Evelyn menatap meja makan yang penuh dengan seafood, gadis itu mengerjap sempurna saat semua terhidang dengan baik dan apik. Memang restoran ini adalah salah satu restoran yang paling mewah dan terkenal di negara ini. Pemandangan yang langsung terfokuskan pada pantai semakin membuat restoran ini layak dipandang.
"Enak semua nih pasti," komentar Evelyn sambil mencicipi salah satu hidangan. Tangannya menepuk kegirangan saat mendapatkan rasa yang luar biasa, tidak usah ditanya lagi bagaimana sedapnya.
"Gimana? Enak?" tanya Davit dengan gaya cool-nya. "Sampai kegirangan gitu," lanjutnya sambil tersenyum manis melihat tingkah Evelyn.
"Ya gimana gak enak coba? Ini tuh luar biasa banget. Gak salah deh dapet penghargaan rumah makan seafood terbaik, view-nya aja langsung ke pantai, adem gini, udah gitu makannya enak semua. Harganya gak perlu ditanya, terjangkau banget. Nanti abis dari sini kita beli es kelapa muda ya, Vit." Melihat penjual es kelapa muda, Evelyn jadi ingin mencicipinya. Tidak afdol kalau pergi ke pantai tidak membeli kelapa muda.
"Iya, lanjut aja makannya."
Evelyn langsung melahap makanan yang ia pesan, dari udang, jamur, cah kangkung, dan banyak lagi lainnya. Semuanya memang enak, istilahnya worth it. Mendapatkan restoran sebaik ini dengan harga yang terjangkau.
Tanpa Evelyn sadari semenjak tadi Davit menatapnya penuh senyum, melihat semua gerak-gerik Evelyn tanpa melepaskan pandangannya sedikit pun. Takjub dengan gadisnya yang dulu ia pacari, yang sekarang sudah resmi menjadi miliknya dan istrinya.
Ya, walaupun lebih tepatnya istri kontrak saja.
***
Evelyn terduduk di bibir pantai, pasir putih yang ia duduki saat ini merupakan salah satu keunikan tersendiri di pantai yang kini ia kunjungi. Sedang menunggu Davit yang tengah membelikannya es kelapa muda, Evelyn duduk santai sambil menatap hamparan pasir putih dan pantai yang membahana.
Deburan ombak dan sapuan angin selalu membuat Evelyn tak henti-hentinya takjub. Liburan yang menyenangkan, setidaknya ada hal baik dari pernikahan yang tidak diharapkan ini. Hal yang menyenangkan, setidaknya ada hal yang bisa Evelyn nikmati dari perjodohan konyol itu.
"Evelyn, nih!" Tiba-tiba dari samping Evelyn ada yang memberikan es kelapa muda, membuat Evelyn langsung mengambil dan meminumnya. Benar-benar gak ada obat, rasanya ah mantap.
"Enak banget, gila. Nikmat mana lagi yang kau dustakan." Melihat Evelyn yang bahagia membuat Davit juga sedikit bahagia, setidaknya orang yang ia sayangi tidak menderita. Memang begitu konsep jatuh cinta, bukan? Memilih diri sendiri atau orang lain.
"Kamu kenapa suka banget sama sunset, Lyn?" tanya Davit yang langsung turut duduk di sebelah Evelyn, membuat Evelyn mengernyitkan keningnya sembari berpikir sejenak.
"Emm, sebenarnya gak ada yang spesifik, sih. Bukan karena ada sesuatu yang pernah terjadi di saat sunset, atau punya kenangan apa yang memang terjadi saat sunset. Menurutku sunset emang salah satu keadaan terindah aja gitu," jawab Evelyn sambil mengetukkan jarinya di dagu. "Aku menyukai semua keindahan. Aku suka hujan, aku suka pelangi, aku suka sunset."
"Kalau disuruh pilih antara sunset sama sunrise kamu mau pilih apa?" tanya Davit lagi. Tidak tahu bermaksud apa, tidak tahu untuk apa juga. Mungkin hanya untuk mencari topik pembicaraan saja.
"Sunset." Evelyn menjawab pasti, tanpa berpikir terlebih dahulu. Tanpa menimang lagi jawaban yang tepat. Semua jawabannya begitu spontan.
