Chereads / ASKARA: Rise of the Dead / Chapter 7 - A S K A R A - 7.

Chapter 7 - A S K A R A - 7.

Lyra memaksa matanya terbuka saat seseorang mengguncangkan tubuhnya dengan intensitas kuat, ia merutuki siapa pun yang menggagu tidurnya dan berharap agar orang itu pergi selama-lamanya. Lyra duduk di tepian tempat tidur dengan perasaan kesal. Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Teringat dikepalanya saat kemarin ia menghabiskan waktu seharian untuk berlatih, ia masih lelah, tubuhnya terasa sangat berat. Setelah pertemuannya dengan para bangsawan berambut palsu yang menyebalkan, ia memutuskan kembali ke arena Jawara. Ditemani cahaya obor, Lyra berlatih berkuda dan memanah sendirian, tempat itu sepi dan sunyi, hanya ada suara hewan malam yang berbunyi, Drego sudah tidak ada disana – begitu pula para ksatria lainnya. Ia ingin melatih staminanya agar kuat dan bisa lolos seleksi pasukan raja pada musim panas yang akan datang.

Walau pada dasarnya ia bisa masuk tanpa seleksi karena sang raja adalah ayahnya. Akan tetapi, ia ingin menjadi Ksatria dengan jalur yang adil seperti prajurit-prajurit lainnya, seperti kakak-kakaknya, tanpa bantuan sang raja – selain peralatan tempur mereka.

Lyra berpaling kepada sosok yang mengganggunya tidur. Disebelah -nya, duduk seorang wanita dengan rambut panjang bergelombang, dengan mata kelabu. Shasa, satu-satunya pelayan yang di miliki Lyra. Shasa adalah pelayan pribadinya yang paling setia. Dia sedang memandanginya dengan wajah yang penuh dengan kecemasan. Lyra tahu pandangan semacam itu berarti dia membawa berita buruk.

"Tuan Putri, kita harus ke kubah perlindungan. Segera!" kata Shasa.

Belum sempat Lyra mengerti ucapannya. Terompet-terompet istana berbunyi dengan kencang, sahut menyahut di seluruh istana, membelah kesunyian malam di musim semi pertama.

Lyra langsung berlari menuju jendela melengkung yang terbuka, melihat keluar dan melihat lusinan Ksatria berbaris di segala arah. Sekali lagi terompet di tiupkan, itu berarti hanya ada satu hal. Kerajaannya sedang di serang, ada sebuah peperangan yang letaknya tak jauh dari istana raja. Sebuah pertempuran di malam hari. Di malam musim semi pertama di tahun ini.

Lyra merasakan lengannya ditarik dan ia terhuyung-huyung karena belum sepenuhnya sadar dari keterkejutan. Shasa menariknya keluar kamar, melewati koridor batu yang di terangi oleh cahaya obor. Lyra bahkan belum sempat mengganti gaun tidurnya. Ia merasa malu karena gaun itu sangat tipis – terbuat dari kain sutra berwarna putih. Beberapa lekuk tubuhnya sudah mulai terbentuk, dan ia merasa malu jika harus meninggalkan kamarnya dengan pakaian itu.

Saat mereka berlari, tiba-tiba saja Lyra berhenti saat melewati salah satu jendela besar di koridor yang langsung menghadap ke lapangan kastil, di dekat pintu gerbang istana raja. Disana, di padang lapang itu ada ayahnya, Raja Mathias, menggunakan baju zirah berwarna merah hati, dia duduk di atas kudanya, lusinan pasukan pengawal mengelilinginya. Tak jauh dari barisan raja dan pasukannya, Lyra melihat Melody – putri Raja yang ke empat – berbaris bersama dengan ratusan pasukan elite Raven.

Dan diantara prajurit-prajurit itu, Melody yang paling mencolok diantara yang lainnya. Dia seorang wanita bangsawan. Namun, dibalik itu semua dia adalah perempuan tertangguh dari semua saudara-saudaranya. Dengan rambutnya panjang, berwarna hitam legam di kuncir ke belakang menyerupai buntut kuda, kulitnya putih berseri, matanya yang berwarna gelap dan tajam seperti memberikan isyarat bahwa dia tidak takut pada apa pun. Wajahnya oval mirip seperti dirinya. Seorang wanita berdarah dingin yang di gilai para lelaki karena pesonanya. Dia duduk di atas kuda, memakai baju zirah berwarna gelap lengkap dengan jubah merah menjuntai di punggungnya.

Lyra merasakan dadanya berdebar. Pasukan elite telah dikerahkan. Ia tidak bisa membayangkan jenis pertempuran apa yang sedang terjadi di kerajaannya. Sebuah peperangan yang sangat dekat dengan tempatnya tinggal. Situasi semacam ini tidak pernah terjadi sepanjang yang ia ingat. Tidak pernah ada yang berhasil menembus pertahanan Askara sampai sejauh ini, sampai mendekati istana raja. Lalu kemanakah Arthur dan pasukannya? Apa mereka sudah kalah?

"Tuan Putri," Shasa kembali meraih lengannya, "sudah tidak ada waktu lagi, Putri. Saya harus mengantarkan anda segera ke kubah bawah tanah. Ini perintah dari raja."

