Chereads / ASKARA: Rise of the Dead / Chapter 1 - ASKARA - 1.

ASKARA: Rise of the Dead

MURAD
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 26.2k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - ASKARA - 1.

Lyra menggenggam belatinya dengan gemetar, sambil melangkahkan kakinya perlahan di jalan tanah berdebu di desa Borgia, sebuah desa kecil di dataran rendah yang terletak di sebelah barat dari Ibu Kota Kerajaan Askara. Desa yang begitu indah dengan pemandangan perbukitan hijau nan luas. Udara begitu segar, dan penduduk desa yang sangat ramah. Sewaktu kecil, Lyra sering berkunjung bersama kakak tertuanya, Arthur, ke desa ini, lebih tepatnya ke tepian hutan perbatasan desa. Ia banyak belajar tentang segala hal dari Arthur. Mulai dari berburu, memancing, bertahan hidup seorang diri di hutan belantara. Atau sekedar berjalan-jalan di pasar dan membeli gula-gula dari negeri seberang. Berjalan di ini seperti menarik memorinya saat ia kecil dulu.

Namun, ia tak bisa lagi merasakan hal itu, ia hampir tidak bisa mengenali tempat ini. Semua tampak kacau-balau, hampir seperti kota mati, jalan-jalan sepi, kereta malang-melintang di tengah jalan, banyak noda darah di dinding dan di jalanan. Lyra bertanya-tanya apa yang terjadi dengan kota ini? Kemana perginya penduduk desa? Mereka membiarkan pintu-pintu rumahnya terbuka, seperti di tinggalkan penghuninya dengan terburu-buru.

Beberapa dari rumah itu juga ada yang hancur, rata dengan tanah, beberapa juga ada yang sudah hangus terbakar, asap-asap hitam sisa kebakaran membumbung tinggi ke angkasa. Lyra menarik kakinya lebih jauh, menyusuri jalanan desa. Sesekali ia berteriak, memanggil siapa pun yang ada ditempat ini, untuk memastikan masih adanya kehidupan di dekatnya. Tapi tidak ada yang menjawab, hanya ada lolongan angin yang meniup daun kering dan debu yang beterbangan. Lyra semakin jauh melangkah, ia bisa melihat tempat-tempat yang dulu sering ia kunjungi kini rusak dan berantakkan. Pasar. Tempat yang dulunya paling ia sukai sekarang lebih mirip seperti kapal pecah. Ia masih ingat dengan wewangian dari rempah-rempah atau wangi umbi-umbian yang di rebus untuk dijajakan. Kini bau busuk seperti tanah lembap dan bau asam darah yang saat ini menguar dari tempat itu. Lyra berhenti, memasukkan kembali belatinya ke sarungnya, ia bertanya-tanya apakah telah terjadi peperangan di desa ini? Apakah kerajaannya di serang Kerajaan lain dari luar Askara?

Tapi itu mustahil, bahkan hampir tidak mungkin. Desa ini di kelilingi benteng Andos. Sebuah benteng kuno peninggalan buyutnya. Tembok benteng itu sangat tinggi dan kokoh walau usianya sudah sangat tua – lebih tua dari umur ayah dari ayahnya. Terbuat dari batu yang disusun begitu rapi dan di selimuti baja yang di leleh-kan sebagai perekatnya. Lyra berpaling dan melihat ke belakang bahunya. Disana, tepat dicakrawala, tembok itu masih berdiri tegak -- namun tidak ada ksatria yang berjaga seperti biasa.

Saat Lyra sedang menatap tembok Andos, ia menangkap sesuatu dari sudut matanya, seseorang baru saja berlari melewati perempatan jalan, melewati rumah demi rumah. Lyra terkesiap, ia memanggil dan mengejar orang itu. Debu beterbangan di bawah sepatu bot nya. Orang itu berbelok ke salah satu jalan kecil yang terimpit di antara rumah-rumah. Lyra sudah hafal betul seluk-beluk jalan di desa itu, ia merasa beruntung telah menghabiskan masa kecilnya di tempat ini. Maka saat ia melihat ada kesempatan, ia segera mengambilnya. Lyra berbelok, mengambil jalan memutar, ia ingin mencegatnya di perempatan selanjutnya.

