Chereads / ASKARA: Rise of the Dead / Chapter 6 - A S K A R A - 6.

Chapter 6 - A S K A R A - 6.

"Lantas takdir apa yang kau inginkan?" tanyanya dengan suara datar yang sama.

....

"Saya ...." Lyra memutar otak, berpikir tentang apa yang ia inginkan bagi masa depannya. Yang jelas ia belum ingin menikah, apalagi dengan pemuda itu.

"Tuan Putri" Kata Dwine, kursi berderit ketika dia berdiri. "Anda tidak perlu khawatir dengan –"

"Apa saya mengizinkan Anda berbicara??." Sahut Mathias, Dia mengetukkan tongkat emasnya ke lantai batu, menatap Dwine seperti singa yang kelaparan.

Dwine kembali duduk, nyalinya mendadak ciut. Wajahnya pucat ketika ia menunduk. Semua yang hadir juga melakukan hal yang sama, menunduk. Mereka tahu bahwa Raja Mathias sedang murka. Lyra merasa bersalah akan hal itu, ia tidak bermaksud membuat ayahnya marah. Ia menyayangi ayahnya lebih dari apa pun.

"Apa yang kau inginkan, Lyra?" Ulang Mathias, suaranya meninggi satu oktaf.

Lyra semakin gugup, ia bergerak-gerak gelisah dengan tangannya, mencoba berusaha lebih keras, memikirkan takdir apa yang ia inginkan untuk masa depannya. Namun, sekeras apa pun ia berusaha, tak ada satu pun gagasan yang terlintas di kepalanya, ia tidak pernah memikirkan masa depan. Baginya, hidup adalah misteri, ia tak mau terbebani karena terlalu ambisius mengejar kehidupan dimasa yang akan datang, Lyra lebih suka menjalani hidupnya apa adanya, tidak melebih-lebihkan dan membiarkannya mengalir begitu saja. Tetapi jika ia bisa memilih, ia hanya menginginkan satu hal; yaitu hidup seperti orang normal, bukan sebagai putri Raja, ia hanya menginginkan kehadirannya diterima oleh orang-orang di sekitarnya..

"Jika kau tidak segera memutuskan," Mathias berkata, "itu artinya kau setuju untuk menikah dengan –"

"Ksatria!" Sahut Lyra, sekenanya. "Saya ingin bergabung dengan ksatria raja."

Semua memandangi Lyra, ruangan besar itu menjadi sunyi. Hingga suara tawa raja menggelegar diikuti yang lainnya. Mereka semua menertawakannya.

"Lelucon yang sangat bagus, Lyra," ucap Mckenzie, mengejek. "Kau bilang ingin menjadi ksatria? Kau bahkan tidak berani membunuh seekor tikus."

Mckenzie kembali tergelak. Semua orang tertawa terbahak-bahak.

Lyra merasa wajahnya memerah, malu.

"Dia bahkan seratus kali lebih tangguh dari kalian semua." Muncul sebuah suara yang lembut, sebuah suara yang selalu menenangkannya. Suara yang sangat akrab ditelinganya.

Semua orang mendadak terdiam, memandang ke arah sumber suara di belakang barisan para pengawal kerajaan.

Xena. Dia berdiri disana, menatap kaki langit melalui jendela besar yang terbuka. Dia membalikkan tubuhnya, melangkahkan kakinya melewati para lelaki yang menatapnya dengan penuh rasa kagum.

"Apa maksudmu Xena?" tanya Mathias, ketika Xena sudah berdiri di sisi Lyra. "Apa kau melihat takdirnya sebagai ksatria?"

"Takdirnya bahkan melampaui apa yang bisa Anda bayangkan, Yang Mulia." Jawab Xena.

"Omong kosong!" Kata Mckenzie, berdiri, menghadap ayahnya. "Ayah apa kau akan percaya begitu saja pada ramalan nenek sihir ini? Lyra tidak ditakdirkan untuk terjun di medan perang, dia tak lebih dari wanita yang lembut. Dan takdir Lyra yang sebenarnya adalah menikah dengan Dwine."

"Apa kau meragukan kemampuanku?" Xena menatap Mckenzie dengan tatapan mengejek. "Saat pertama kali aku melihat takdirmu. Sungguh, aku sangat kasihan pada masa depanmu. Kau adalah sebuah kegagalan. Bagiku kau hanya seonggok daging murahan yang berjalan di atas tanah."

Lyra melihat wajah kakaknya menjadi gelap, karena marah.

"Kau," seru Mckenzie, menunjuk ke wajah Xena. "Beraninya kau menghina bangsawan. Aku akan –"

"DIAM!" bentak Mathias.

Mathias berdiri perlahan, menggenggam tongkat emasnya.

