Matahari sudah berada di puncak tertingginya ketika Lyra bisa keluar dari Kubah Perlindungan. Ratu Laurie, Mckenzie dan Luisa di depannya, berikut dengan pelayan-pelayan mereka, berjalan beriringan menaiki tangga batu. Setelah malam panjang yang menegangkan – dimana terompet-terompet dan seruan perang terus dikumandangkan di seluruh istana. Akhirnya Lyra dan semua anggota keluarga kerajaan yang lain dapat menghirup udara luar lagi. Namun, ia tak bisa bergerak bebas, seluruh istana dijaga ketat pasukan gabungan, mereka berjaga di atas tembok kastil, berpatroli dalam jumlah lusinan di koridor istana, dan berjaga di sekitar gerbang istana yang tertutup rapat – serapat mereka menutup mulutnya. Ia belum mendapatkan kabar apa pun tentang pasukan Sicarius, atau bahkan Arthur dari hari keberangkatan mereka. Raja Mathias benar-benar menutupi semuanya dengan sangat rapi, hampir setiap orang di kastil ini tidak ada yang mengetahui, ia sudah mencoba bertanya pada prajurit-prajurit ayahnya. Namun, mereka mengacuhkannya, tidak ada satu pun dari prajurit-prajurit itu yang mengatakan sesuatu tentang pertempuran semalam, mereka terlalu setia.
Lyra hampir terjaga sepanjang malam, memikirkan kembali mimpinya. Berulang kali Shasa menenangkannya, menyuruhnya untuk istirahat walau hanya sejenak. Namun, Ia tak bisa, setiap kali ia menutup mata bayangan-bayangan tentang monster, para ksatria, dan pedesaan di provinsi barat terus saja terlihat. Dan itu membuatnya dilanda rasa cemas yang belum pernah dirasakannya. Ia merasa khawatir jika mimpi buruk itu menjadi kenyataan.
Saat ia berjalan melalui koridor, ia memisahkan diri dari keluarganya, menaiki anak tangga menuju ke kamar, Shasa mengikuti di belakang. Ia sudah tak tahan dengan semua teka-teki ini, ia harus memastikannya sendiri, ia akan mengunjungi tembok Andos di provinsi barat. Tapi bagaimana? Semua istana tertutup rapat – dan ratusan ksatria berjaga-jaga. Ia berpaling dan menatap Shasa sekilas. Jika Shasa memang memiliki hubungan spesial dengan Arthur, akan menjadi malapetaka jika dia sampai tahu rencananya – mungkin dia akan memberi tahu Arthur. Pertama-tama ia harus menyingkirkannya terlebih dahulu.
"Shasa," panggilnya, sembari terus berjalan.
Shasa mendongak, dan berjalan disisinya dengan tergopoh-gopoh.
"Ada yang bisa saya bantu, Putri?" tanyanya.
"Apa kau ingat baju yang aku pakai kemarin?" tanya Lyra.
Dahi Shasa tampak berkerut.
"Apa yang Anda maksud gaun yang Anda pakai saat bertemu dengan tamu kerajaan?"
"Bukan," kata Lyra, berhenti dan berpaling ke arah Shasa.
"Jubah dan celana yang aku pakai saat berlatih kemarin. Apa kau ingat?" tanya Lyra.
Shasa mengangguk.
"Ingat, Putri," jawabnya.
"Aku ingin kau mencucinya sampai bersih."
"Sudah saya lakukan," kata Shasa. "Semalam sebelum saya mendapatkan perintah untuk membawa Anda ke dalam Kubah Perlindungan, saya menyempatkan diri untuk mencucinya. Mungkin sekarang sudah kering di tempat penjemuran. Apa Anda ingin saya mengambilkannya untuk Anda, Putri?"
Tenggorokan Lyra terasa kering, ini tidak seperti apa yang ia harapkan. Ia harus memikirkan cara lain.
