Lyra berderap melewati dataran berpasir putih dengan cepat, memacu kudanya melewati lintasan di arena Jawara yang biasa di gunakan untuk berlatih para ksatria. Setelah melepas kepergian Arthur beberapa jam yang lalu, ia segera menemui Drego di arena tersebut. Arena itu sangat luas, terbuat dari dinding batu yang di susun sedemikian rupa, berbentuk melingkar dengan pilar-pilar ukiran naga, mengelilingi seluruh arena. Arena itu membentuk seperti koloseum. Terdapat padang rumput di tengah-tengahnya yang biasa di pakai untuk berlatih menghunuskan pedang, melempar tombak, memanah atau sekedar membuat pertunjukan gulat yang menegangkan untuk Sang Raja. Di pinggiran arena itu terdapat lajur pacuan kuda yang di tutupi pasir putih, mengelilingi seluruh Arena Jawara yang saat ini sedang ia gunakan untuk berlatih.
Sebuah tempat di dalam kerajaannya yang selalu membuatnya terkagum-kagum dengan arsitektur kunonya. Tempat itu seperti mengeluarkan suatu energi mistis yang sangat kuat. Ia bisa merasakan kekuatan para ksatria di tempat itu, merasakan keberanian mereka, merasakan semangatnya mengalir dengan cepat melalui darahnya.
Lyra menyeka keringat di dahinya. Napasnya terengah-engah. Sudah berjam-jam dia menghabiskan waktu di arena itu. Dan sekarang matahari sudah mencondong kearah barat, cahaya kuning, jingga, dan merah berpendar di cakrawala. Namun, ia masih belum puas dengan hasil latihannya, ia belum secepat yang ia inginkan, ia masih terlalu lambat untuk memenangkan perlombaan di festival musim semi nanti. Ia merasa ada yang salah pada kuda yang di tungganginya. Kuda putih dengan hidung berwarna gelap. Cantik namun terlalu lambat. Lyra sudah punya kudanya sendiri. Tapi entah mengapa Drego tidak memperbolehkannya menggunakan kudanya untuk berlatih.
Dan Lyra merasa semakin melambat tatkala ia melirik ke tengah padang rumput itu, beberapa ksatria yang sedang beristirahat dari latihannya sedang mengamatinya. Lyra merasa dirinya seperti menjadi pusat perhatian, seolah-olah ia adalah magnet di tempat itu, dan itu membuatnya gugup, membuatnya tidak bisa berkonsentrasi pada latihan. Ia sadar, di umurnya yang beberapa minggu lagi menginjak ke tujuh belas tahun membuat dia terlihat lebih menarik sebagai gadis dewasa. Matanya yang sebiru batu safir, dengan rambut coklat panjang yang di kuncir kepang. Diantara pelayan-pelayan istana, ada yang berkata bahwa tubuh Lyra yang tinggi ramping dan kulitnya yang putih berseri adalah suatu anugerah bagi Lyra, karena ia memiliki tubuh seorang bangsawan.
Lyra mencoba mengabaikan tatapan ksatria-ksatria itu dan mulai berkonsentrasi lagi.
Sembari terus memacu kudanya, ia berpaling kearah pinggir Arena dan mendapati sosok yang memakai jubah berwarna hitam yang menutupi bagian tubuh sebelah kanannya. Mata hitamnya yang setajam mata elang terus menatapnya dengan intensitas yang kuat. Tiupan-tiupan angin sesekali menerbangkan rambutnya yang hitam panjang sebahu. Itu Drego, dia sedang mengamatinya, berdiri di belakang kayu pohon Ek sebagai pembatas antara Arena dan bangku penonton. Di sebelah Drego, Lyra melihat jam pasir yang cukup besar, di taruhnya jam itu di kayu pembatas. Lyra menajamkan matanya, melihat jam pasir itu. Pasir berwarna hijau di bagian atas sudah hampir habis, menandakan sudah lebih dari delapan puluh detik berlalu, tetapi Lyra belum juga menyelesaikan dua putaran penuh.