"Kata-kata Xena sudah cukup untukku. Dan untuk kalian," katanya, menatap para bangsawan dari Negeri Matahari Terbit, "silahkan tinggalkan tempat ini. Perjanjian kita telah di batalkan."

Ruangan itu meledak dengan gumaman marah.

"Tidak bisa!" kata salah satu bangsawan, berdiri, marah.

"Anda telah menghina kami!" seru yang lainnya.

Tiba-tiba saja ruangan itu meledak dalam kemarahan. Para bangsawan berseru, memaki Raja Mathias.

"Yang Mulia," kata Dwine, "Anda tidak bisa membatalkan kesepakatan kita begitu saja. Kami sudah mengirimkan setengah barang ke kerajaan ini."

"Dan mengapa saya tidak boleh melakukannya?" Raja Mathias mendesak. "Disini sayalah Rajanya. Penguasa sah Negeri Askara. Saya bisa melakukan apa pun yang saya mau. Sekarang pergilah dari hadapanku. Waktu kalian hanya sampai matahari terbit, jika sampai saya melihat kalian masih berada di Askara sampai matahari sudah menampakkan cahaya pertamanya. Kalian tahu akibatnya."

Raja Mathias mengetukkan tongkatnya ke lantai batu. Seketika itu juga pasukan pengawal kerajaan mencabut pedang dari sarungnya. Bunyi berdesing menggema di seluruh aula. Para bangsawan itu memandang ke sekeliling, terkejut. Khususnya Dwine. Ia menatap sang raja dengan tidak percaya.

"Yang Mulia, apakah Anda tahu. Tindakkan anda bisa merusak hubungan kerja sama kita."

"Saya tidak peduli," Jawab Mathias, datar. "Pergilah, sebelum waktu kalian habis."

=*=

Aula itu sekarang menjadi lenggang. Hanya ada Lyra, Raja Mathias, Ratu Laurie, Mckenzie dan tentu saja Xena masih berada di sisinya.

"Baginda," Kata Ratu Laurie, dengan suara selembut mungkin. "Apa yang Anda lakukan? Ini satu-satunya kesempatan bagi Lyra untuk menikah dengan seorang bangsawan. Tentu Anda tidak lupa dengan status Lyra, bukan? Tidak akan ada bangsawan di kerajaan ini yang mau menerimanya sebagai pengantin."

Raja Mathias tidak menjawab, dia memijat pangkal hidungnya.

"Pergilah," kata Mathias, muram. "Tinggalkan aku bersama Lyra dan Xena."

"Tapi ayah .." Sahut Mckenzie.

Mathias mengangkat wajahnya, melotot kearah Mckenzie, marah. Dia mengetukkan tongkat emasnya lagi, pertanda dia sedang tidak ingin berdebat.

Ratu Laurie dan Mckenzie beranjak pergi di ikuti pelayan-pelayan mereka. Saat Mckenzie berjalan, mendekat kearahnya. Lyra bisa merasakan kebencian Mckenzie dari tatapannya – kebencian yang lebih dalam daripada sebelumnya. Hingga ketika Dia melewatinya dia berbisik:

"Kau membuat keputusan yang salah!" bisiknya.

Mereka berlalu, pintu aula tertutup di belakang mereka.

"Apa yang sebenarnya kau lihat dari Lyra?" tanya Mathias kepada Xena.

"Sesuatu yang sangat besar ada di genggamannya," jawab Xena. "Sesuatu yang tidak di miliki kakak-kakaknya."

"Dan apakah itu?" Tanya Mathias, penasaran.

"Lyra belum siap," ujar Xena, "tidak akan ada gunanya aku memberi tahunya sekarang."

"Kenapa?" tanya Lyra. "Apa bedanya sekarang atau nanti?"

"Terlalu berbahaya untuk nyawamu. Untuk saat ini kau harus bergabung dengan para ksatria, kau harus bisa mempertahankan dirimu sendiri. Dan saat waktunya tiba, takdir itu yang akan datang kepadamu dengan sendirinya." Kata Xena.

"Apa Lyra mempunyai musuh di kerajaan Askara?" Tanya Mathias, serius. "Katakan kepadaku siapa orangnya. Dan akan aku kirimkan pasukan terbaik untuk membunuh siapa saja yang berani menyentuh putriku."

Xena tersenyum, tidak menjawab, ia berbalik, melangkah pergi dari hadapan mereka.

"Xena kau tidak menjawab pertanyaan ayahku." Kata Lyra, membalikkan tubuh.

Namun saat ia melakukannya, ia tidak menemukan siapa pun kecuali pintu masuk aula yang masih tertutup.

Xena sudah pergi, menghilang seperti yang biasa dilakukannya.

===÷÷===