Chereads / ASKARA: Rise of the Dead / Chapter 3 - ASKARA -3

Chapter 3 - ASKARA -3

Arthur duduk di sebuah batu di pinggir sungai dekat dengan perbatasan benteng RottenHall, menegak dengan rakus minumannya dari kantung kulit yang ia bawa. Di temani suara gemercik air sungai, ia merasakan jiwanya kembali pulih saat air itu mulai mengalir melalui bibirnya dan meluncur dengan cepat ke tenggorokannya. Ia merasa lega saat semua air dalam kantung kulit itu sudah habis. Saat Arthur menghirup udara dalam-dalam, aroma pepohonan di musim semi memenuhi paru-parunya, dan untuk pertama kalinya di hari melelahkan ini, ia bisa merasakan ketenangan di tubuhnya. Perjalanannya masih sangat panjang, masih ada dua sampai tiga hari lagi untuk mencapai tembok Andos. Ia masih sanggup untuk melanjutkan perjalanan sampai beberapa ratus mil jauhnya, tapi tidak dengan pasukannya, mereka tampak kelelahan, memakai baju zirah baja yang sangat berat, ditambah beban persenjataan yang mereka bawa.

Arthur berpaling dan melihat sekitar, di bawah cahaya jingga kemerah-merahan, saudara-saudara seperjuangan nya juga melakukan hal yang sama - meminum air dan beristirahat dari perjalanan panjang mereka.

Sudah satu hari penuh mereka berkuda – beberapa diantara mereka juga ada yang berjalan kaki. Melewati beberapa desa, jalan rusak berlumpur, dan melewati jalan kecil di hutan pinus, hingga akhirnya mereka bisa mengistirahatkan otot-ototnya sementara di benteng kuno itu. Sebuah tempat yang dekat dengan kota Artanum. Kota kuno yang terkenal dengan kain sutranya di seluruh dataran Askara. Kota itu di kelilingi tembok RottenHall yang membentang, naik dan turun melewati perbukitan. Tembok batu dengan lebar dua puluh kaki dan lima puluh kaki tingginya. Benteng RottenHall merupakan tembok terpenting bagi kerajaan Askara, dimana tembok ini merupakan pertahanan terakhir sebelum masuk ke Ibu Kota Kerajaan.

Benteng itu dikelilingi sebuah parit yang dalam, terdapat paku baja tajam di dasar parit itu, jembatan batu melengkung sebagai penghubungnya. Dulu, ia sering mengunjungi benteng ini – saat menjadi prajurit aplusan, sebelum dia di angkat sumpah sebagai pemimpin Panglima Tiga Serangkai. Arthur masih ingat betul semua seluk-beluk di benteng itu, jalan-jalan rahasianya yang terletak di bawah tanah, dan barisan meriam tersembunyi di dalam perut benteng. Semua tentang benteng kuno itu sudah berada di kepalanya sejak dia pertama kali bertugas sebagai prajurit aplusan.

Arthur mendongak, melihat ke atas tembok itu. Prajurit-prajurit dari pasukan pengawal dan sebagian anak buahnya sudah berjaga di atas benteng, mengawasi sisi lain yang berlawanan. Memegang busur yang anak panahnya sudah siap ditembakkan. Mereka terlihat sangat siap untuk sebuah pertempuran. Arthur melihat kewaspadaan di wajah mereka, dan itu membuatnya bertanya-tanya tentang kabar yang ia dapatkan di hari-hari sebelumnya, tentang misi rahasia yang diberikan Raja Mathias kepada pasukannya.

Ia teringat kembali ucapan Lyra sesaat sebelum ia dan pasukannya berangkat. Tentang mimpi buruk adik bungsunya, yang mengatakan jika ia tidak sedang menghadapi pertempuran biasa, bukan serangan dari kerajaan diluar Askara, melainkan serangan para monster. Sejak kecil, Arthur sangat sering mendengar cerita-cerita tentang legenda monster -atau makhluk apa pun itu, yang sejak zaman leluhurnya sudah menyerang kerajaannya, menyerang seluruh dunia tanpa ada belas kasihan, menularkan sebuah wabah yang tidak bisa di sembuhkan. Namun tidak ada bukti, dan dia tidak pernah mempercayai makhluk legenda itu. Ia sudah melewati banyak pertempuran, melewati banyak wilayah di luar kerajaan, kota-kota jauh yang tak terjangkau pasukan mana pun, hingga ke dusun terpencil untuk memperluas kerajaan ayahnya. Namun, ia tidak pernah bertemu dengan makhluk apa pun yang membuatnya ketakutan – melebihi rasa takutnya pada kekalahan. Ia sangat membenci kekalahan, itu membuatnya merasa seolah-olah ia adalah seorang ksatria yang gagal. Oleh karena itu dia bersumpah pada nyawanya sendiri, untuk memenangkan pertempuran kali ini. Ia tidak peduli pada makhluk apa pun yang akan menyerangnya, ia akan membunuh siapa saja yang berani menyentuh tanah kelahirannya.

