Elang menghentikan langkahnya, diendusnya lagi bau asing yang menyeruak menggoda penciumannya itu. Aroma yang sangat menggiurkan, memanjakan, dan sangat mengundang.
Sambil terus mengendus, pria itu melangkah mengikuti aroma memabukkan itu.
'Dapur?'
"Apa yang Bibi masak?" Seru Elang setengah berteriak.
"Melati?" Pekiknya lagi begitu ia memasuki dapur.
Reflek Melati yang tengah berdiri di depan kompor, langsung mematikan kompornya, ia langsung berbalik menghadap Elang dengan takut.
"Lo ngapain?" Tanya Elang dengan raut wajah datar.
Melati menggeleng cepat dan bergeser memunggungi masakannya agar Elang tidak melihatnya. Tapi sayang, pria dengan mata elang itu sudah melihatnya.
"Minggir!" Elang menarik lengan Melati dan berdiri di depan manci kecil berisi rawon yang baru saja Melati masak.
"Lo masak?"
"Maaf, aku sangat ingin makan itu sekarang. Tetapi bibi tidak memasaknya, jadi aku masak sendiri."
Ketakutan Melati bukannya tanpa alasan, tiga bersaudara itu memang melarang Melati memasak, mencuci, maupun bersih-bersih. Apapun alasabnya, mereka tidak ingin tangan Melati jadi kasar dan kotor.
Elang menghela napas pendek dan berbalik menatap gadis itu.
"Siniin tangan lo!"
"Ya?"
"Tangan lo, sini!"
Meski bingung, Melati menurut saja apa yang diperintahkan Elang. Diulurkannya kedua tangannya ke arah Elang. Pria itu pun menyambut tangan Melati, membalik tangannya dan mengusapnya pelan telapak tangan gadis itu.
"Gausah masuk dapur! Lo kalo pengen sesuatu, ngomong aja, ntar kita cariin. Kita ga mau tangan lo jadi kasar, lagian tugas lo di sini cuma buat ngelayani kami. Jadi jangan lakukan apapun diluar itu! Di sini ada banyak pelayan, lo kalo butuh apa-apa tinggal bilang.
"Maaf, aku gak akan lakuin ini lagi."
"Bagus kalo lo paham, sekarang ayo kita makan. Toh udah terlanjur di masak."
***
Melati berdiri di ambang pintu, menimbang apakah sebaiknya dia mengurungkan niatnya untuk meminta ijin pada Samudera. Meskipun Samudera akan pergi, Melati tetap harus ijin padanya jika ingin keluar dari rumah, karna ini masih jadwal Samudera.
"Sam?" Melati mendekat ke arah Samudera yang sedang memasukan beberapa bajunya ke dalam koper.
"Apa?"
"Kamu pergi berapa lama?"
"Tiga hari."
"Emm, itu... selama kamu pergi, boleh aku pulang ke desa jengukin nenekku? Beliau kurang sehat, aku khawatir, jadi... boleh gak? Aku janji, aku sudah berada di sini saat kamu pulang nanti."
"Gak boleh."
"Please, cuma sebentar. Aku gak akan kabur atau apa, aku cuma mau lihat keadaan mereka."
Samudera menghempaskan kopernya di kasur lalu menatap Melati lekat-lekat.
"Video call aja bisa kan?"
Secepat kilat, Melati merogoh sakunya, ia mengambil handhpone lipat usang di dalam sana dan menunjukannya pada Samudera.
"Benda ini gak bisa dipakai video call!"
"Demi Tuhan Mel! Kamu hidup di jaman apa? Kenapa masih pakai handphone jadul begitu? Beli yang baru!"
"Tetap saja, bahkan kalau aku punya yang baru, kami tetap gak bisa video call karena kakek dan nenekku gak punya."
Iba? Tentu saja tidak. Justru Samudera malah merasa kesal.
"Yaudah. Minta yang lain buat nganterin kamu pergi. Jangan pergi sendirian. Dan ini! Beliin nenek kamu handphone yang baru!" Samudera menyodorkan sebuah black card pada Melati.
"Enggak usah, jangan. Aku bisa beli sendiri. Aku masih punya uang!"
"Simpan aja uang kamu, ambil ini! Beli juga beberapa baju! Aku lihat kamu kemari cuma bawa beberapa potong baju, dan udah usang. Kamu kelihatan jelek!"
