Chereads / ASKARA: Rise of the Dead / Chapter 5 - ASKARA - 5.

Chapter 5 - ASKARA - 5.

Lyra duduk di sebuah kursi beludru berwarna kuning dan merah dengan ukiran-ukiran rumit pada setiap sudutnya. Memakai gaun biru lengkap dengan riasan di wajahnya. Ia merasa takjub ketika ia melihat pantulan dirinya di cermin saat berada dikamar, ia merasa menjadi orang yang berbeda, merasa lebih menarik daripada biasanya, dan ia sangat menyukai hasil karya perias kerajaan, mereka melakukan tugasnya dengan baik.

Namun, jika ia dirias hanya untuk menyambut tamu politik kerajaan ayahnya, ia tidak menyukainya. Ia merasa di tipu. Pasukan pengawal yang menjemputnya di arena Jawara mengatakan kalau tamu ayahnya sangat penting, tamu yang datang dari kalangan kerajaan Matahari Terbit. Tapi ternyata mereka hanya sekumpulan bangsawan biasa, bukan anggota keluarga kerajaan, sekelompok saudagar kaya yang melakukan transaksi jual-beli dengan kerajaannya.

Lyra menyesal telah datang ke tempat ini, duduk saling berhadapan dengan para bangsawan yang memakai rambut palsu berwarna putih, jumlah mereka lusinan, dan mereka membawa beberapa pengawal pribadi. Tubuh mereka gemuk – beberapa diantara mereka juga ada yang kurus. Suara mereka parau ketika mereka berbicara, dan tawa mereka menggelegar di udara. Ia tak suka berada disana, duduk dengan orang yang tak dikenalnya. Ia bergerak-gerak dengan gelisah, merasa tak nyaman berada di ruangan yang luas dengan langit-langit katedral, ruangan itu di terangi obor, lilin, dan lampu minyak dengan balutan emas yang menggantung di tengah-tengah ruangan itu.

Lyra duduk disana, hanya mendengarkan mereka berbincang-bincang dengan Ratu Laurie di sisi kanannya, dan kakaknya Mckenzie duduk disisi kirinya. Bagi Lyra pembicaraan mereka sangat membosankan. Namun anehnya, Mckenzie terlihat sangat tertarik dengan percakapan mereka. Dia adalah pria berambut keriting berwarna hitam, kulitnya putih pucat, dan matanya berwarna gelap seperti milik Arthur. Dia terlihat begitu akrab dengan pria yang duduk tepat di depannya, seolah-olah dia sudah mengenalnya sejak lahir ke dunia.

"Anda tidak perlu khawatir tentang kerja sama kita," kata Ratu Laurie kepada pria gemuk di depan Lyra. "Kalian tidak akan kecewa karena sudah berbisnis dengan keluarga saya."

Bangsawan-bangsawan itu saling memandang satu sama lain, berbisik, tersenyum dan mengangguk.

"Apa itu artinya kesepakatan kita sudah disetujui Raja?" tanya si pria gemuk.

"Oh tentu saja," jawab Mckenzie. "Aku sendiri yang mengantarkan surat anda kepada Raja. Dan bisa aku pastikan bahwa ayahku sangat setuju dengan permintaan anda. Dia adalah Raja yang selalu menepati janji." Mckenzie berpaling dan menatap Lyra, berkata: "Benarkan Lyra?"

Semua orang menatap Lyra.

Ia hanya tersenyum – sebuah senyuman palsu. Tidak ada sedikit pun di benak Lyra untuk ikut campur urusan kakaknya, ia tidak tahu dan tidak mau tahu urusan Mckenzie. Ia sudah cukup muak untuk duduk disana, dan ia berharap agar hari ini cepat berlalu, agar orang-orang berambut aneh itu cepat pergi dari kerajaannya.

Ia merasa jijik dengan tatapan penuh nafsu dari bangsawan di depannya. Pria itu masih berbincang dengan Mckenzie, tetapi matanya terus menatap Lyra tanpa berkedip, seolah-olah Lyra adalah santapan yang sangat lezat. Lyra tidak mengenal siapa dia, orang itu bukan anggota keluarga kerajaan dari Negeri Matahari Terbit. Lyra mengira-ngira umurnya, mungkin sekitar dua puluhan – atau lebih mungkin. Wajahnya bulat, dengan leher yang berlipat-lipat, perutnya buncit seperti wanita hamil. Ia pernah beberapa kali ikut ayahnya berkunjung ke kerajaan NMT (Negeri Matahari Terbit) , tapi ia belum pernah sekali pun bertemu dengan orang yang berada di hadapannya.

Lyra memalingkan wajahnya, ia merasa perutnya mual jika harus berlama-lama bertatap muka dengan pria itu. Ia memandangi singgasana ayahnya. Sebuah kursi kuno dengan balutan emas, beludru merah menyala sebagai bantalan dan tempatnya bersandar. Tempat itu kosong, ayahnya tidak ada disana. Ia tidak tahu ayahnya berada dimana. Ia belum berjumpa dengan ayahnya sepanjang hari ini. Dalam hatinya Lyra masih bertanya-tanya hal yang sama sejak pertama kali ia memasuki ruangan itu, ia tidak tahu untuk apa ia berada di sini . Memakai gaun dan riasan wajah yang cantik hanya untuk menyambut saudagar kaya? Sungguh menyebalkan.