Lyra berhenti tepat di perempatan, bersembunyi di salah satu sudut rumah. Napasnya terengah-engah, keringat membasahi sekujur tubuhnya. Bertahun-tahun tinggal di Istana membuat otot-otot tidak sekuat ksatria. Ia menyesal karena beberapa kali kabur saat pelatihan fisik untuk keluarga kerajaan – dan sekarang ia merasakan efeknya.

Lyra bersiap ketika suara sepatu yang beradu dengan tanah terdengar, samar-samar kemudian semakin jelas dan kuat. Lyra melompat, berusaha menangkap orang itu. Namun, orang itu terlalu gesit, dia berbelok kearah satunya, melewatinya begitu saja. Dan pada saat bersamaan Lyra merasa bingung, ia melihat dengan jelas penampilan orang itu. Wajahnya ter-tutupi debu dan tanah dan ekspresinya seperti ketakutan. Baju yang di kenakannya juga compang-camping. Lyra mendesah kecewa dan tidak mengejarnya lagi, ia sudah tidak kuat berlari lagi. Orang itu menghilang di pertigaan jalan menuju hutan.

Lyra berjalan mengikuti jejak orang itu dengan napas terengah-engah, berbelok persis di tempat orang itu menghilang, dan mendapati sekelompok orang yang memakai baju zirah dan jubah berwarna ungu. Itu prajurit ayahnya, kesatuan Sicarius, berdiri tepat menghadapkan punggungnya kearah Lyra.

Lyra tersenyum, akhirnya ia menemukan kehidupan di desa ini, ia merasa lega karena menemukan prajurit ayahnya ada di dekatnya, tidak ada lagi yang perlu ditakutkan, ia akan aman. Lyra mempercepat langkahnya, menuju ke kelompok itu dan melihat apa yang sedang mereka lakukan.

"Hei!" teriaknya, ia melambaikan tangannya ke arah prajurit itu.

Kelompok prajurit itu berbalik, menatap Lyra dengan tatapan yang mengerikan. Sebuah tatapan kekejian, sebuah tatapan yang ingin melahapnya, sesuatu yang bisa memuaskan rasa lapar. Lyra langsung menghentikan langkahnya, ia membeku di tempatnya berdiri. Itu bukan ksatria-ksatria yang di kenalnya. Wajah mereka lebih terlihat seperti monster ketimbang manusia. Wajah dan kulit mereka pucat, urat-urat mereka terlihat seperti akar pohon yang merambat, bola mata mereka berwarna putih semua, sebagian dari mereka, ada yang wajahnya sudah hancur, dan mulut mereka mengeluarkan darah hitam yang sangat kental.

Salah satu prajurit menyeringai kearahnya, darah hitam mengalir dari celah-celah giginya. Prajurit itu berteriak, suaranya seperti raungan binatang buas. Tiba-tiba prajurit-prajurit itu berlari kearahnya, sangat cepat, awan debu bergulung di bawah kaki mereka.

Lyra terkejut, ia tidak dalam posisi siap dan terjatuh ke belakang, ia mundur beberapa langkah menggunakan sikunya, tapi prajurit-prajurit itu lebih cepat, mereka berhasil meraih tubuh Lyra dan menggigit, memakannya dengan rakus. Lyra menjerit kesakitan, ia merasa seperti di terkam kawanan serigala. Lyra mencoba melawan, mengambil pisau belati dan menusukkannya ke prajurit itu berkali-kali. Namun, semuanya sia-sia, prajurit itu seperti tidak merasakan apa-apa, bahkan belati itu patah dan tertinggal di dalam tubuh prajurit itu dan dia tidak merasakan kesakitan.

"LYRA!" terdengar teriakan, sebuah suara berat memanggilnya.

Lyra terbangun dengan kaget, duduk tegak di atas tempat tidurnya dengan napas terengah-engah, keringat membasahi tubuhnya. Ia memandangi ke sekitar, masih berada di kamarnya, di bawah selimut bulunya yang hangat. Dia bermimpi. Lyra mengusap wajahnya. Itu adalah mimpi terburuk yang pernah dilihatnya, ia merasa bahwa mimpi itu seperti sebuah peringatan.

"Mimpi yang sangat indah, bukan?" muncul sebuah suara yang sangat lembut.

Lyra berpaling dan melihat sesosok perempuan berambut lurus berwarna platinum, dia memakai gaun panjang berwarna putih dan ungu di setiap ujungnya, berdiri di depan jendela, memandangi istana dari dalam kamarnya. Xena, penyihir di Kerajaan Askara, dia salah satu penasihat ayahnya.