Melati merengut, dan dengan terpaksa dia menerima kartu itu. Dalam hidupnya, ini pertama kalinya seseorang mengatainya jelek. Bukannya sok cantik atau apa, tapi memang semua orang memuji kecantikannya selama ini.
"Sini!"
Satu tangan Samudera terulur merengkuh pinggang Melati.
"Beli juga beberapa lingerie!" Bisik Samudera lalu mengecup leher Melati mesra. Sebelah tangannya, ia gunakan untuk meremas pinggang ramping gadis itu.
"Astaga Bang! Tutup pintu! Kalian menodai mata gue, sialan!"
Kedua insan itu melepaskan diri mereka, menjauh dan menoleh ke arah pintu. Di sana, berdirilah seonggok manusia dengan muka memerah dan tangan yang dilipat kaku di dadanya.
"Mata gue, astaga!" Dengus Bara kesal.
"Siapa yang nyuruh lo berdiri di situ? Sana pergi!"
"Iya gue pergi, tapi, ada sesuatu yang mau gue omongin bentar!"
"Yaudah ngomong!"
Bara berjalan enggan mendekat ke arah mereka berdua. Sambil berkacak pinggang, pria itu menatap Melati dan Samudera bergantian dengan kesal.
'Bisa-bisanya mereka mesra-mesraan disaat seperti ini.'
"Ayah nelepon tadi, dia nyuruh lo buat nyusul dia ke Jepang setelah urusan lo di Hongkong kelar!"
"Sial. Kenapa gue sih? Kan ada Bang Arta si tangan kanannya itu!"
"Mana gue tahu! Tanya sendiri sana!"
"Haish." Samudera menarik kopernya kasar dari atas kasur.
"Oh iya, Bang."
"Apalagi?"
"Jadwal lo sama Melati masih sisa empat hari lagi kan? Buat gue aja ya!"
Bukan hanya Samudera, tapi Melati juga terkejut mendengar permintaan Bara barusan.
Samudera tahu betul Bara itu seperti apa, dia tidak akan memperlakukan Melati dengan lembut nantinya. Dia hanya akan melakukan apapun yang dia inginkan. Dan tentu saja itu membuatnya takut, karena Melati masih sangat lugu. Samudera takut, Melati akan terluka nantinya. Entah dengan permainan, perlakuan, ataupun ucapan Bara.
Dan Melatu? Dia hanya terdiam karena terkejut sekaligus takut. Bara terlihat sangat berbeda dari Samudera. Sam memperlakukannya dengan baik, dia takut Bara akan memperlakukannya berbanding terbalik dari Sam.
"Perjanjian tetap perjanjian! Walau gue gak sama Melati, tetap saja ini masih jadwal gue, jadi gausah aneh-aneh lo!"
"Halah Bang, ayo dong, gue butuh Melati saat ini!"
"Sewa aja jalang di club, seperti biasa!"
Bara menggeleng pelan, bukan itu yang dia inginkan.
"Jalang? Brengsek. Ini gak seperti yang lo pikirin Bang! Gue beneran butuh Melati!"
Bara bukannya membutuhkan Melati untuk memuaskannya. Dia ingin meminta bantuan gadis itu untuk sesuatu yang tidak bisa ia ceritakan kepada saudara-saudaranya. Ini masalah hati dan harga diri. Catat! HARGA DIRI.
"Gini aja deh, gue izinin tapi ada syaratnya!" Kata Samudera setelah berpikir sejenak.
"Apa?"
"Pergi temenin dia belanja, trus anter dia pulang ke desanya. Setelah itu terserah kalian aja mau ngapain!"
Bara melirik ke arah Melati.
"Lo kangen ortu lo?" Tanya Bara secara spontan pada Melati.
Karena malas menjelaskan, Melati hanya mengangguk pelan mengiyakan ucapan Bara.
"Yaudah, gue anter! Emang mana sih rumah lo?"
"Blora!"
"Buset, jauh amat! Bisa seharian kalo naik mobil!" Sahut Bara.
"Yaudah sih temenin aja! Daripada dia balik sendirian, kalo ada apa-apa gimana?" Samudera melewati Bara dengan santainya.
Bara menghela napas berat, yah, mau bagaimana lagi, toh dirinya juga butuh, jadi mau tidak mau ya harus mau.
"Yaudah, siap-siap gih!" Bara beranjak pergi setelah mengucapkan itu pada Melati.