Hidangan yang disajikan di meja makan sangatlah enak, ada berbagai macam makanan berat yang membuat Evelyn tersenyum sempurna. Hari ini adalah hari di mana seluruh keluarga berkumpul, hari ini adalah hari di mana Evelyn dan Davit akan berbincang, mereka akan bertemu dengan keluarga yang lengkap, ah ralat. Sebenarnya tidak lengkap sekali, hanya saja ayah dan ibu. Bukankah itu cukup?
Evelyn yang mengenakan piama biru muda hanya bisa menggelung rambutnya, menanti seseorang yang akan menjadi suaminya sambil memakan french fries yang ditemani satu cangkir teh hijau dan sinetron tentang keluarga. Gadis itu duduk dengan satu kaki yang diangkat dan tangan yang mendekap bantal sofa, tangan kirinya memegang french fries, mulutnya tak pernah berhenti mengunyah.
"Kamu ini mau ketemu sama calon suami bukannya dandan yang cantik malah diem sambil makan kayak gini. Kamu kayak gembel banget tau gak sih? Makan mulu kerjaannya! Kakinya diangkat satu, tangannya meluk bantal sofa, nanti kalau mertuamu tau kan malu." Nyonya Gracia yang melihat kelakuan putrinya seperti itu hanya bisa menggelengkan kepalanya, tak sanggup lagi menghadapi sikap putrinya yang luar biasa.
Bukannya mendengar dan membenarkan sikapnya, Evelyn malah merebahkan tubuhnya di sofa, semakin menjadi-jadi rupanya. Gadis itu hanya bisa mendengar tanpa mau mengubah sikap. Baginya sikap itu tidak penting, baginya semua orang harus menerima keadaannya. Jika tidak menerima, maka mereka bukanlah orang yang tulus.
"Evelyn capek, Bu."
"Capek ngapain kamu? Seharian pergi aja capek, kalau gitu gak usah pergi makanya. Ibu yang ngerjain semuanya aja gak ngeluh. Ayo dandan yang cantik, seenggaknya pakai pakaian yang sopan, jangan piama juga, Evelyn."
Evelyn menggaruk lehernya, mendengarkan suara ibu membuatnya mengantuk. Biarkan saja dirinya hanya memakai piama. Apa salahnya piama coba? Lagian Evelyn nyaman. Tidak ada yang harus melarang.
Suara mobil yang memasuki garasi rumah membuat Nyonya Gracia langsung menepuk pundak Evelyn, memelototi gadis itu. "Buruan bangun! Mereka udah dateng!" perintahnya.
Nyonya Gracia, Evelyn, dan Tuan Watson pun langsung bangkit dan berdiri di depan pintu, menyambut calon menantu dan calon besan. Mereka mempersilakan Davit, Tuan Anderson, serta Nyonya Camilyn untuk masuk.
"Apa kabar, Sayang? Kamu makin hari makin cantik aja," puji Nyonya Camilyn kepada Evelyn. Evelyn hanya bisa tersenyum simpul sambil malu-malu, calon mertuanya ini bisa saja dalam merayu.
"Baik, Bu. Ibu sendiri gimana kabarnya? Sehat, kan?" tanya balik Evelyn.
"Alhamdulillah ibu sehat, kok. Baik juga."
Evelyn mengangguk, berpindah tempat dari sebelah Tuan Camilyn menjadi sebelah Davit, gadis itu memegang tangan Davit dan memeluk calon suaminya. Sontak perlakuan yang diberikan Evelyn membuat semua keluarga terkekeh geli, seperti Evelyn sudah jatuh cinta, pikir mereka.
"Kamu gimana kabarnya, Davit? Baik, kan? Jaga kesehatan, ya. Sebentar lagi kita mau nikah kalau kamu lupa. Aku gak mau semuanya berantakan." Evelyn tersenyum tulus, menanyakan kabar kepada Davit dengan pandangan mata ke bawah.
Davit mengangguk, masih merasakan dadanya bergemuruh hebat saat dipeluk seperti ini oleh Evelyn. Seolah Evelyn yang dulu telah kembali, seolah Evelyn sudah bisa menerima semua ini.
"Hm, aku baik. Aku gak lupa dan gak akan pernah lupa."
Sesampainya di meja makan mereka duduk di kursi masing-masing, Evelyn mengambilkan lauk pauk untuk Davit, gadis itu entah kesambet apa sampai mau-maunya seperti ini.
