Chereads / ASKARA: Rise of the Dead / Chapter 13 - A S K A R A - 13.

Chapter 13 - A S K A R A - 13.

Liam mematik api untuk menerangi mereka di kegelapan gua, sementara Lyra menggigil karena udara begitu lembap dan ia merasakan semprotan air terjun membasahi wajahnya, lalu ia segera menyadari bahwa jubah wolnya tak lebih dari selembar kain tak berguna. Matahari sudah merosot di barat ketika obor di tangan Liam sudah menyala, apinya mendesis dan menari-nari ketika terkena embusan udara. Ksatria itu berbalik dan menyerahkan obor di tangannya kepada Lyra.

Lyra menatap obor itu kemudian beralih menatap Liam.

"Aku tidak tahu tempat ini," kata Lyra. "Kau saja yang bawa. Aku akan mengikutimu dari belakang."

"Tunggulah disini sebentar," kata Liam , menyerahkan obor itu. "Ada sesuatu yang harus aku tuntaskan segera. – Aku sudah tidak tahan."

Lyra mengangguk paham dan segera mengambil obor itu ditangannya. Dia melihat ke sekeliling pada mulut gua setelah Liam menghilang di balik semak-semak . Suara gemuruh air terjun itu begitu keras hingga ia hampir-hampir tak dapat mendengar apa pun disana. Lyra mengulurkan tangannya, mengarahkan obornya kedalam gua, terdapat tangga batu sempit menuju perut bumi yang sudah berlumut di makan usia, dinding batu kuno yang dipenuhi tulisan-tulisan aneh dan beberapa bagian tembok sudah hancur karena akar atau tanaman merambat. Ia merasa tempat ini seperti buatan manusia dan sudah sangat lama ditinggalkan. Seseorang telah menggali tempat itu. Dan untuk apa Liam membawanya kemari?

Saat dia berdiri di sana tiba-tiba saja sekujur tubuhnya merinding, ada sesuatu di dalam gua itu, sesuatu yang menggeram seperti suara binatang buas, dan ia mencium bau yang sangat busuk dari dalamnya. Dan pada detik itu juga ia menyadari sesuatu. Mimpinya. Aroma busuk dan suara geraman dari dalam gua sama persis dengan yang ada di dalam mimpi.

Ia berbalik saat semak belukar di sebelahnya bergerak-gerak, bergemeresik, dan semakin jelas setiap detiknya. Ia tidak tahu bagaimana karena tiba-tiba satu tangan Lyra sudah menggenggam belati, dan ia mengambil sikap waspada.

"Ada apa?" kata Liam saat keluar dari dalam semak, wajahnya juga tampak terkejut.

Lyra mendengus sebal sekaligus lega, dia memasukkan kembali belatinya kedalam sarung. Ini adalah tempat menyeramkan yang tidak akan pernah dilupakannya, dan ia berharap tak akan pernah lagi menginjakkan kakinya di hutan ini. Tidak akan pernah.

Liam melempar satu buah berwarna ungu dan Lyra segera menangkap buah itu. Bentuk buah itu seperti apel tapi dengan kulit sekasar sisik ular.

"Apa ini?" tanyanya.

"Jeruk Hutan. Yang terbaik," jawab Liam. "Apa di Istana Raja tidak ada buah seperti itu?" Liam mengupas satu ditangannya lalu dia memakan buah itu.

Lyra sempat melihat daging buah itu sebelum di makan Liam. Bentuknya memang seperti daging buah jeruk tetapi berwarna seputih susu, baunya harum seperti melon.

"Aku tidak peduli dengan nama benda ini," ujar Lyra. Ia menelan ludah karena mendadak lapar. "Apa maksudmu memberikan buah ini kepadaku. Di tengah hutan. Jauh dari jangkauan pasukan raja."

"Apa kau berpikir buah itu sudah diracun? Jika aku mau, aku bisa meracunimu di dalam kamarmu sendiri. Dan tidak akan ada yang tahu jika aku yang membunuhmu."

"Perjalanan ini membuat aku lapar," Liam menambahkan. "Dan buah itu akan sangat berguna ketika kita masuk ke sana," Liam menunjuk ke dalam gua," Aku yakin kau mencium sesuatu."

Lyra bergidik. Ternyata bukan hanya dia yang menciumnya, melainkan gua itu memang mengeluarkan bau yang menyengat. Kemudian dia menatap buah ditangannya. Ia tidak tahu apa hubungannya buah itu dengan gua di depannya.