Lyra tersentak dari pikirannya sendiri saat tiba-tiba pintu aula terbuka, seketika ruangan yang tadinya ramai menjadi sunyi, semua bangkit berdiri, berpaling ke arah pintu masuk . Disana, ayahnya, Raja Mathias ke-14 memasuki aula di ikuti selusin penasihatnya dari belakang. Dia – ayahnya – terlihat gagah dengan jubah raja berwarna merah, mahkota emas berlapis batu permata ruby dan safir bertengger dikepalanya, bertubuh tambun dengan rambut dan janggut berwarna kelabu. Bunyi gemerincing dari tongkat emasnya menggema ke seluruh ruangan ketika dia berjalan. Semua yang hadir di aula itu mengangkat tangan kanannya, dan meletakkannya di dada kiri seraya menunduk ketika raja berjalan ditengah-tengah mereka.

Mathias naik ke singgasananya, penasihat-penasihatnya duduk di sisi kanan-kirinya. Dia melambaikan tangan, memberi isyarat kepada yang lain untuk duduk.

"Mulailah!" Perintah Mathias dengan suara berat, "Aku masih memiliki urusan kerajaan yang harus di selesaikan."

Salah seorang perwakilan dari negeri Matahari Terbit berdiri. Memakai rambut palsu putih keriting, dengan jubah berwarna hijau.

"Tuanku Yang Mulia," katanya, memulai. "Seperti yang sudah di sampaikan majikan saya melalui surat. Kedatangan kami kemari ingin membicarakan tentang kerja sama kita. Kami sudah menyiapkan besi dan baja dengan kualitas terbaik yang kami miliki dalam jumlah besar. Dan sebagai imbalan dari kesepakatan kita ..." dia berpaling dan menatap seseorang di hadapan Lyra. Pria itu tersenyum. "Dengan segala hormat, kami ingin Anda bersedia untuk menikahkan majikan saya, Tuan Dwine. Dengan anak bungsu, Yang Mulia. Putri Lyra." Dia menambahkan sembari menatap Lyra

Mata Lyra terbelalak, terkejut.

"Apa katamu?!" tanyanya, marah.

Lyra bangkit berdiri , mendongak, menatap ayahnya yang duduk di singgasananya.

"Ayah," kata Lyra, "apa-apaan ini? Apa ayah baru saja menjualku? Kenapa ayah tega melakukannya? Mengapa bukan Melody atau bahkan Mckenzie saja yang menikah dengan pria itu."

"Lyra," ujar Ratu Laurie, dengan suara lembut yang dibuat-buat. "Ayah tidak menjualmu. Ini adalah hadiah untukmu. Beliau ingin kau mendapatkan seorang pengantin dari kalangan bangsawan."

"Itu benar Lyra," timpal Mckenzie, "alasan ayah memilihmu terlebih dahulu karena ayah tahu kau butuh pelindung, kau butuh seorang – "

"Aku bicara kepada Raja," Kata Lyra, menatap Mckenzie. "Apa kau Rajanya disini??"

Lyra terkejut atas keberaniannya, tubuhnya sudah dikuasai amarah. Ia melihat wajah ratu dan kakaknya memerah, marah. Ia tahu, ia baru saja memancing seekor rubah keluar dari sarangnya – tapi ia tak peduli. Ia sudah menghabiskan hidupnya di bawah tekanan mereka, dan jika ia ingin bebas, mungkin inilah saatnya.

Dia sendiri tak tahu mengapa mereka tidak pernah menyukai Lyra. Jika Arthur sangat menyayanginya, maka mereka adalah kebalikannya. Ratu dan Mckenzie sangat membenci Lyra. Dan sudah bisa dipastikan bahwa pertemuan ini merupakan kesepakatan mereka berdua.

"Lyra," ucap Mathias lembut. Lyra berpaling menatap ayahnya, "Ayah hanya menginginkan yang terbaik untukmu – "

"Yang terbaik untukku bukanlah menikahi pria gendut itu!" Seru Lyra.

Semua terkejut. Bahkan Lyra sendiri lebih terkejut daripada sebelumnya. Ia terkejut bukan karena menghina bangsawan itu. Namun, karena ia telah berani memotong ucapan ayahnya, ia melukai wibawa sang raja, dan itu adalah kesalahan yang sangat fatal.

"Lalu apa yang terbaik untukmu?" tanya Mathias, suaranya berubah menjadi datar, menantang balik.

Lyra merasakan perubahan suasana yang sangat ekstrem, ia merasakan kemarahan ayahnya memenuhi aula itu.

"Maafkan saya Yang Mulia," kata Lyra, ketakutan. "Saya tidak bermaksud lancang. Saya hanya merasa ini semua tidak adil untuk saya. Anda memberikan pilihan takdir untuk kakak-kakak saya. Mereka menjalani hidup dengan apa yang mereka pilih. Mengapa saya tidak diberikan pilihan yang sama?."

Raja Mathias menyipitkan matanya. Dahinya mengerut.

"Lantas takdir apa yang kau inginkan?" tanyanya dengan suara datar yang sama.

===÷÷===

-Bersambung-