Shasa kembali menariknya, berjalan menjauhi jendela itu. Mereka berbelok dan menuruni anak tangga batu yang melingkar. Melewati pintu ganda melengkung menuju ke bagian tengah istana. Saat ia berjalan ksatria-ksatria yang berpas-pasan dengannya tidak ada yang memandanginya dengan rasa hormat seperti biasanya, melainkan sebuah pandangan kekejian, sebuah pandangan yang mengatakan bahwa mereka ingin mencicipi tubuhnya.

Lyra merasa malu, risih dengan tatapan lapar prajurit-prajurit ayahnya. Andaikan Shasa memberinya waktu untuk berpakaian, mungkin ia tidak akan malu seperti ini. Mereka berbelok lagi, dan mulai menuruni tangga batu kuno yang sudah sangat tua. Dua pasukan pengawal berjaga disisi kiri dan kanannya.

Lyra menjejakkan kakinya, menuruni tangga batu itu, Shasa masih menggandeng tangannya di depan seolah-olah dia adalah pemandunya. Mereka berbelok menuju pintu baja dengan panji kepala badak, lambang dari Negeri Askara. Butuh beberapa pengawal kerajaan untuk membuka pintu itu. Bunyi berderit pintu ketika di buka sangat menyiksa telinganya. Lyra masuk dengan Shasa di depannya. Pintu kembali di tutup di belakang mereka. Bunyi antara logam dan batu yang beradu bergema di seluruh lorong tangga batu.

Lyra menuruni anak tangga lagi dan berakhir di sebuah ruangan yang luas. Disana, di dekat perapian ada beberapa orang yang sedang duduk setengah melingkar, Lyra mengenali mereka. Itu adalah Ratu Laurie , yang sedang duduk sembari di pijat oleh dayang-dayangnya. Di sebelah kirinya ada Luisa, putri raja yang ke dua sedang menikmati teh hangat sembari memandangi perapian. Ratu dan Luisa terlihat sangat mirip, dengan rambut berwarna merah stroberi, matanya yang berwarna coklat, dan kulitnya yang berwarna putih dengan rona merah di pipinya. Di sebelah kanan sang ratu ada McKanzie putra raja yang ketiga. Memakai jubah bangsawan berwarna merah menyala. Dia selalu seperti itu, kemana pun dan kapan pun, Mckenzie selalu memakai jubahnya. McKanzie duduk menghadap perapian sambil mengasah pisau belatinya.

Lyra berjalan mendekati perapian itu, Shasa dengan sigap mengangkat salah satu kursi dan menaruhnya di sebelah McKanzie. Lyra duduk dan menatap ke perapian. Ratu Laurie hanya meliriknya sekilas dan kembali memejamkan matanya. Lyra melihat kebencian dari lirikan matanya, mungkin dia masih marah karena rencananya dengan para bangsawan NMT gagal. Dan mungkin kebencian itu sekarang sudah berlipat-liat banyaknya.

"Aku pikir kau sudah mati di makan monster-monster itu." Kata McKanzie. Tatapannya tetap fokus pada belati dengan balutan emas di pegangannya.

"Jika kau pikir di dalam kubah ini aman," tambahnya, "itu hanya masalah waktu saja sampai makhluk-makhluk itu bisa menembus kedalam tembok, menghancurkan istana raja. Dan pada saat itu terjadi, mereka akan memakanmu hidup-hidup."

McKanzie mengangkat belatinya ke udara, kilatan bara api terpantul dengan jelas dari mata belati itu.

Lyra menelan ludah, ia merasa tenggorokannya mengering.

"Jangan dengarkan omong kosong dia, Lyra," sahut Luisa. "mereka tidak akan memakanmu hidup-hidup. Mungkin mereka akan menidurimu secara bergilir karena kau begitu menggoda dengan gaun super tipismu." Luisa menunjuk tubuh Lyra.

Luisa mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap Lyra, "Apa kau ingin mengikuti jejak ibumu sebagai wanita penggoda?" McKanzie dan Luisa tergelak, pun dengan Ratu Laurie, mereka menertawainya.

Lyra merasakan wajahnya memerah. Ia ingin melawan mereka, tetapi ia tidak punya keberanian itu. Ia ingin membantah saudara-saudaranya yang selalu menghinanya. Namun, itu hanya akan membuat dirinya berada dalam masalah yang lebih besar. Faktanya, itulah kebenarannya. Ia hanya -lah seorang anak hasil hubungan gelap antara sang raja dengan seorang gundik. Beruntung ayahnya sangat mencintai dirinya, dan masih mengizinkan ia tinggal dan menikmati segala fasilitas yang ada di dalam kerajaan.

Walau kenyataannya segala fasilitas dan kemewahan istana tidak memberikannya kebahagiaan.

"Putri Lyra," muncul sebuah suara dari belakang.

Lyra berpaling ke belakang bahunya dan melihat Shasa berdiri dengan menundukkan wajah.

"Ada apa Shasa?" tanya Lyra.

"Bisakah hamba berbicara empat mata dengan anda

====÷÷÷====