"Tapi aku ingin kau mencucinya lagi." Kata Lyra. "Kemarin saat aku berlatih berkuda, aku terjatuh dan pakaian itu terkena kotoran kuda. Mungkin kau tidak mencucinya cukup bersih. Aku tidak tahan dengan baunya. Kau bisa mencucinya lagi, kan?"
"Tapi, Putri –"
"Shasa, aku mohon ..." sahut Lyra, Ia merapatkan kedua telapak tangannya, memohon.
Shasa menarik napasnya dalam-dalam, mendesah, kemudian tersenyum dan mengangguk. Dia tidak bisa menolak keinginan majikannya jika sudah memohon seperti itu, dan itu adalah senjata yang sangat ampuh bagi Lyra.
"Akan saya lakukan setelah menyiapkan sarapan Anda, Putri, " katanya. "Hari sudah siang dan Anda belum memakan apa pun dari semalam. Saya –"
"Tidak perlu!" Lyra memotong.
Sebelum ia berkata-kata lagi, beberapa pelayan laki-laki berjalan di koridor yang sama, membawa satu buah nampan penuh berisi roti gandum yang masih mengepulkan asap.
"Tunggu," panggil Lyra kepada pelayan-pelayan itu.
Pelayan-pelayan itu berhenti dan berpaling ke arahnya, tersenyum lalu menundukkan kepala, memberi hormat.
"Tuanku." Ucap salah satu pelayan berambut putih dan berkeriput.
"Untuk siapa semua makanan itu?"
"Roti-roti ini akan dibagikan kepada para tahanan di sel bawah tanah, Tuanku." Kata pelayan yang lainnya.
"Apa masih ada lagi selain yang ini?" tanya Lyra.
"Tentu, Putri," kata seorang pelayan bertubuh kurus. "Masih ada beberapa loyang lagi dalam pemanggang. Apa Anda ingin kami buatkan satu untuk Anda, Putri?"
"Tidak perlu," kata Lyra.
Ia mengambil satu roti, rasa hangat langsung menjalar di seluruh telapak tangannya saat ia memegangnya. Aromanya begitu nikmat, namun ia tahu rasanya tidak seenak wanginya.
Pelayan-pelayan itu terkesiap saat Lyra memakannya.
"Tuanku," kata pelayan berambut putih. "Itu makanan tahanan raja, rasanya tidak sama dengan roti bangsawan –"
"Sstt ..!" Lyra menaruh jari telunjuknya di bibir.
Pelayan-pelayan itu terdiam, dan Lyra mencoba untuk menelan roti itu di dalam mulutnya.
"Aku tidak punya masalah dengan makanan apapun." Ujar Lyra. "Aku lapar. Dan aku tidak peduli dengan apa yang kumakan. Sekarang kalian boleh pergi."
Pelayan-pelayan itu saling berpandangan, lalu mereka menunduk dan berlalu dari hadapannya.
"Tapi, Putri," kata Shasa. " saya bisa membawakan Anda makanan yang lebih baik. Rasa roti itu ... "
"Hambar dan sekasar jerami?" Lyra menimpali.
Alis Shasa mengernyit saat Lyra mulai memakannya lagi, mengunyahnya tanpa ada masalah.
"Aku sudah tahu rasanya," kata Lyra, setelah menelan roti itu untuk yang ke sekian kali. "Jika ayahku atau Arthur tidak ada saat jam makan malam, biasanya Mckenzie menyuruhku menunggu dikamar dan dia akan mengirim roti-roti seperti ini lewat pelayannya."
"Seharusnya Anda bisa menyuruh saya, Putri. Kenapa Anda baru memberitahu saya."
"Sudahlah," kata Lyra, menyuap lagi rotinya. "Aku sudah biasa dengan perlakuan keluarga ini."
"Terserah Anda, Putri," ucap Shasa, sedih. "Tapi lain kali jika Raja atau Pangeran Arthur tidak ada. Saya sendiri yang akan mengantarkan makanan ke kamar Anda."
