Chereads / ASKARA: Rise of the Dead / Chapter 11 - A S K A R A - 11

Chapter 11 - A S K A R A - 11

Arthur berderap di atas Benteng RottenHall saat matahari berada di atas kepalanya. Ben dan Vollgan mengikuti di belakang, napas mereka terengah-engah, keringat membasi tubuh mereka bertiga. Ini adalah hari yang sangat panas di musim semi yang hangat. Gelombang panas antara kebijakannya menutup gerbang masuk untuk penduduk dari luar perbatasan mengalahkan panasnya matahari. Arthur tidak punya pilihan lain lagi. Dia tidak ingin mengambil risiko sekecil apa pun. Selain untuk melindungi Ibu Kota Kerajaan, dia tidak ingin ada yang membocorkan misi rahasia dari Raja. Dia tidak ingin ada yang menceritakan kejadian kemarin saat monster itu muncul untuk pertama kalinya. Dia juga memerintahkan pasukannya untuk menangkap penduduk yang berhasil melewati perbatasan secara paksa – termasuk pemuda yang melarikan diri dari cengkeramannya.

Dia mencoba menulikan pendengarannya pada jeritan-jeritan penduduk yang tertahan diluar Benteng RottenHall, mereka memohon, meminta belas kasihan agar diizinkan melewati perbatasan. Semenjak kemarin saat Arthur memutuskan untuk menutup gerbang, memerintahkan pasukannya agar menahan para penduduk dari luar perbatasan, mereka terus berdatang dari segala penjuru, berkumpul dari pedesaan-pedesaan di sekitar Provinsi Barat. Mereka berkumpul disini untuk satu alasan. Mengungsi. Berharap dapat berlindung dari monster aneh itu.

Arthur masih sulit memahami tentang kejadian kemarin, dimana salah satu penduduk berubah, dia mati – Arthur sudah menganggap pria tua itu mati. Namun, dia bangkit dari kematiannya, berubah menjadi sosok yang menyeramkan, sosok yang belum pernah dilihatnya di sepanjang hidupnya sebagai ksatria. Arthur menjadi bertanya-tanya tentang misi rahasia yang diberikan kepada kesatuannya. Raja Mathias memang mengatakan dalam suratnya jika peperangan kali untuk membunuh semua monster yang akan mendekati Askara. Namun, dia tidak mengatakan jika monster itu adalah wujud perubahan dari orang mati yang bangkit kembali. Dan ia bertanya-tanya bagaimana monster-monster itu bisa menyerang – masuk kedalam Kerajaan Askara sampai sejauh ini. Tidak pernah ada yang bisa menembus pertahanan di Benteng Andos. Persenjataan di sana lebih kuat ketimbang yang ada di sini, di Benteng RottenHall, ksatria disana pun jumlahnya lebih dari cukup untuk menaklukkan satu negeri.

Arthur merasa tertantang, ia ingin bertemu dengan makhluk itu lagi, kemudian ia akan membunuhnya, dan menggantung kepalanya sebagai trofi.

Arthur berhenti di atas pintu gerbang yang diapit dua menara berbentuk persegi sebagai pusatnya, lusinan ksatria berjaga pada tiap-tiap menara. Arthur berdiri disana, dia mencondongkan tubuh untuk melihat ke bawah pada kerumunan orang yang semakin lama semakin sesak, mereka terus berdatangan dari segala penjuru Askara, dan terus bertambah setiap jamnya.

"Kita harus menghancurkan jembatannya." Kata Vollgan di sebelahnya.

"Untuk apa?" tanya Arthur.

Vollgan berpaling dan menatapnya.

"Apa kau bawa surat dari Raja?" tanyanya.

"Ya." Jawab Arthur, alisnya mengernyit serius. "Apa ada masalah?"

"Sebaiknya kau baca lagi surat itu. Dan kali ini perhatikanlah catatan kakinya."

