Nenek Melati masih memeluk cucunya erat sambil menangis haru. Susah payah Melati menenangkan wanita tua itu, seperti orang tua pada umumnya, Neneknya langsung menodong dirinya dengan begitu banyak pertanyaan.
Di mana saja Melati selama ini? Apa yang ia makan? Tidur di mana? Dari mana mendapatkan uang sebanyak itu? Dan, masih banyak lagi.
Melati berbohong kepada neneknya.
Ia mengarang sebuah cerita, ia adalah pegawai di salah satu perusahaan besar di Jakarta, karena bosnya sangat baik, ia diperbolehkan meminjam uang sebanyak itu, dengan syarat ia harus lembur setiap akhir pekan. Malangnya, kakek dan neneknya percaya begitu saja.
Ini pertama kalinya ia berbohong kepada mereka.
Saat mereka menanyakan siapa itu Bara, Melati mengatakan bahwa Bara adalah teman kerjanya. Dan, lagi-lagi mereka percaya.
"Sudahlah, Nek. Jangan menangis terus, buatkan sesuatu untuk tamu kita," Kakek menarik Nenek dari pelukan Melati.
"I-iya. Nak Bara, mau minum apa?"
"Tidak perlu repot-repot, Nek. Air putih saja sudah cukup," jawab Bara sopan.
Nenek tersenyum ramah pada Bara, ia lalu menggandeng Melati masuk ke dalam dapur.
"Dia kekasihmu?" tanya Nenek saat mereka sedang memasak.
"Bukan, dia teman, Nek."
"Sayang sekali, Nak Bara kelihatannya sangat baik, Nenek akan sangat lega jika kalian berkencan. Setidaknya, ada yang akan menjagamu di sana."
Melati tersenyum mendengar ucapan neneknya.
'Harusnya nenek takut jika aku dekat dengan Bara. Dia pria mesum, juga kasar.' batin Melati.
"Nenek jangan khawatir, aku punya banyak teman di sana. Saat aku mengalami kesulitan, aku bisa meminta bantuan kepada mereka,"
Nenek mengangguk lemah dan tersenyum ke arah Melati, setetes air matanya jatuh meninggalkan mata sayunya.
"Terimakasih," lirihnya.
"Ada apa, Nek? Kenapa berterimakasih?"
"Nenek bersyukur mempunyai Melati sebagai cucu nenek. Terimakasih sudah tumbuh dengan baik. Terimakasih sudah menjadi gadis yang baik. Terimakasih."
Melati meletakkan sayur dan pisau yang ia pegang di meja dan langsung berhambur memeluk neneknya.
Ia terluka melihat Neneknya menangis haru seperti itu, mengingat ia bukanlah gadis baik seperti yang neneknya harapkan. Ia bukan gadis baik.
Melati memejamkan rapat-rapat matanya, mencoba sebisa mungkin untuk menahan agar air matanya tidak turun. Namun ia gagal.
"Kenapa menangis? Sudah nak..."
"Nenek,"
"Iya sayang?"
"Aku mungkin akan membuat sebuah kesalahan yang besar, aku mungkin akan membuat kalian kecewa nanti. Apakah Nenek akan tetap menyayangiku?"
"Tentu saja. Nenek akan selalu menyayangimu. Apapun yang tejadi!"
***
Di sisi lain rumah itu, Bara hanya bisa terdiam membisu di hadapan Kakek Melati. Ia tidak tahu harus mengatakan apa, ia kembali teringat ucapan Sam tempo hari, abangnya itu benar, Melati adalah gadis baik. Kakek Melati baru saja menceritakan tentang keadaan mereka, dan juga alasan kenapa Melati harus pergi ke Jakarta.
Melati melakukan itu untuk melindungi keluarganya, untuk menyelamatkan kakeknya. Dia rela mengambil pekerjaan seperti itu untuk keluarganya. Seharusnya dirinya tidak memandang Melati sehina itu. Bara menyesal pernah berpikir seperti itu tentang Melati.
"Nak Bara, bolehkah Kakek meminta sesuatu pada Nak Bara?"
Bara mengangguk pelan, ia lalu memperhatikan Kakek Melati dalam diam.
"Tolong jaga Melati baik baik."
Untuk kesekian kalinya dalam hari ini, Bara merasa seperti ditampar. Bagaimana bisa pria tua itu memintanya menjaga Melati?