"Kalau kau tidak mau memakannya setidaknya simpan di dalam sakumu." Kata Liam, kemudian dia melangkah masuk.

Mereka mulai berderap, masuk ke dalam gua, menuruni satu demi satu anak tangga yang panjang, seolah-olah anak tangga itu memang dibuat untuk menuju ke perut bumi. Saat Lyra berjalan ia mengamati sekeliling, semakin banyak kata-kata yang di tulis dalam bahasa kuno yang ia tidak tahu apa artinya – tapi apa pun itu Lyra merasa itu bukanlah pertanda baik. Tempat ini mirip seperti tangga yang menuju ke kubah perlindungan di dalam Istana Raja, tinggi gua itu hampir dua kali tinggi badannya dan lebarnya mungkin sekitar enam kaki, -- entahlah dia tidak terlalu yakin dengan itu, berhitung adalah hal yang paling dia benci.

Saat mereka sampai di dasar gua, Lyra merasakan hidungnya tertusuk aroma yang sangat menyengat, seperti bau bangkai binatang dan amis darah. Dia merasa mual dan secara naluriah Lyra mengulurkan tangannya untuk menutup hidung. Tidak ada sirkulasi udara di tempat ini, dan bau busuk memperburuk udara di sekitar mereka.

"Mengapa kau membawaku ke tempat seperti ini?" kata Lyra, ketika mereka berjalan dalam lorong gua itu.

Liam berpaling dan menatapnya. Tangan Liam sibuk membungkus sesuatu dengan selembar kain.

"Apa yang kau lakukan?" Lyra bertanya sambil melihat tangan Liam bekerja.

"Kau masih menyimpan jeruk hutan yang tadi?" Kata Liam.

Lyra mengangguk.

"Kupas kulit buah itu dan bungkus dengan kain," ujar Liam, "lalu pakai itu sebagai penutup hidung. Harum buah jeruk hutan lebih manis ketimbang bau busuk tempat ini."

Lyra segera melakukan apa yang dikatakan ksatria itu – dia mengupas kulit buah itu dengan terburu-buru dan mengikatnya asal-asalan, bagi Lyra yang terpenting ia tidak mencium bau terkutuk tempat ini.

"Kalau saja kau mau tetap tinggal di dalam istana." Liam menggerutu. "Kita tidak perlu ke tempat menjijikkan seperti ini."

Liam melangkahkan kakinya di koridor batu berdebu.

"Kenapa tempat seperti ini tidak dirobohkan saja?" kata Lyra, setelah selesai dengan masker hidungnya yang terlihat berantakan. Tapi ia bersyukur karena kulit buah itu benar-benar menyegarkan penciumannya. "Memangnya siapa yang bisa tinggal di tempat seperti ini."

Liam mengangkat bahu.

"Kau akan segera mengetahuinya nanti."

Mereka kembali berjalan, dan Lyra mengikuti Liam saat mereka menyusuri koridor batu. Liam menyulutkan obornya di dinding di sepanjang jalan yang mereka lalui, hanya dinding sebelah kiri. Dia tidak menyalakan obor di sebelah kanan.

Lyra terinspirasi, dia mengambil satu obor di dekatnya dan mulai membakar obor yang berada di sebelah kanan.

"Jangan pernah berpikir untuk menyalakannya," Kata Liam, tiba-tiba.

"Kenapa?" balas Lyra, berpaling kepada Liam. "Bukankah lebih terang jika kita menyalakan kedua sisinya."

"Aku hanya menyalakan obor di sebelah kiri agar kita tidak tersesat."

"Apa maksudmu?" tanya Lyra, alisnya mengernyit bingung.

"Kompas," jawab Liam. "Tempat ini lebih luas dari tempat mana pun yang pernah kau kunjungi, seperti labirin dan kita tidak bisa melihat bintang dari bawah sini. Jika urusan kita sudah selesai. Kita hanya perlu mengikuti obor di sebelah kanan. -- Kebalikannya saat kita datang dari pintu masuk ke tempat ini."

Lyra mengangguk, akhirnya dia paham mengapa Liam hanya menyalakan obor hanya di satu sisi saja. Mereka berjalan lagi, langkah demi langkah jauh lebih dalam, berbelok beberapa kali, berkeliling di sepanjang koridor batu berdebu, sesekali ada tikus yang berlarian saat mereka melangkah di koridor itu. Dan setiap kali Lyra melangkahkan kakinya, aroma busuk itu semakin lama semakin kuat, bahkan harum dari maskernya tidak mempan menangkal bau busuk itu.

====÷÷÷====