Arthur menatap Vollgan beberapa saat dengan tanda tanya. Hingga dia melambaikan tangan, memanggil pengawalnya yang membawa semua perlengkapan yang ia butuh kan. Arthur segera meraih tas kulit dari tangan pengawal itu, mengambil gulungan surat raja dari dalamnya. Dia membukanya, membaca tulisan di akhir surat;

[Berhati-hatilah. Makhluk yang kalian hadapi membawa penyakit aneh dan bisa menular hanya dalam beberapa detik. Pastikan kalian menjaga jarak dengan makhluk itu. Gunakan tombak atau panah untuk membunuhnya.]

"Kau tahu penyakit apa yang dimaksud Raja?" kata Ben di sisi satunya.

"Aku sempat bertanya pada Ben." Ujar Vollgan. "Tapi kau pasti sudah tahu jawabannya. Isi kepala si bodoh ini," Vollgan menunjuk Ben dengan dagu, "hanya ada perempuan dan bir. Tidak ada yang lain lagi."

Ben menggerutu.

"Kau Putra Mahkota. Kau yang paling dekat dengan Raja Mathias. Apa kau tahu sesuatu?" tanya Ben.

Arthur masih menatap surat itu.

"Sejujur aku baru tahu jika ada catatan kaki di surat ini," jawabnya. "Aku hanya membacanya sekali, dan saat itu Lyra datang menemuiku. Dia memintaku untuk melatihnya berkuda."

Terdengar desahan kecewa dari mereka berdua.

"Jika kita menghancurkan jembatan itu," kata Arthur. "Bagaimana caranya? Terlalu banyak orang. Dan jika kita tetap melakukannya. Kita akan diseret ke pengadilan kerajaan atas tuduhan pembantaian."

Mereka terdiam untuk beberapa saat yang lama. Hingga ia berpaling saat pasukannya berseru di bawah benteng. Arthur menyeberangi lantai batu, melihat ke bawah pada kesatuannya yang terlibat perkelahian. Tuan Gubernur beserta anak buahnya mencoba melakukan konfrontasi, mereka mencoba membuka gerbang – lagi dan lagi. Dan kali ini Tuan Gubernur datang dengan selusin kekuatan baru, dia membawa pengawal-pengawalnya untuk melawan ribuan pasukan Sicarius. Prajurit-prajurit itu berseru, suara dentingan logam dari pedang mereka beradu.

Arthur merasa tergelitik, ternyata dia lebih bodoh dari dugaannya. Dari jumlah dan persenjataan jelas mereka kalah. Namun, Tuan Gubernur tetap memaksakan kehendaknya.

Dia mendorong ksatria-ksatria yang menghalangi jalannya dan mencoba meraih engkol untuk membuka pintu gerbang. Usaha itu tentu saja sia-sia. Salah satu prajurit berlari kearahnya, meraih bahu Tuan Gubernur dan melemparkannya ke belakang, tubuhnya melayang diudara, dan terhempas dengan keras di atas tanah, dia berguling beberapa kali, terbatuk-batuk.

Arthur sangat menikmati pertunjukan ini. Tetapi ia tak ingin prajuritnya kelelahan.

"Kau tahu apa yang harus dilakukan, Ben." Katanya.

Ben meraih busurnya, dia bersiul, beberapa saat kemudian muncul selusin ksatria lengkap dengan busur dan anak panahnya.

"Sisakan Gubernur untukku. Dan kalian boleh bersenang-senang dengan anak buahnya." Kata Arthur kepada para pemanah.

Mereka mengulurkan tangannya, meraih masing-masing satu anak panah, dan mulai membidik. Anak panah itu terbang diudara, berdesing, dan mengenai leher dan kepala pengawal Tuan Gubernur, mereka semua jatuh ketanah, mati. Tuan Gubernur tergeletak disana, lemas, menatap pengawal-pengawalnya yang sudah tewas, dia batuk saat seseorang menendang perutnya.