Bara, juga keluarganya adalah pria brengsek yang menyeret cucu Kakek ke dalam masalah. Mereka memperbudak Melati. Harusnya Kakek membenci Bara, bukannya memasrahkan cucunya pada pria itu.
"Aku akan berusaha semampuku untuk menjaganya, Kek!" Bara berbohong. Ia menyadari sepenuhnya bahwa ia tidak mungkin menjaga Melati seperti apa yang ia janjikan.
"Terimakasih, Nak. Kakek sangat bahagia, Kakek lega jika ada seseorang di sisinya. Kami sudah sangat tua, kami tidak akan bisa menjaganya, kami tidak bisa selalu di sisinya. Kakek akan mempercayakan Melati kami pada Nak Bara."
***
Bara terheran-heran mendapati dirinya tengah tersenyum. Kenapa ia tersenyum? Mungkinkah karena pemandangan di hadapannya itu? Bisa saja, karena Melati memang sangat menggemaskan. Ia sedang bermanja-manja dengan neneknya. Gadis itu merengek minta ini it,dia sangat manis.
"Kamu ini! Apa kamu tidak malu pada Nak Bara? Berapa usiamu anak nakal? Makan sendiri!" Nenek Melati menggeleng pelan sambil menyendokkan nasi ke piring Bara. Beliau lalu mengambilkan beberapa lauk untuk pria itu.
Memang makan malam di sini sangat sederhana, tapi entah mengapa Bara merasa makanannya terasa sangat lezat. Mungkin karena ia terlalu bosan dengan masakan koki di rumahnya, atau makanan desa memang lebih enak? Atau, tangan Nenek sangat ajaib hingga bisa menyulap bahan makanan sederhana menjadi sebuah makanan yang sangat luar biasa?
Terserahlah.
"Ayolaaah, Nek suapi aku! Nenek tidak tau betapa makanan di sana membuat lidahku mati rasa? Aku merindukan masakan Nenek. Apalagi kalau Nenek yang menyuapiku." Rengeknya manja.
Nenek mengalah, beliau menyuapkan sesendok sup ke mulut cucunya itu.
Dan begitulah seterusnya. Nenek terus menjejalkan setiap jenis makanan ke mulut Melati. Jika di rumah, tentu Bara akan langsung mengamuk, karena ia tidak ingin Melati jadi gendut dan berlemak karena terlalu banyak makan. Melati harus menjaga tubuhnya, karena itulah yang mereka butuhkan. Tapi, karena mereka di sini, ia membiarkannya saja. Melati terlihat begitu menikmati makanannya. Dia terlihat sangat bahagia.
Setelah mereka selesai makan malam yang terasa begitu hangat itu, Melati mengantar Bara ke kamarnya.
"Maaf, Ra. Di sini sangat sempit dan,"
"Gak masalah. Gue bukan pria manja. Gue bisa tidur di mana aja!"
Melati tersenyum lalu mengangguk pelan.
Bara mengerjapkan matanya beberapa kali,
Melati tersenyum, itu langka. Bahkan mungkin ini kali pertama dirinya melihat Melati tersenyum seperti itu.
"Oh iya, tunggu dulu. Ra, kenapa kamu memanggilku dengan nama? Kamu harus memanggilku Kakak! Aku lebih tua darimu,"
Ah, itu.
Sesungguhnya, Bara saja masih ragu tentang umur Melati. Apa benar dia seumuran dengan Samudera? Sulit di percaya.
"Jangan harap gue mau manggil lo dengan sebutan Kakak!"
"Tapi, Ra,"
"Tidur sana! Udah malem, atau mau tidur bareng gue aja hum?" Bara tersenyum genit ke arah Melati. Ia hanya ingin menggoda gadis itu.
Melati langsung menggelengkan kepalanya dengan cepat.
"Aku akan tidur dengan Nenek. Selamat malam, Ra!" seru Melati cepat lalu bergegas pergi meninggalkan Bara.
Namun, tiba-tiba Melati kembali masuk ke kamar itu.
Cup.
Melati mengecup sekilas pipi Bara. Bukan karena paksaan ataupun sedang melakukan tugasnya, dia mencium pipi Bara atas kemauannya sendiri.
"Makasih!" kata Melati lalu tersenyum.
Belum sempat Bara mengatakan apapun, gadis itu langsung nyelonong pergi meninggalkannya.
Baiklah, bisa Bara akui, kalau hatinya menghangat, ia sedikit goyah, akan tetapi, ini tidak akan mempengaruhi apapun. Melati adalah pelayan. Hanya pelayan.