"Kau bisa melihat mimpiku?" balasnya dengan napas terengah-engah. Lyra masih mencoba menemukan dirinya dari keterkejutan.

Lyra bisa mendengar Xena tertawa kecil.

"Aku bisa melihat sesuatu yang tidak bisa di lihat orang lain."

Xena memutar tubuh. Dan Lyra langsung mendapatkan ketenangan dari sorot mata Xena yang berwarna ungu cerah, wajahnya yang putih tirus dengan senyum sehangat mentari pagi.

"Bersiaplah," kata Xena, "Arthur sudah menunggumu di halaman istana. Dia tidak akan pergi sebelum berpamitan denganmu."

Xena memutar tubuh, melangkah dengan anggun ke arah pintu. Sebelum Xena meraih gagang besi di pintu kayu itu.

"Tunggu," panggil Lyra. "Apa maksudmu Arthur akan pergi? Dia sudah berjanji untuk melatihku berkuda hari ini."

"Dia dan pasukan Sicarius akan berpatroli di sekitar luar tembok Andos," kata Xena. "Dan Arthur memintaku untuk memanggilmu sebelum ia berangkat."

Lyra merasakan tubuhnya seperti tertimpa batu ribuan ton saat mendengar kata-katanya. Tembok Andos? Apakah itu berarti mimpinya sebuah penglihatan batin?

"Apakah mimpiku berarti sebuah pertanda?" tanya Lyra, cemas.

"Mungkin." Jawab Xena.

"Jadi ksatria-ksatria yang aku lihat di mimpiku itu benar? Apa yang terjadi dengan mereka? Dan bagaimana dengan Arthur? Apa dia akan baik-baik saja?"

Xena tidak menjawab pertanyaannya. Dia berpaling dan tersenyum ke arah Lyra.

"Xena, katakan sesuatu?" desak Lyra.

"Kau akan tahu jawabannya jika waktunya telah tiba."

Xena membuka pintu dan menutup kembali di belakangnya.

Lyra melompat dari tempat tidur, berlari melintasi kamarnya dan mulai berpakaian lebih awal. Lyra menatap jendela tempat Xena berdiri tadi, masih terlalu pagi. Belum ada tanda-tanda matahari akan terbit.

*

Lyra berlari, menuruni tangga batu melingkar, menuju ke arah pintu keluar Istana Raja, melewati beberapa pelayan di sepanjang jalan. Ia bertanya-tanya tentang apa yang di lihatnya dalam mimpi. Belum pernah ia bermimpi seperti itu, semua tampak begitu nyata dan ia baru pertama kalinya merasakan kengerian semacam itu. Wajah-wajah serta suara raungan ksatria yang ada dalam mimpinya terus berputar di dalam kepalanya. Dan ia bertanya-tanya suara siapakah yang memanggilnya di mimpinya? Ia tidak mengenali suara itu, pun tidak melihat sosok yang memanggilnya.

Lyra berbelok melewati koridor dan keluar melalu pintu gerbang Istana besar berbentuk melengkung, Ksatria Pengawal berjaga di kedua sisinya. Mereka berdiri dengan tegap, memakai baju zirah berwarna perak dan putih, memegang tombak dan perisai besi.

Ketika Lyra sampai di halaman istana, napas tersengal-sengal, ia dapat mencium aroma peperangan saat melihat pemandangan yang terhampar di hadapannya. Ribuan pasukan terbaik dari seluruh dataran Askara sedang berkumpul, berbaris dalam satu kesatuan di atas kuda-kuda tempur yang berbalut baju zirah. Mereka adalah prajurit dari kesatuan Sicarius. Sebuah kesatuan yang keganasannya sudah melegenda ke seantero negeri, mereka memakai baju zirah berwarna perak dengan jubah berwarna ungu tergerai menutupi punggung. Semua prajurit itu berwajah dingin, tidak ada ketakutan sedikit pun yang menyelimuti mereka.

Lyra menarik napas lega saat melihat Arthur. Postur tubuh Arthur lebih tinggi di bandingkan ksatria-ksatria lainnya, dadanya lebar, dengan rambut coklat pendek dan cabang tipis menyatu dengan janggutnya, rahangnya kokoh, dan dia memiliki luka goresan senjata di wajah. Arthur duduk di atas kudanya, berada di barisan terdepan memimpin pasukan itu.

