Lyra berjalan di belakang Istana Raja, melewati jalan kecil berkelok-kelok yang belum pernah dilaluinya. Liam di depannya, berjalan dengan langkah kakinya yang lebar. Ia terengah-engah ketika mencoba mengimbangi langkah Liam. Namun sulit, postur tubuh Liam yang tinggi membuatnya beberapa kali tertinggal. Lyra hampir tidak bisa percaya bahwa ia akhirnya bisa keluar dari Istana Raja, melewati lusinan prajurit kerajaan yang berjaga. Ia beruntung karena Liam mau membantunya, tetapi dilain sisi dia juga dilanda kebingungan. Liam berkata bahwa dia akan membawanya untuk melihat apakah mimpinya benar atau tidak . Namun, dia tidak mengatakan akan membawanya kemana, dia juga tidak mengatakan apa pun semenjak mereka meninggalkan Istana Raja.
Mereka berbelok di sebuah perempatan ketika matahari mulai jatuh di barat, dan mulai mendaki sebuah bukit yang hijau, suara burung gagak saling bersahutan di kejauhan. Lyra memandangi sekeliling, dan bertanya-tanya apa yang sedang terjadi, Ia sulit memahami situasi yang sedang terjadi di kerajaannya. Ayah benar-benar membuat seluruh kerajaan seperti benteng pertempuran. Hampir setiap kali ia berjalan, melewati tikungan demi tikungan, ada selusin pasukan pengawal bersenjata lengkap yang berjaga, atau berpatroli di jalan-jalan kota, bahkan mereka berpatroli hingga ke tempat terpencil seperti ini. Tangan-tangan mereka sudah siap pada senjata yang dibawanya, mereka bersiaga, seolah-olah ada pertempuran besar sedang menantang mereka.
Saat mereka menuruni tangga batu yang sempit, Lyra teringat dengan mimpi buruknya, kakaknya, desa-desa di provinsi barat, dan semua pasukan yang sedang menjalankan misi dari raja.
Ia belum mendapatkan kabar apa pun sejak pasukan Sicarius berangkat, dan itu membuatnya cemas. Ia ingin tahu apakah kakak sulungnya baik-baik saja, dan apakah semua makhluk yang ada dimimpinya itu benar: Bahwa mereka adalah tentara kerajaan, dan semua dari mereka berubah menjadi sosok yang mengerikan. Ia berdoa semoga itu bukanlah suatu pertanda, dan apa yang dilihatnya dalam mimpi tidak akan pernah terjadi. Ia berharap itu semua hanya mimpi buruk. Tidak lebih dari itu.
"Apa sudah ada kabar dari kesatuan Sicarius?" Tanya Lyra kepada Liam ketika mereka melewati jembatan batu. Di bawah mereka mengalir air sebening kaca. "Aku khawatir. Aku belum mendengar kabar apa pun tentang mereka sejak meninggalkan Istana Raja kemarin pagi."
Liam menoleh untuk melihat ke belakang bahunya, hanya sebentar lalu dia segera kembali menatap lurus ke depan.
"Aku tidak tahu." Liam menjawab. "Sekalipun ada berita dari mereka, aku tidak bisa mengatakannya kepada siapa pun. Begitu pula semua pasukan raja lainnya."
"Kenapa begitu?" dahi Lyra mengernyit, bingung.
"Karena titah raja sudah di kumandangkan. Dan kami semua sudah mengambil Sumpah-setia untuk patuh terhadap apa pun perintahnya." Jawab Liam sembari berjalan.
"Itu adalah hal terbodoh yang pernah aku dengar," Lyra mencoba memancing Liam. "Kenapa kau mau melakukannya? Lagi pun kita hanya berdua saja di hutan ini – tidak akan ada yang tahu jika kau memberitahu aku. "
Tapi Liam tidak menanggapi sama sekali.
"Liam?"
"Kenapa kau tidak bisa menutup mulutmu. Sebentar saja." kata Liam. "Lagi pula, apa pentingnya kabar pasukan Sicarius untukmu. Daripada memikirkan mereka, lebih baik kau mulai memikirkan cara untuk membebaskan seseorang yang kau sayangi."
Lyra bingung, dia mempercepat langkahnya dan berjalan disisi Liam.
"Membebaskan seseorang?" Lyra mengulangi. "Apa yang kau bicarakan? Apa ada seseorang yang di tahan di penjara bawah tanah?"
Tetapi Liam tidak menjawab, dia berlalu dengan mempercepat langkahnya, meninggalkan Lyra dengan puluhan tanda tanya.
Seseorang? Apa maksudnya?
Mereka berderap melewati jembatan kayu, kali ini lebih kecil dan lapuk, seperti sudah tidak digunakan selama bertahun-tahun, berderit ketika mereka berjalan di atasnya. Hampir setengah hari mereka berjalan, melewati kota, pedesaan, hamparan ladang perkebunan milik pertanian, dan sekarang Lyra menemukan dirinya masuk ke dalam hutan. Tidak ada lagi jalan beraspal, lalu-lalang prajurit, bahkan jalan setapak sudah digantikan dengan hamparan rerumputan liar, menjulang hampir setinggi tubuhnya, pohon-pohon besar dan sangat tua dengan akar-akar yang keluar dari dalam tanah, suara-suara jeritan hewan menakutkan seolah-olah menyambut kedatangan mereka.