"BAWA DIA KE ATAS!" teriak Arthur.

==÷÷==

Arthur berpaling saat ia mendengar suara derap langkah. Dia tersenyum melihat dua orang pasukannya menyeret Tuan Gubernur yang lemas, wajahnya lebam, darah mengalir dari hidung dan mulutnya. Ksatria-ksatria itu berhenti di depannya, masing-masing memegang kedua lengan Tuan Gubernur.

Arthur berlutut, dia mengulurkan tangan dan menarik rambut Tuan Gubernur untuk melihat wajah mengenaskannya, ia ingin menikmati momen ini.

"Aku tidak main-main dengan ucapanku, kan?" Arthur mendesis kepada Gubernur.

"Kau biadab," kata Tuan Gubernur, parau. "Kau membunuh rakyatmu sendiri. Jika aku jadi Raja Mathias, aku akan sangat malu memiliki putra mahkota seperti dirimu."

Arthur terkejut dengan keberanian Tuan Gubernur.

"Oh maaf aku tidak membunuh rakyatku," ujarnya. "Aku hanya membunuh orang-orang tidak berguna seperti dirimu."

Tuan Gubernur tertawa pelan kemudian terbatuk-batuk.

"Kau menghianati kerajaan ini. Kau menghianati rakyatmu. Kau adalah aib bagi keluargamu. Kau adalah iblis bertopeng manusia."

Wajah Arthur memerah karena marah, Arthur mencengkeram kerah baju Tuan Gubernur, menyeretnya hingga ke ujung tembok pembatas.

"Kau benar," kata Arthur, di depan wajahnya. "Tolong sampaikan salamku pada teman iblisku dineraka."

Dia mengangkat tubuh Tuan Gubernur , melemparkannya ke luar melewati pembatas, tubuhnya melayang di udara, dan berakhir di dalam parit, tertusuk paku baja di dalamnya. Kerumunan penduduk terkesiap, mereka berseru karena terkejut. Beberapa orang di bagian depan mencondongkan tubuhnya, melihat kedalam parit yang dalam, mereka terkejut mendapati gubernurnya mati dengan mengenaskan. Itu adalah pemandangan yang mengerikan.

"Jadikan itu sebagai pelajaran bagi kalian." Kata Arthur kepada anak buahnya.

Terompet-terompet saling bersahutan saat Arthur hendak pergi dari tempat itu. Dia bergegas ke tembok pembatas, melihat cakrawala pada cahaya matahari yang menyengat. Kerumunan penduduk berteriak histeris, mereka saling mendorong, beberapa diantara mereka terjatuh ke dasar parit, dan mati tertusuk paku disana. Arthur tidak bisa melihat dengan jelas pada puncak cakrawala, ia hanya melihat awan debu yang sangat pekat bergulung di atas bukit yang tandus, bergemuruh seperti awan badai.

"Vollgan, berikan aku teropongmu!" katanya

Vollgan meraih teropong perunggu dari sabuknya dan segera menyerahkannya pada Arthur.

Arthur meraihnya lalu menarik teropong itu dan mengarahkannya ke mata, dia menutup satu mata dan mengamati awan debu itu. Dia tidak melihat apa-apa disana hingga tiba-tiba ia melihat ratusan atau mungkin ribuan bayangan seperti manusia dari balik awan debu. Arthur mencoba menajamkan matanya. Dia terkejut mendapati salah satu orang keluar dari awan debu dengan wajah yang sudah hancur. Orang itu berlari sangat cepat disusul yang lainnya dari belakang, keluar dari awan debu yang pekat. Mereka berlari menuruni bukit seperti air mengalir dari ketinggian, menabrak apa saja yang ada di hadapannya. Kerumunan semakin histeris tak terkendali saat makhluk itu mulai menampakkannya diri satu per satu.

"MUSUH DIHADAPAN!" teriak salah satu prajurit.

====÷÷÷====