Lyra mengangkat tinggi cambuknya dan melecutkannya tepat di kulit kuda itu, mendesaknya agar berlari lebih cepat lagi dan lagi.
Akan tetapi kudanya tidak mau mematuhi perintahnya, dia malah berhenti, meringkik dengan keras sambil mengangkat kaki depannya tinggi ke udara. Lyra jatuh dengan tubuh bagian sisinya terlebih dahulu, berguling beberapa kali di hamparan pasir putih, dan mendarat di wajahnya. Kuda itu meringkik, berlari menjauhinya, pergi meninggalkannya sendiri.
Lyra mendengar suara tawa Drego yang menggelegar ke seluruh penjuru arena . Beberapa ksatria yang sedang memandanginya langsung memalingkan wajah mereka, tersenyum geli menahan tawa. Mereka tahu, menertawakan atau mengejek bangsawan apalagi keturunan raja, hukumannya bisa sangat berat.
"Aku kenal dengan seorang bocah miskin berumur delapan tahun," kata Drego, hampir seperti berteriak. Dia berjalan menuruni anak tangga kayu. "Dan dia adalah penunggang yang lebih baik jika dibandingkan seorang Putri Raja."
Drego kembali terbahak-bahak, menertawakan leluconnya sendiri.
Lyra perlahan berdiri dengan sisa harga dirinya, ia meludah, beberapa pasir masuk ke mulutnya. Ia menggerutu sambil membersihkan kotoran yang menempel di pakaiannya. Jika bukan karena dia sahabat Arthur, mungkin Lyra sudah memanggil pengawal raja untuk menangkapnya.
"Itu karena kuda yang aku pakai berasal dari kasta terendah." Sahut Lyra, suaranya meninggi, kesal.
Drego kembali tertawa sembari melangkah mendekat, suara gemeresik pasir di bawah sepatu botnya kian terdengar semakin jelas.
"Bukan kudanya yang bermasalah," balas Drego, berdiri tepat di depannya. "Tetapi penunggangnya yang sangat buruk."
Lyra mengerucutkan bibir.
"Kau harus bisa membangun koneksi dengan kudamu," lanjut Drego, "agar saat kau menginginkan dia berlari cepat, kau tidak perlu melukainya. Atau kau ingin melakukan hal-hal menakjubkan dengan kudamu. Dia bisa merasakannya, walau kau tidak mengatakannya. Itulah teknik yang di ajarkan kepada kami para ksatria selama bertahun-tahun, dan itulah yang harus kau pelajari, belajar hidup seperti seorang ksatria."
"Sayang sekali," Kata Lyra, sambil mengusap-usap wajahnya yang kotor, "aku tidak pernah sekali pun berpikir untuk menjadi seorang ksatria. Aku hanya ingin menjadi lebih cepat dan lebih cepat lagi dari sebelumnya, agar aku bisa memenangkan perlombaan di festival musim semi nanti."
"Bagaimana jika ayahmu dan Arthur menginginkan kau bergabung dengan ksatria raja?" tanya Drego.
Lyra mengangkat bahunya.
"Maka aku akan menolaknya," balasnya. "Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri. Dan yang aku inginkan hanya memenangkan lomba di festival itu, karena Arthur sudah berjanji akan mengabulkan satu keinginanku."
Lyra tidak bersungguh-sungguh saat mengatakannya. Jauh di dalam hatinya ia menyukai dunia para ksatria. Beberapa kali ia pernah membayangkan dirinya bergabung dengan ksatria raja, membayangkan tinggal di barak-barak militer, berlatih bersama dengan rekan seperjuangannya, dan yang paling penting, tidak akan ada lagi yang berani mengganggu dirinya, siapa pun itu tak terkecuali kakak-kakaknya. Namun, sebagian dari dirinya masih belum yakin, apakah ia di takdirkan menjadi seorang ksatria atau seorang bangsawan.
Ia belum bisa memutuskan jalan mana yang akan ia ambil untuk masa depannya.