Arthur duduk disana, berpaling dan memandang ke belakang bahunya, pasukannya duduk disana, berkelompok membentuk lingkaran . Mereka semua berwajah muram, kelelahan, tidak ada aura ketakutan di wajah mereka, dan Arthur senang melihat mereka seperti itu – dan sudah seharusnya mereka terlihat seperti itu. Itulah yang di harapkannya. Kesatuan Sicarius memang terlatih untuk maju ke barisan terdepan jika terjadi peperangan atau bertahan, melindungi kerajaan dari bahaya seperti saat ini. Mereka adalah pemuda dusun yang dipilih secara selektif pada tiap-tiap tahun perekrutan, ditempa siang dan malam. Dan pada akhirnya hanya yang terbaik dari yang terbaik yang akan mendapatkan kehormatan bisa bergabung dengan kesatuan Sicarius.

Sapuan mata Arthur terhenti pada sekelompok prajurit yang duduk bersandar pada dinding batu benteng, terdiri dari dua puluh orang, mungkin lebih. Mereka adalah prajurit muda, usianya masih sekitar enam belas tahunan, Arthur dapat mencium bau ke amatir-an menguar dari tubuh mereka. Bocah-bocah itu, baru beberapa hari yang lalu mereka lolos dari pelatihan dan bergabung dengan keluarga besar Sicarius. Arthur dapat melihat rasa takut tercetak dengan jelas di wajah mereka. Bahkan Arthur dapat melihat tangan mereka bergetar, ketakutan.

Arthur memakluminya. Namun, ia tidak merasa kasihan sedikit pun terhadap mereka. Ia tahu sebagian dari mereka ada yang belum pernah melihat pertumpahan darah, bergabung dengan para ksatria di medan pertempuran yang sesungguhnya. Itu sudah terlihat dengan jelas pada salah satu pemuda kurus yang duduk sembari terus memegang tombaknya dengan sangat erat, seolah-olah tombak itu adalah sebongkah berlian yang sangat berharga. Wajah pemuda itu pucat, entah itu memang karena warna kulitnya atau dia berwarna kulit seperti itu karena ketakutan. Arthur tidak peduli. Dia adalah aib bagi kesatuannya, pasukannya tidak boleh ada yang menampakkan wajah ketakutan, sedangkan dia? Pemuda kurus itu seolah-olah membagikan rasa takutnya kepada rekan-rekan seperjuangannya.

"Apa kau kenal siapa mereka?" Muncul sebuah suara parau yang di kenalnya.

Arthur berpaling dan menatap Vollgan yang sudah duduk di sampingnya. Pria berkulit coklat dengan rambut dan janggut kusut berwarna gelap, tubuhnya tegap dan telinga kirinya cacat akibat luka di medan pertempuran. Umur Vollgan sekitar 24 tahun, tetapi wajah Vollgan menua terlalu dini akibat terlalu banyak mengonsumsi alkohol dan tembakau.

"Ya," Arthur menjawab, dan kembali memandangi kelompok itu. "Prajurit muda. Baru beberapa hari yang lalu mereka disematkan lencana Sicarius oleh raja."

"Daging segar yang nikmat." kata Vollgan, mengejek bocah-bocah itu.

Arthur tersenyum, ia membalik badan, kembali memandangi air sungai, air nya berkilauan ditimpa cahaya senja.

"Sepertinya kau mendapatkan mainan baru setelah pulang dari misi ini." Katanya.

"Sepertinya tidak," Kata Vollgan. "Nama mereka hanya akan menjadi kenangan ketika pertempuran berakhir," kata Vollgan, lalu meneguk air dari kantung kulitnya.

"Apa kau akan membiarkan mereka mati di misi kali ini?" Tanya Arthur, menatap Vollgan.

Vollgan mengangkat bahunya.

"Aku tidak yakin dengan kemampuan mereka," jawabnya. "Aku berani bertaruh, saat musuh sudah berada di depan kita, mereka yang akan pertama kali mati dengan celana yang basah karena terkencing-kencing."

Vollgan tertawa, suaranya cukup kencang hingga beberapa ksatria menoleh kearah mereka. Arthur hanya tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala. Ia tidak tahu apa yang lucu dari ucapan saudara seperjuangannya.

Arthur menoleh saat ia merasakan pundaknya ditepuk seseorang.

===÷÷===