Davit memicingkan matanya. "Alasannya?"
"Sebenarnya jawabannya cukup simpel, sih. Itu semua karena aku lebih suka liat sunset. Karena aku gak pernah bangun pagi dan gak pernah melihat bagaimana indahnya sunrise. Karena aku emang gak pernah menikmati keindahan sunrise."
Davit manggut-manggut, kini paham dari semua jawaban Evelyn. Terkadang obrolan singkat untuk mengisi topik seperti ini bisa membuat kita lebih mengenal seseorang, percaya atau tidak tergantung pribadi dirimu yang bisa peka atau tidak, yang bisa condong ke salah satu hal atau tidak.
"Kenapa emang?" Evelyn yang penasaran pun langsung bertanya demikian, sebenarnya apa yang Davit pikirkan tentangnya? Evelyn tahu betul bagaimana Davit, Evelyn tahu betul jika Davit bisa menilai seseorang dari tutur katanya saat bertukar kata.
"Enggak, sih. Cuma jawaban kamu sepertinya cocok aja gitu sama apa yang emang terjadi di hidupmu. Kamu menganggap seseorang yang datang dan masuk ke hidupmu adalah orang yang gak penting. Kamu gak menyambutnya dengan baik, sedangkan kamu terlalu sering meratapi sesuatu yang sudah berlalu. Sesuatu yang sudah terjadi. Kamu jauh lebih senang meratapi kepergian orang daripada menyambut seseorang yang datang."
Sejenak Evelyn kembali merenung, memang benar apa yang Davit katakan? Siapa yang datang dan siapa yang pergi di kehidupan Evelyn? Demi apapun, Evelyn sangat tidak bisa menilai dirinya sendiri. Evelyn sangat sulit introspeksi diri. Evelyn sangat sulit untuk menanyakan fakta atau tidaknya suatu pernyataan untuk kehidupannya sendiri.
"Sebenarnya aku bukan gak mau menyambut seseorang yang datang. Cuma karena aku lebih ke orang yang gak peduli aja, sih. Aku membuka lebar pintu tapi aku gak peduli orang yang masuk itu punya niat baik semua atau enggak, orang yang masuk itu hanya niat berkunjung atau enggak, atau justru hanya datang untuk merampok. Aku lebih ke tipikal orang yang gak suka menyambut sesuatu." Evelyn akhirnya bisa menjawab setelah beberapa kali merenung. Itu merupakan jawaban yang paling tepat yang ia temui. Jawaban yang memang related dengan kehidupannya.
"Iya, itu kamu. Kamu cuek, kamu bodo amat, tapi di saat kamu satu frekuensi dengan satu orang, kamu gak bisa lepas, kalaupun dia nantinya akan menjauh dan menghindar dari kamu, kamu akan meratapinya. Kamu akan hancur, kamu akan kalut, kamu seolah menyamaratakan semua cowok."
Evelyn tersenyum sambil menatap Davit penuh canggung. Apa yang Davit omongkan memang benar. Apa yang Davit omongkan memang kenyataannya. Evelyn memang seperti itu. Evelyn cuek, Evelyn bodo amat dengan orang yang datang ke dalam hidupnya. Namun, Evelyn sangat meratapi kepergian orang yang sangat ia sayangi, yang sangat ia cintai. Memang hukum roda itu berputar nyata. Semua akan berjalan, tunggu waktunya saja.
"Kamu ramal aku, ya?" tuduh Evelyn dengan maksud bercanda, kepalanya menggeleng tak percaya dengan kepekaan sang suami. Bisa-bisanya Davit bisa menilai itu semua hanya dengan ucapan seseorang saja, Evelyn mana bisa.
"Iyalah, ramal sang istri." Davit balas menggoda. Namun sialnya godaan tersebut mampu membuat Evelyn bersemu, pipi Evelyn merah merona seperti memakai blush-on merah menyala.
Evelyn menepuk bahu Davit sambil menggelengkan kepala, salah satu kebiasaan cewek saat tertawa memang. "Istri apa nih? Enak aja klaim jadi istri. Istrinya cantik apa jelek, nih?"
"Kan emang udah nikah, jadinya bisa diklaim jadi istri dong. Cantik banget, lah. Namanya juga istri dari Davit Archer, Nyonya Archer."