"Sungguh disayangkan memang," sahut Drego. "Si bungsu dari keluarga raja, dan adik seorang Panglima Tiga Serangkai yang sangat tersohor begitu egois dan sangat bodoh. Aku berani bertaruh kalau kau akan kalah –"
Belum sempat Drego menyelesaikan ucapannya, Dia dan Lyra berpaling saat mendengar bunyi berderit dari gerbang besi arena yang dibuka.
Lyra dan Drego saling bertukar pandang saat tiba-tiba tiga orang ksatria berbaju zirah berwarna perak dan putih melangkah kearahnya. Utusan Raja. Seseorang di tengah-tengah mereka ada yang memakai topi bundar dengan sehelai bulu merak berwarna hijau di sisi kanannya. Seorang pemimpin dari kelompok kecil itu. Mereka mendekat, dan berdiri tegak ketika sampai di depan Lyra. Ksatria-ksatria itu mengangkat tangan kanannya, menaruhnya di bahu kiri lalu menunduk. Sebuah salam hormat untuk anggota keluarga kerajaan.
"Selamat sore Tuan Putri," kata ksatria yang memakai topi. Tubuhnya tinggi tegap, hidungnya bengkok, menandakan banyaknya pertempuran yang telah dilaluinya.
"saya datang membawa sebuah pesan dari Yang Mulia Raja untuk anda." Lanjutnya.
Lyra dan Drego bertukar pandangan, bertanya-tanya melalui tatapan. Ayahnya tidak pernah mengirim seorang Utusan untuk menyampaikan sesuatu, terlebih lagi untuk dirinya. Dia paling tidak mengirim seorang pelayan untuk mencarinya dan mengatakannya secara langsung saat menemuinya. Ayahnya belum pernah sekali pun menyampaikan pesan untuk ia melalui perantara seseorang. Apakah berita ini sangat penting sampai-sampai ayahnya harus menyampaikannya lewat prajuritnya? Atau terjadi sesuatu yang buruk dengan ayahnya? Lyra menggelengkan kepala, mencoba mengenyahkan gagasan terakhir dari kepalanya.
"Dan apakah itu?" tanya Lyra.
"Yang Mulia meminta anda untuk menghadiri penjamuan nanti malam dengan para tamu kerajaan," Kata si Utusan. "Dan perias kerajaan sudah menunggu anda di kamar , Tuan Putri."
Lyra menautkan kedua alisnya, bingung, tidak percaya dengan apa yang baru saja di dengarnya. Sepanjang hari ini ia tidak melihat adanya persiapan penyambutan tamu seperti yang biasa dilakukan kerajaannya. Bahkan ia tidak mendengar kabar apapun tentang kedatangan tamu ayahnya. Biasanya sebelum tamu kerajaan datang, berbagai persiapan sudah dimulai satu hari sebelumnya. Dan ia tak melihat apapun hari ini atau bahkan kemarin semua tampak biasa saja, kecuali hari ini. Dimana kakak tertuanya bersama dengan ribuan pasukan, pergi jauh untuk melaksanakan misi dari raja.
"Apa tamu-tamu ayahku sangat penting?" tanya Lyra. "Maksudku, sebegitunyakah aku harus menghadiri acara itu?"
"Sangat-amat penting, Tuan Putri," Jawab si ksatria bertopi. "Mereka anggota keluarga kerajaan . Mereka datang dari Negeri Matahari Terbit."
"Tapi aku sedang berlatih berkuda." Ujar Lyra. "Apakah aku boleh tinggal di sini dan tidak menghadiri pertemuan itu?"
"Latihan bisa menunggu," kata Drego. "Tapi perintah Raja tidak. Kau harus menghadiri pertemuan itu, tunjukan rasa hormatmu kepada raja dengan menyambut tamu-tamunya, berikan kesan terbaik untuk tamunya."
Lyra mendesah kecewa, ia berharap Drego mau membantunya. Namun, ia tahu jika Drego bukanlah siapa-siapa di istana. Ia tidak bisa melakukan apa pun jika sang raja yang memberi titah.
Lyra melangkah pergi, diapit kedua prajurit pengawal di sisi kanan dan kiri. Sekilas ia berpaling kearah Drego, dan pria itu sudah beranjak pergi.
----***----*****----***----