Liam menarik pedang dari sabuknya, berdesing saat dia menebaskannya pada rerumputan itu, membuka jalan agar lebih mudah dilalui. Saat Lyra berjalan di belakang Liam, ia memandangi sekeliling, ada perasaan yang membuatnya tidak nyaman pada tempat ini. Ia merasa ada aura misterius di sekitarnya, merasa seperti ada mata yang sedang mengawasinya. Dia mengulurkan tangan ke belakang, meraih belatinya, waspada, dan saat dia melakukannya tiba-tiba seperti ada yang berlari di belakangnya, suara langkahnya seperti gemuruh badai yang dahsyat. Lyra berbalik, menahan napas, mengarahkan belatinya ke depan dengan kedua tangannya yang bergetar karena ketakutan. Namun, tidak ada apa-apa selain daun dan pepohonan. Terlalu gelap, dan hutan ini terlalu lebat.
Lyra berdiri disana, terpaku saat suara gemuruh itu kembali terdengar, berputar-putar di sekitarnya. Dan saat ia mencoba mencari asal suara itu tiba-tiba ada yang menyentuh bahunya.
Lyra tersentak, memutar tubuhnya dengan cepat dan menjerit.
"Hey tenanglah! ," kata Liam, menangkap kedua bahunya dan mengguncangkannya. "Ada apa? Apa yang kau lakukan disini?"
"Aku ... " kata Lyra, napasnya terengah-engah karena ketakutan. "Aku mendengar suara seperti ada yang berlarian kesana-kemari. Tapi aku tidak melihat siapa pun. Aku tidak suka tempat ini. Aku merasa seperti ada yang mengawasi kita."
Liam memandangi sekitar, dahinya mengernyit serius, dia meletakkan tangannya pada gagang pedang. Kemudian berpaling kepada Lyra.
"Tidak ada apa-apa disini," katanya. "Aku tidak melihat apa pun. Mungkin itu hanya perasaan kau saja."
"Tidak!" balas Lyra. "Aku yakin jika ada yang sedang mengawasi kita. Aku bisa merasakannya. Aku sangat yakin."
"Hutan ini memang penuh misteri." Ujar Liam. "Kita tak seharusnya berlama-lama disini. Sebaik cepat. Hari akan semakin gelap. Dan jangan sampai tertinggal kali ini."
Mereka kembali berjalan dan kali ini Lyra tepat disisi Liam, ia masih merasa seperti ada mata yang sedang memperhatikannya, mengawasinya dari jauh. Saat Lyra terus berjalan, masuk ke dalam hutan yang semakin lama semakin lebat, ia secara samar-samar mendengar suara gemercik air dan semakin jelas dan semakin keras ketika mereka jauh melangkah ke dalam hutan, udara di sekitarnya berubah menjadi lembap, daun-daun basah seolah-olah telah terjadi hujan di tempat itu. Dan dia segera menemukan dirinya berjalan di tepian sungai, batu-batu besar dan halus menghiasi sepanjang alirannya.
Mereka berbelok, menuruni sebuah tangga bambu tua yang mengarah tepat ke tepian sungai itu. Lyra menahan napasnya saat ia melihat pemandangan yang ada di depannya. Sebuah air terjun yang sangat indah, menjulang setinggi tiga puluh kaki, dikelilingi tebing batu terjal, ada dua pelangi yang memperindah air terjun itu, pohon-pohon besar berdiri kokoh di kedua sisinya. Dari tempatnya berdiri, Lyra dapat merasakan wajah dan seluruh tubuhnya basah terkena pecahan air terjun yang jatuh. Ia tidak pernah tahu bahwa ada tempat se-menakjubkan ini di kerajaannya. Pohon dan tebing itu seperti membentenginya, mengisolasi tempat ini dari dunia luar.
"Apa kau akan berdiri disitu sepanjang hari?" Liam berteriak, suara beradu dengan derasnya air terjun.
"Kita mau kemana," Lyra balas berteriak dan kembali melangkahkan kaki, mencoba menyusul Liam. "Tidak ada jalan lagi. Kau tidak menyuruhku untuk memanjat tebing itu, kan?"
Liam berpaling kepadanya, tersenyum. Kemudian dia melangkah lagi, berjalan ke arah ari terjun itu.
"Liam?!"
Liam berdiri tepat di sebelah air terjun, menatapnya dengan berkacak pinggang.
"Cepatlah!" teriaknya. "Aku tidak mau bermalam di tempat ini."
Lyra terkejut saat dia sampai di tempat Liam berdiri. Terdapat gua yang sangat luas di belakang air terjun itu.
"Ayo!" kata Liam, melangkah masuk kedalam nya.
"Tunggu. Tempat apa ini?" .
====÷÷÷====