Lyra sampai di depan pintu kayu Ek dengan pegangan besi yang sama persis dengan pintu kamarnya. Nyali Lyra mendadak ciut. Ia dapat merasakan dadanya yang terasa sesak akibat jantung yang berdebar dua kali lebih cepat. Lyra menggigit bibir bawahnya, ia khawatir jika Melody ada di dalam kamarnya.
Ia membulatkan tekat, kembali ke kamar juga bukan pilihan yang tepat.
Lyra mengintip dari celah pintu kamar Melody yang sedikit terbuka. Ia mendesah, lega, mengetahui Melody tidak sedang berada di kamarnya. Ia membuka pintu lebar-lebar dan masuk kedalam , menutup pintunya perlahan agar tidak ada seorang pun yang mendengarnya. Kesan pertama saat Lyra melihat kamar Melody adalah takjub. Bukan kamar seorang wanita bangsawan melainkan kamar seorang pejuang.
Melody sudah tinggal di barak militer sejak dia memutuskan untuk bergabung dengan Kesatuan Raven, hanya sesekali dia pulang, menempati kamar ini dan menggunakannya sebagai tempat menyimpan semua barang-barang pribadinya. Lyra kagum saat ia melihat-lihat isi kamar kakaknya. Dinding-dinding kamar Melody dihiasi berbagai macam mendali kerajaan, semuanya mengkilap, dengan berbagai bentuk dan warna.
Lyra menarik kakinya kearah dinding batu yang berhiaskan bingkai-bingkai koleksi mendali milik Melody. Bingkai-bingkai itu masing-masing berisi dua mendali, dan masing-masing dari mendali itu, terdapat nama Melody yang diukir dengan cantik di sekelilingnya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya berada di posisi Melody, mungkin tidak ada satu dari saudaranya yang akan berani menghinanya. Sebaliknya, mereka akan memberikannya sanjungan dan penghormatan kepada dirinya.
Diantara semua mendali-mendali itu, Lyra tertegun saat menatap salah satu bingkai yang hanya berisi satu mendali. Ia menurunkan bingkai itu, mengusap permukaannya yang timbul, terbuat dari kayu mahoni dengan ukiran-ukiran rumit, bantalan beludru merah sebagai dudukan mendali. Mendali itu berbentuk bintang, terbuat dari perak dan berhiaskan burung elang berwarna emas di tengah-tengahnya.
Itu adalah Medals of Conqueror, dan pemiliknya mendapatkan gelar The Medallion. Itu adalah mendali terlangka di seluruh dunia. Bahkan Arthur saja belum bisa mendapatkannya – mendali itu bisa di dapatkan jika seseorang bisa membunuh seekor putri duyung dari danau Styx. Itu adalah perburuan yang sangat sulit karena letak danau itu tersembunyi. Tidak semua orang bisa menemukan danau itu. Dan tidak sedikit pula yang menghilang ketika mencoba menemukannya.
Saat ia sedang mengagumi koleksi mendali milik Melody, tiba-tiba ia mendengar derap langkah dari balik pintu. Lyra panik, segera ia menaruh kembali bingkai itu di tempatnya seperti semula. Ia memarahi dirinya sendiri karena tidak mengambil apa yang seharusnya ia ambil dan lekas kembali ke kamarnya. Derap langkah kaki itu semakin jelas, bahkan ia bisa melihat bayangan seseorang dari bawah pintu. Tanpa pikir panjang ia segera bersembunyi di belakang pintu, dan berdoa agar Melody atau siapa pun itu tidak mengetahui keberadaannya.
Pintu terbuka perlahan, berderit seakan itu adalah suara yang paling menakutkan yang pernah didengarnya dan Lyra menahan napas saat seseorang melangkah masuk. Ia bertanya-tanya dalam hati, bagaimana jika Melody menutup pintunya, melihatnya bersembunyi dibalik pintu. Akankah dia semakin membencinya, atau jika ia bisa menjelaskan maksud dan tujuannya mungkin Melody akan mengampuninya – walau sepertinya mustahil.
