Arthur menoleh saat ia merasakan pundaknya ditepuk seseorang.
==÷÷==
"Apa ada sesuatu yang aku lewatkan?" tanya orang itu.
Vollgan menghentikan tawanya, ia berpaling dan menatap orang itu. Pria itu seumuran dengan Vollgan, hidungnya mancung dengan kumis tebal, rambutnya yang berwarna coklat botak di bagian depan, matanya sipit cekung kedalam. Dia Ben. Ben Duduk di sisi satunya, sembari memangku helm besi, keringat mengalir dari dahinya, dia tampak kelelahan, napasnya tersengal-sengal, namun wajahnya seperti merasa puas.
"Oh .. lihatlah siapa yang datang," kata Arthur, mengejek. "Lembu yang hilang sudah kembali ke kawanannya."
Arthur dan Vollgan tertawa terbahak-bahak.
Ben mengangkat bahunya.
"Setidaknya lembu ini sudah mendapatkan kesenangan." Balasnya.
"Kesenangan?" Ulang Vollgan. "Apa kau baru saja mendapat rumput segar?" Vollgan masih menggodanya.
"Memangnya kau dari mana?" Tanya Arthur.
Ben tersenyum, menampakkan gigi palsunya yang berwarna emas.
"Sudah kubilang," katanya, "aku pergi untuk sebuah kesenangan."
Arthur dan Vollgan memandanginya dalam kesunyian, heran, tidak mengerti dengan apa yang di ucapkan sahabatnya.
"Ada beberapa pelayan wanita di dalam menara benteng," Ben menambahkan. "Dan aku mendapatkan kepuasan dari mereka." Ben tersenyum, mengejek.
"Sialan kau Ben!" Seru Vollgan, kemudian melemparkan kantung minumnya ke arah Ben.
"Kau bersenang-senang tanpa mengajak kami." Tambahnya, kesal.
Kini Ben yang terpingkal-pingkal sembari mencoba menghindari pukulan demi pukulan yang Vollgan berikan.
Arthur mendesah, ia sudah bosan melihat kelakuan kedua saudara Sicarius nya. Mereka pria dewasa, prajurit mulia kerajaan. Namun, lain halnya jika mereka berdua di pertemukan dengan wanita dan bir. Mereka akan saling berebut seperti anak kecil dan saling memukul seperti para wanita.
Saat Arthur duduk disana, ia melihat sekelompok burung yang berhamburan terbang di cakrawala, burung-burung itu berasal dari hutan di luar tembok RottenHall, mereka terbang melewati tembok, berkelompok dan terbang di atasnya. Arthur berdiri, di sisinya Ben dan Vollgan melalukan hal yang sama begitu pula pasukannya. Mereka mendongak, melihat dengan keheranan kawanan burung yang terbang di atas mereka, seolah-olah mereka sedang terburu-buru menghindari sesuatu.
"Ada yang tidak beres," kata Vollgan, disisinya.
Arthur juga berpikir hal yang sama, jiwa ksatria nya mengatakan sesuatu, sesuatu yang sering dirasakannya saat di medan pertempuran, ia sudah terlatih dengan intuisinya, dan ia tahu jika ada bahaya yang sedang mendekatinya. Saat Arthur memandangi cakrawala, tiba-tiba saja terjadi keributan di gerbang benteng, penduduk dari luar benteng lari dengan tergesa-gesa, memasuki gerbang tanpa melalui pemeriksaan. Arthur berlari, mendorong beberapa prajurit di depannya, Ben dan Vollgan mengikuti di belakang. Saat ia sampai, ia langsung menarik salah satu penduduk, seorang pemuda kurus dengan wajah ketakutan, Arthur mencengkeram bajunya.
"Apa yang terjadi?" katanya.
"Mereka datang ..." kata si pemuda, ketakutan . "Mereka ... mereka ..."
"BICARALAH YANG JELAS!" Teriak Arthur. Prajurit -prajurit lainnya mencoba menahan penduduk desa yang mencoba menerobos masuk dengan paksa hingga terjadi adu mulut antara penduduk dan pasukannya.
"Ada apa ini?" Tanya seseorang.
Arthur menoleh dan melihat Gubernur kota Artanum berdiri dengan napas terengah-engah.
"Mereka datang!" kata si pemuda, masih ketakutan.
"SIAPA?!" tanya Arthur tidak sabar.
Di saat yang bersamaan muncul seorang lelaki tua jatuh disisi mereka, dengan kejang-kejang, matanya terbelalak, dan napasnya megap-megap seperti ikan yang kehabisan air, prajurit-prajuritnya terkejut, mereka mundur beberapa langkah. seorang wanita muda menangis histeris sambil memanggil-manggil lelaki tua itu, menatap sekelilingnya, meminta bantuan. Pemuda yang dicengkeram Arthur menghentakan tangannya dan melarikan diri.
Saat Arthur hendak mendekatinya, Lelaki tua itu langsung berdiri, tubuhnya mengejang beberapa kali, kepalanya mendongak, menatap ke atas langit. Semua terkejut, begitu pula dengan si gadis muda itu.
"Ayah?" Kata si gadis, berdiri mencoba meraih bahunya.
Lelaki tua itu berpaling, dan betapa terkejutnya gadis itu saat melihat sosok yang di panggilnya ayah, Arthur sama terkejutnya – begitu pula prajuritnya. Lelaki tua itu berubah, wajahnya pucat, bola matanya berwarna putih menyeramkan. Lelaki tua itu menyeringai dan seketika itu juga cairan hitam kental keluar dari mulutnya. Gadis itu mundur beberapa langkah, ketakutan dan terus menangis sembari memanggil-manggil ayahnya. Tiba-tiba lelaki tua itu berlari kearahnya, dan gadis itu menjerit. Arthur bergegas ke depan gadis itu, mencabut pedangnya, dan dalam satu kali gerakan pedangnya memotong leher lelaki tua itu hingga kepalanya terpisah dari tubuhnya, kepalanya menggelinding dan debu beterbangan saat tubuhnya jatuh ketanah. Gadis itu menjerit lalu pingsan seketika.
"Amankan dia!" perintah Arthur, menunjuk gadis muda itu. "Aku butuh semua informasi yang diketahuinya."
Beberapa prajurit membopong tubuh gadis itu.
"TUTUP GERBANGNYA!" teriak Arthur kepada pasukan pengawal.
"Tidak!" kata Gubernur . "Masih ada penduduk yang bisa kita selamatkan."
"Apa kau tidak melihat itu!" Seru Vollgan. Menunjuk jasad tanpa kepala.
"Tidak semua orang berubah seperti itu." Balas sang Gubernur. "Lagi pula akulah gubernurnya, dan ini kotaku. Kau tidak-"
"DAN AKULAH PUTRA MAHKOTANYA!" Arthur berteriak. Semua orang terkesiap, pun dengan sang Gubernur. ia melihat wajah Gubernur menjadi pucat.
"Mulai saat ini kota ini akan kami ambil alih, ." Ben mengancam, mengarahkan belatinya pada leher sang Gubernur. "Itu adalah hukum Raja. Apa kau tidak tahu itu?"
Arthur menghunuskan pedangnya kearah pasukan pengawal yang diam mematung disisi gerbang, darah menetes dari mata pedang itu.
"Aku tidak akan mengatakannya dua kali," kata Arthur, mengancam. "Dan kalian akan tahu konsekuensinya jika tidak mematuhi perintahku."
===***===