Disana, ditempat kuda Arthur berpijak, ada dua orang lainnya. Lyra tidak bisa melihat dengan jelas siapa kedua orang itu, mereka menutupi wajahnya dengan helm besi, hanya ada celah kecil untuk mata mereka melihat. Tapi ia yakin jika itu adalah Benjamin dan Vollgan. Mereka bertiga, Arthur, Benjamin, dan Vollgan , adalah panglima terbaik yang dimiliki kerajaan Askara. Panglima Tiga Serangkai legendaris generasi ke lima.

Arthur menoleh kearahnya dan tersenyum. Lyra melihat kakak tertuanya seperti membicarakan sesuatu, di ikuti pandangan kedua panglima yang mengarah tepat ke arahnya berdiri. Tak lama Arthur memacu kudanya, menghampiri dirinya. Lyra dapat merasakan tanah bergetar tatkala kuda Arthur semakin mendekat.

"Maaf karena aku mengganggu tidur bangsawanmu." ucap Arthur, jenaka, dia melompat dari kudanya dan berdiri tepat di depan Lyra. "Tapi ini sangat penting. Aku dan ksatria lainnya mendapat perintah dari raja untuk berpatroli di luar tembok kerajaan. Dan aku minta maaf karena tidak bisa mengajarimu berkuda, tapi aku sudah meminta Drego untuk melatihmu hari ini. Dia akan mengajarimu dengan baik."

"Tapi kau yang berjanji dan kau sendiri yang mengingkarinya." Balas Lyra, kecewa.

Arthur terkekeh, dia mengusap kepala Lyra dengan tangannya yang besar.

"Aku akan mengajarimu lain waktu," ucap Arthur. "Selagi aku pergi, kau bisa belajar dengan rekan seperjuangan-ku itu."

"Tidak. Kau tidak boleh pergi!" Kata Lyra.

"Lyra, temanku, Drego, dulu juga seorang ksatria hebat. Dia akan mengajarimu berkuda-"

"Ini bukan soal berkuda, Arthur!" sahut Lyra. "Semalam aku bermimpi buruk. Aku melihat desa di tepian barat hancur. Tapi aku tidak tahu apa yang menyebabkan desa itu hancur. Tapi aku merasakan aura peperangan di seluruh penjuru desa itu dalam mimpiku."

Arthur tertawa , suaranya menggelegar tinggi ke udara.

"Aku sudah memenangkan banyak pertempuran dan kau baru mengkhawatirkan aku sekarang?" kata Arthur. "Seorang ksatria bisa merasakan kehidupan melalui peperangan. Jadi kau tidak perlu mengkhawatirkan aku. Coba kau lihat di sana." Arthur mengangkat tangannya, mengacungkan jari telunjuknya.

Lyra mengikuti arah jari telunjuk Arthur -- mengarah tepat ke barisan para ksatria.

"Apa kau melihat ketakutan di wajah mereka?" tanya Arthur.

"Tapi peperangan kali ini berbeda. Aku melihat gerombolan monster mengerikan yang belum pernah aku lihat sebelumnya."

Arthur mengangkat tangannya, menggenggam kedua bahu Lyra dengan lembut. Dia menarik napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan.

"Apapun itu," kata Arthur, "aku akan menghadapinya. Lagi pula kau bukan Xena. Mimpimu bisa jadi hanya bunga tidur seperti kebanyakan orang biasa, seperti aku atau seperti ayah kita – Sang Raja. Kita bukan penyihir atau makhluk suci atau sejenisnya yang ketika mereka bermimpi akan datang suatu pertanda. Tidak perlu kau pikirkan mimpi anehmu itu."

Tiba-tiba bunyi peluit terdengar dari salah satu Panglima Tiga Serangkai. Pasukan Sicarius mulai bergerak dan Arthur segera melompat menaiki kudanya.

"Temuilah Drego," teriak Arthur. "aku ingin melihat kau sudah pandai berkuda ketika aku pulang nanti."

Arthur memacu kudanya, menyusul ke barisan terdepan, bergabung dengan Panglima Tiga Serangkai lainnya.

Lyra hanya bisa menatap debu yang beterbangan saat rombongan ksatria itu sudah berada di ujung cakrawala. Ia berharap apa yang di katakan Arthur kepadanya adalah sebuah kebenaran. Bahwa mimpinya hanya bunga tidur dan tidak akan terjadi apa-apa

----***----***----***----