Ia tidak mau melihat siapa yang masuk ke kamar kakaknya, ia tidak mempunyai keberanian itu. Namun, dari suara derap langkahnya ia merasa itu bukan Melody. Walau Melody seorang putri bangsawan, tetapi suara langkah kakinya tegas dan berwibawa, suara khas seorang ksatria ketika berjalan. Ia menyadari sesuatu, dari semalam saat ia melihat Melody bersama sepasukannya pergi ke medan perang, ia belum melihatnya kembali ke istana. Lagi pun langkah kaki yang saat ini didengarnya begitu pelan dan terdengar seperti suara langkah seorang wanita.
Tapi siapa?
Sebelum Lyra memberanikan diri, orang itu sudah meninggalkan kamar kakaknya, pintu tertutup di belakangnya. Lyra mendesah lega. Didalam pikirannya tak ada yang namanya keberuntungan ganda, ia khawatir jika seseorang masuk lagi dan mendapati dirinya berada disana, segera ia mengambil celana tenun, kemeja, dan jubah milik Melody dari dalam lemari dan keluar dari kamar itu.
=**=
Lyra memasuki kandang kuda dengan mengendap-endap. Sesekali ia menundukkan kepala, bersembunyi dari beberapa pengawal kerajaan yang mondar-mandir di kandang itu. Jantungnya berdebar saat ia melangkah melalui lorong yang di penuhi aroma kotoran kuda, ia berputar dan berbelok di sepanjang koridor yang di sudah dikenalnya dan berakhir di depan sebuah kuda coklat dengan surai berwarna gelap. Itu kudanya, Lucy namanya.
Lyra mengelus kepala Lucy.
"Apa kau merindukanku kawan?" tanyanya pada Lucy.
Lucy meringkik, menendang-nendang kaki depannya seolah-olah dia sedang menjawab.
Lyra tersenyum.
"Kau tidak berencana kabur dengan barang curian, bukan?" muncul sebuah di belakang bahunya.
Lyra terkejut, ia berbalik dan menatap seseorang yang sedang duduk di atas tumpukkan jerami. Liam. Jenderal di Kesatuan Pasukan Pengawal. Liam menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Matanya yang berwarna coklat gelap seperti menembus mata Lyra saat pandangan mereka bertemu.
"Aku bukan pencuri!" kata Lyra dengan keras. "Ini milikku. Memangnya hanya Melody yang punya pakaian seperti ini."
"Benarkah?" tanya Liam, menyeringai. Menatapnya dari ujung kepala sampai kaki. "Sejak kapan kau mempunyai jubah kesatuan Raven? Apa kau sudah menjadi bagian dari mereka?"
Dahi Lyra mengerut, bingung.
"Saat kau memakai sesuatu," kata Liam. "Sebaiknya perhatikan dulu apakah ada yang salah dengan pakaianmu atau tidak." Liam menunjuk ke arah jubahnya.
Mata Lyra mengikuti kemana jari telunjuk Liam mengarah. Ia tersentak, mendapati sebuah pin burung gagak berwarna perak di sebelah kiri dadanya. Ini jubah kesatuan Pasukan Raven, salah satu jubah yang paling penting dalam hidup Melody. Ia benar-benar tidak tahu saat mengambilnya dari dalam lemari, dan itu membuatnya memarahi dirinya sendiri. Ia sangat ceroboh.
Liam berdiri, berjalan mendekat ke arahnya. Bunyi gemerincing dari baju zirah yang dia kenakan seperti sedang mengintimidasinya. Lyra mundur beberapa langkah, ketakutan. Tubuh Liam tinggi tegap dengan bahu yang lebar, janggutnya yang berwarna coklat kemerah-merahan, dengan rambut panjang dan kusut, membuat dia terlihat sedikit menyeramkan. Tapi anehnya banyak gadis di kerajaannya yang tergila-gila pada Liam.
Liam berdiri tepat di depan Lyra. Menatapnya dengan pandangan menyelidik.
"Jika kau ingin berbohong," Kata Liam dengan suara berat, "pastikan kau tidak berbohong pada orang yang salah."
Lyra menundukkan wajahnya, takut bertatap muka dengan Liam.
"Aku tidak bohong." Katanya.
"Jelas kau berbohong," balas Liam. "Apa aku mengatakan kau mencuri pakaian Melody? Aku bertanya apa kau mencuri sesuatu, dan itu bisa berarti apa pun -- aku tidak pernah menanyai pakaianmu."
