melati nanar. Jelas itu bukan hal yang baik.
"Dasar playgirl!" cibir Elang.
Dia merasa kesal karena baru-baru ini ia menyadari sesuatu, tentang bagaimana kedua abangnya menaruh minat pada Melati.
Melati menoleh kesal ke arah Elang.
'Demi Tuhan, pria ini menyebalkan.' batin gadis itu.
"Melihat kamu terlihat akrab dengan adik-adiknya, apa hubungan kamu dan Samudera seserius itu? Sudah mengenal keluarga satu sama lain hum?" Jeri menatap Melati dengan tatapan penuh tanya.
'Si brengsek itu, nada bicaranya terdengar sangat menyebalkan. Kemana perginya Jeri yang dulu kupuja?'
"Kamu sendiri? Bagaimana hubungan kamu dengan gadis manis itu?" Melati membalas pertanyaan Jeri dengan ketus. Jelas ia tengah menyindir pria itu yang meninggalkan dirinya begitu saja dan malah bersama perempuan lain.
Jeri hanya tersenyum tipis dan mengalihkan pandangannya ke arah televisi.
"Kami akan segera menikah." sahutnya pelan
Oh!
"Waaah, berita bagus. Selamat!" Melati sungguh-sungguh mengatakannya.
Toh mereka sudah berakhir, benar-benar berakhir, jadi bagus juga kalau pria itu mendapat kebahagiaannya sendiri. Sebagai mantan yang baik, Melati harus ikut berbahagia bukan?
"Ah, sial. Padahal aku mengharapkan respon yang berbeda dari kamu!" Jeri tersenyum getir, di helanya napas panjang dan berat.
"Seperti apa? Apa yang kamu harapkan? Kamu ingin aku menangis, mengemis agar kamu membatalkannya dan kembali padaku? Jangan bercanda!" ketus Melati.
"Lucunya memang iya. Aku berharap kamu menahanku!"
Dasar tidak tahu malu.
Dulu, Melati memang sangat mencintai Jeri. Bahkan saat pria itu jelas-jelas meninggalkannya. Tapi perasaan itu sudah lama menghilang.
"Woi, permisi, gue masih di sini!" Ketus Elang kesal. Serius, dia merasa seperti orang bodoh yang tidak tahu apa pun tentang masalah ini.
"Gue gak mau ikut terjebak dengan kisah cinta kalian atau apa pun itu. Jadi, bisa kalian lakukan itu lain kali saja?" Elang menatap Jeri nanar.
Elang menarik Melati dan setengah menyeret gadis itu masuk ke kamar Bara.
"Kenapa kita ke kamar Bara?"
"Untuk mencari harta karun!"
Hum? Melati mengerutkan keningnya. Ia sungguh tidak mengerti apa yang Elang maksut.
Harta karun? Emas? Uang? Atau apa?
Elang tidak bercanda, segera setelah dia mengunci pintu, pria itu langsung sibuk mengacak-acak isi kamar Bara.
"Ketemu!" pekik Elang.
Dengan mata berbinar, Elang menghampiri Melati dengan memegang sebuah kotak.
"Harta karunnya itu?" tanya Melati dengan heran.
Elang mengangguk pelan, lalu kembali menarik tangan Melati keluar dari kamar Bara, mereka pun menuju kamar Elang dan duduk di balkon kamar.
"TADAAA!" teriak Elang saat membuka kotak tersebut.
Coklat?
"Sekedar info, ini bukan coklat biasa!" kata Elang yang seolah bisa membaca pikiran Melati.
"Jadi, itu coklat yang luar biasa?"
"Lo tahu berapa harganya?"
"Apa itu mahal?"
"Satu kotak coklat ini, setara dengan harga jam tangan mewah milik Bang Sam!"
GILA.
Melati pernah melihat kotak-kotak jam tangan milik Sam, dan harganya jauh lebih mahal dari harga rumahnya di kampung sana.
"Minta satu!" desak Melati.
Kapan lagi bisa memakan coklat super mahal seperti ini?
Elang menyeringai dan memberikan satu pada Melati. Satu? Tidak, pada akhirnya mereka berdua menghabiskan semua coklat itu. Satu kotak penuh.
Sejujurnya, coklat itu tidak lebih nikmat dari coklat lokal yang di jual di sana, ada rasa sedikit pahit di gigitan pertama, tapi begitu dimakan, coklat itu berangsur manis dan langsung meleleh di mulut, ada sensasi hangat yang menenangkan, coklat yang membuatmu semakin menginginkannya saat kamu menggigitnya. Tidak heran jika harganya sangat mahal.