Lyra melebarkan senyumnya.
"Aku akan sangat berterima kasih untuk itu," katanya, terharu. "Apa lagi yang kau tunggu. Cepat lakukan tugas yang aku suruh. Aku ingin mengenakannya untuk berlatih saat senja nanti."
Setelah Shasa menghilang dari pandangannya, ia bergegas kembali ke kamar. Ia ingin memastikannya sendiri seperti apa wujud monster itu. ia tidak ingin membuang waktu lagi. Lyra berlari sambil mengunyah roti gandum yang di bawanya, mengabaikan tata kerama kerajaan yang sudah diajarkannya sejak kecil. Saat ia sampai di kamar, hal pertama yang dilakukannya adalah mengganti pakaian – ia masih memakai gaun tidurnya. Lyra menghampiri lemari kayu dengan ukiran rumit, membukanya dan mulai mengacak-acak isinya. Sambil memegangi rotinya menggunakan mulut , ia mencari pakaian yang cocok. Bukan gaun yang dicarinya, melainkan sebuah pakaian yang simpel, yang tidak akan menyusahkan dia saat melakukan perjalanan ke provinsi barat kerajaan.
Namun, apa daya, semua pakaiannya tidak ada yang cocok untuk berkuda. Semuanya berupa gaun cantik nan elegan pemberian ayahnya. Satu-satunya pakaian yang biasa ia gunakan untuk berkuda sekarang sedang di cuci Shasa– ia sendiri yang menyuruhnya tadi, dan ia menyesalinya sekarang. Lyra mengutuki dirinya sendiri, lupa jika tidak banyak pakaiannya yang bisa dipakai untuk berkuda. Ia jarang bepergian dari istana sendirian. Biasanya jika ia ingin pergi ke suatu tempat, pengawalnya akan menyediakan kereta kuda. Namun, sekarang berbeda, istana di jaga ketat, mustahil ia dapat meninggalkan istana dengan keretanya.
Lyra mendapatkan ide gila. Sebuah gagasan yang mungkin akan membuatnya mati di dalam istana. Melody punya banyak pakaian yang biasa di gunakannya untuk bepergian, tapi dia tidak menyukai Lyra, sama seperti kedua saudara lainnya. Dan lebih parah lagi, Melody seorang ksatria, salah satu dari ribuan pasukan elite di Kerajaan Askara. Dia bisa membunuh Lyra hanya dengan satu kali gerakan. Namun, sudah tidak ada cara lain, ia akan mengambil salah satu pakaian Melody dan akan mengembalikannya sebelum dia mengetahuinya.
Lyra melangkah keluar kamar sambil menyapukan pandangannya ke sekeliling, waspada. Ia tidak mau ada yang melihatnya masuk ke kamar Melody. Jarak antara kamar dirinya dengan Melody tidak terlalu jauh, bukan hal yang terlalu sulit untuk Lyra menyelinap ke kamarnya.
Lyra sampai di depan pintu kayu Ek dengan pegangan besi yang sama persis dengan pintu kamarnya. Nyali Lyra mendadak ciut. Ia dapat merasakan dadanya yang terasa sesak akibat jantung yang berdebar dua kali lebih cepat. Lyra menggigit bibir bawahnya, ia khawatir jika Melody ada di dalam kamarnya.
Ia membulatkan tekat, kembali ke kamar juga bukan pilihan yang tepat.
Lyra mengintip dari celah pintu kamar Melody yang sedikit terbuka. Ia mendesah, lega, mengetahui Melody tidak sedang berada di kamarnya. Ia membuka pintu lebar-lebar dan masuk kedalam , menutup pintunya perlahan agar tidak ada seorang pun yang mendengarnya. Kesan pertama saat Lyra melihat kamar Melody adalah takjub. Bukan kamar seorang wanita bangsawan melainkan kamar seorang pejuang.