Lyra merasa sangat bodoh, ia terjebak kata-katanya sendiri.
"Jawab pertanyaanku dengan jujur," Liam mengulurkan tangannya yang kasar untuk mengangkat dagu Lyra. "Apa yang kau lakukan disini?
"Aku ... mm ..." Lyra merasakan lidahnya mati rasa, "aku ... hanya ingin ... berlatih berkuda." Lyra berbohong.
Liam mendengus. Alisnya mengernyit serius.
"Apa kau sudah bosan hidup di dunia ini, Nak?" kata Liam dengan datar. " Apa kau tahu, tidak ada hari libur bagi Algojo kerajaan untuk menggantung seseorang. Jika kau tidak jujur. Aku sendiri yang akan menyeretmu ke sana."
"Beraninya kau mengancam anggota keluarga kerajaan." sahut Lyra, terbelalak, suaranya bergetar. "Ayahku akan membunuhmu. Semua dari keturunanmu. Dan namamu akan di ingat sebagai penghianat.."
"Tapi hukum Raja sangat jelas," tukas Liam. "Siapa saja yang menentang hukum Raja. Maka orang itu akan di gantung di alun-alun kota. Kau baru saja melakukannya. Raja memberi perintah agar semua anggota keluarga kerajaan tetap berada di dalam Istana. Tetapi kau malah ingin meninggalkan Istana. Mungkin ketika Raja kembali dari medang perang dia sendiri yang akan menggantung anaknya karena tidak patuh terhadap hukum kerajaan."
Lyra menelan ludahnya.
"Lebih baik kau jujur padaku." Kata Liam, mendesis.
"Aku hanya ingin berlatih. Itu saja."
Lyra tersentak saat Liam mencengkeram lengannya, menariknya lebih dekat dengan tubuhnya, bahkan ia bisa mencium bau busuk dari mulutnya. Dia menatap matanya dengan tajam seolah-olah dia sedang masuk ke dalam jiwanya untuk mencari jawaban.
"Aku tidak pernah berbicara omong kosong," Liam menggeram. "Jika kau masih menyembunyikan sesuatu dariku. Aku bersumpah tangan ini yang akan mengambil jiwamu untuk selamanya." Liam mengangkat tangan kanannya yang berlapis sarung tangan besi.
"Aku .. " kata Lyra, ketakutan. "Aku ingin menyusul pasukan Sicarius."
"Untuk apa?" tanya Liam, mendesis.
"Aku mendapat sebuah mimpi aneh tentang peperangan di malam sebelum ribuan Pasukan Raja berangkat. Dan itu terlihat sangat nyata. Aku melihat ... entahlah, mungkin ratusan atau bahkan ribuan monster aneh yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Jika aku bisa menyusul mereka, memberitahukan tentang monster itu, banyak nyawa prajurit akan selamat."
"Itu hanya mimpi yang sangat bodoh!" balas Liam. "Kau pikir kau seorang cenayang? Kau hanya bermimpi buruk dan aku bisa memastikan bahwa pasukan Sicarius dalam keadaan aman. Mereka sedang berpatroli untuk memperkuat pertahanan Askara. Mereka baik-baik saja."
"Bagaimana dengan peperangan semalam?" ucap Lyra. "Aku hampir tidak pernah mendengar terompet istana berbunyi. Itu berarti ada pertempuran tak jauh dari sini, bukan? Aku yakin jika ribuan pasukan Sicarius yang dikirim beberapa waktu lalu bukan hanya sekedar berpatroli. Mereka semua dikirim untuk sebuah peperangan. Sebuah misi mulia dari Raja."
Wajah Liam berubah gelap.
"Kau tahu tentang misi itu?" tanyanya serius.
Lyra mengangguk.
"Ikut Aku," katanya. "Kita akan buktikan apakah monster dimimpimu itu benar -- atau kau hanya membuat alasan agar bisa kabur dari sini."
"Aku akan menyiapkan Lucy terlebih dahulu –"
"Kita tidak butuh kuda." Balas Liam.
"Apa maksudmu?" tanya Lyra, kebingungan.
====÷÷÷====