"Apa gak masalah kalau kita memakannya seperti ini?"
"Masalah? Bang Bara akan membunuh kita berdua kalau tahu kita yang makan semua coklatnya!"
'TERKUTUKLAH KAMU ELANG BAGASKARA!!!'
Melati langsung menelan bulat-bulat sumpah serapah yang ingin ia lontarkan pada si bungsu. Tapi tentu saja mengingat siapa dirinya, ia langsung menahannya, ia simpan sumpah serapah itu untuknya sendiri.
"Aku hanya harus bilang kalau kamu yang ambil, Bara gak akan marah sama aku."
Elang tertawa, tawa yang sangat keras dan tanpa beban.
"Lo pikir Bang Bara bakal peduli? Faktanya, kita berdua yang udah makan habis coklatnya! Jadi, dia gak akan berpikir dua kali untuk menghabisi kita!"
"Elang, kamu itu kan kaya, uang kamu banyak. Belikan saja yang baru!"
"Sayangnya, gue baru aja beli mobil baru. Gue kehabisan duit. Dan asal lo tahu, coklat itu gak di produksi setiap hari. Itu spesial, sangat susah di dapat!"
Melati langsung lemas seketika, sementara Elang begitu santai.
Jadi... mereka benar-benar memakan harta karun.
***
Ini satu satunya jalan. Huft!
"Kamu ingin aku melakukan apa?" tanya Sam sekali lagi. Ia duduk bersandar pada sofa setelah menutup laptopnya.
Melati menggigit bibir bawahnya dan menatap Sam dengan tatapan horor. Kenapa Sam mengulangi pertanyaan itu lagi?
"Elang bisa berlindung di belakang Pak Bagaskara. Tapi aku enggak, kamu satu-satunya harapanku, Sam!" lirih Melati.
Samudera tertawa renyah, seolah dia baru saja mendengar Melati melucu.
Dan...
Itu menyebalkan.
"Kalau tahu itu punya Bara, kenapa juga kamu ikutan makan?"
Dia sedang bertanya atau meledek? Ada apa dengan nada bicaranya itu?
"Elang bilang kalau coklat itu seharga jam tangan mewahmu. Jadi aku tergoda!"
Lagi-lagi Sam tertawa, tawa yang bahkan lebih keras dari tawa sebelumnya.
Melati takut Bara akan benar-benar marah dan menghabisinya.
"Terus, kamu pikir, Bara mau dengerin aku? Tamatlah riwayat kamu, Melati! Aku gak bisa bantu. Aku gak cukup mampu menenangkan Bara waktu dia lagi marah!"
"Jadi kamu akan biarin aku mati?"
"Hum... iya ya, haruskah aku biarkan kamu mati di tangan Bara?"
Melati tahu, Sam tidak serius dengan ucapannya. Hanya saja, bercanda disaat seperti ini benar-benar tidak bisa di terima.
Melati tidak tahu mengapa coklat itu begitu berharga bagi Bara. Ini semua salah Elang.
"Sam, ayolah, aku serius!"
"Oke, oke, maaf. Kalau kamu ingin selamat, tentu kamu harus menggantinya!"
"Aku enggak punya uang dan Elang bilang, coklat itu susah di dapat!"
"Memang. Soal uang, kamu gak perlu khawatir, hanya saja, aku gak yakin dia mau membuat coklat itu lagi." gumam Samudera.
"Dia?"
Samudera mengangguk, lalu ia menatap Melati dengan tatapan sayu.
"Aisyah hanya membuat coklat itu dan menjualnya pada kami saat dia benar-benar butuh uang. Tapi, sepertinya sekarang kehidupannya membaik, dia gak lagi membutuhkan uang kami, jadi aku gak yakin dia mau membuatkan kita coklatnya!"
Melati sungguh tidak mengerti. Apa yang sebenarnya Samudera maksut? Tapi yang ia tahu sekarang, adalah, coklat itu sepertinya memang sangat berarti untuk Bara. Dan sialnya, semuanya sudah leleh ke perutnya dan Elang. Demi Tuhan, ia ingin menangis sekarang.
"Tetap saja, kita harus berusaha. Ayo, kita minta dia membuatkanya untuk kita. Aku takut Bara marah, Sam."
"Hum, yaudah. Aku juga gak mau kamu mati di tangan Bara, jadi kita coba saja." Sam mengusap lembut puncak kepala Melati.