"Mau pakai ayam?" tanya Evelyn memastikan, hal tersebut dibalas anggukan. "Ternyata kamu masih suka ayam, ya? Aku kira kamu udah gak suka."
"Aku bukan orang yang plin-plan," balas Davit masuk akal. "Kalau aku suka artinya aku suka. Kalau aku gak suka, artinya aku gak suka."
"Tapi semuanya bisa berubah seiring berjalannya waktu, kadang orang suka sama sesuatu, terus akhirnya gak suka karena sudah terlalu sering, karena sudah terbiasa, bosan namanya." Evelyn kembali membalas.
"Kita gak akan pernah bosan, gak akan pernah berubah pikiran, berubah kesukaan kalau memang kita punya pendirian."
Lagi-lagi semua orang tua hanya bisa terkekeh geli, mungkin seperti itu cara Evelyn dan Davit mengungkapkan cinta dan perasaan. Mungkin mereka harus mendiskusikan sesuatu sampai tuntas terlebih dahulu untuk bisa memandang sebuah konflik.
"Masih suka nasi merah juga?" tanya Evelyn memastikan, semenjak jaman kuliah Davit selalu menyukai nasi merah. Mungkin pria itu suka merawat tubuhnya supaya lebih sehat.
"Suka."
"Nanti setiap hari aku buatin. Aku buatin ayam goreng juga, nanti juga aku buatin semua makanan yang kamu suka."
Demi apa, Evelyn ini aneh atau bagaimana. Evelyn ini kesambet apa sampai bisa seperti ini? Apa yang sebenarnya terjadi dengan Evelyn?
"Dia juga masih suka sama jus alpukat." Nyonya Camilyn turut masuk dalam pembahasan. "Masih suka minum susu putih sebelum sarapan. Masih suka telat makan."
"Bu!" Davit yang merasa ibunya dan Evelyn ini akan membongkar semuanya langsung turun tangan. Malas berharap.
"Semoga nanti aku bisa jadi istri yang baik buat kamu ya, Davit."
"Aamiin." Semua orang yang ada di meja makan menyahuti doa Evelyn, terkecuali Davit. Evelyn merona, astaga! Dirinya ini sedang kenapa? Mengapa bisa seperti ini? Mengapa Evelyn bisa melakukan semua ini? Yang Evelyn lakukan hanya memberikan umpan balik kepada Davit saja. Sudah, itu yang terjadi.
***
"Apa yang tadi kamu lakukan?" tanya Davit dengan ketus saat berada di kamar Evelyn, mereka berdua sedang duduk dan berbincang masalah pernikahan. Sebentar lagi semua akan dimulai, sebentar lagi semuanya akan terjadi.
"Aku? Apa yang aku lakukan?" tanya balik Evelyn lantaran tidak paham. "Aku tidak melakukan apapun."
"Kamu bersikap beda dan aneh hari ini, Evelyn. Kamu seolah memberikan mereka semua harapan dengan doamu. Kamu berdoa semoga kamu bisa menjadi istri yang baik, kamu bilang mau memasak semua yang aku suka. Omongan kamu di meja makan membuat mereka semua berharap. Dan aku gak mau itu semua terjadi. Aku gak mau memberikan harapan palsu ke orang tua kita. Ujungnya akan sama, kan? Kamu akan pergi dan mengabulkan perjanjian kontrak kita?"
Jadi ini yang membuat Davit marah besar, jadi hal ini yang membuat Davit ketus dari tadi.
"Apa salahku?" Evelyn menatap manik mata Davit dalam. "Aku berusaha untuk memberikan umpan balik ke kamu. Aku akan menjadi istri yang terbaik nanti, walaupun aku memang akan tetap menagih perjanjian kontrak kita, tapi aku gak mau kalau kamu gak mendapatkan apapun. Itu kan yang kamu mau? Kamu mau aku jadi istri yang baik, kan? Lalu apa salahku?"
"Aku udah gak butuh itu semua, Evelyn! Percuma! Itu semua akan tambah-tambah membuat keluarga kita sakit hati. Itu semua hanya akan membuat keluarga kita ditipu. Sudahi semuanya. Aku hanya mau kita cepat-cepat menyelesaikan itu semua. Jangan lakukan drama apapun lagi. Aku capek."