Davit sudah siap dengan kemeja putih serta gayanya yang kasual. Hari ini lagi-lagi Davit disuruh untuk menghabiskan waktu dengan Evelyn. Davit bahkan tidak diizinkan untuk masuk ke kantor. Menyebalkan memang. Andai saja Davit bisa memberontak, pasti Davit akan memilih pergi ke kantor daripada berduaan bersama dengan Evelyn.
Mengambil ponselnya, Davit langsung keluar dari kamar dan turut bergabung dengan ayah dan ibunya di meja makan. Mereka berdua sedang menikmati roti bakar beserta susu coklat yang sangat enak.
"Pagi, Ayah, Ibu!" sapa Davit yang langsung meminum seteguk susu coklat.
"Pagi, Sayang!" sapa balik Tuan Anderson dan Nyonya Camilyn.
Dengan keheningan, mereka bertiga sarapan bersama. Menghabiskan roti bakar dan susu coklat untuk sumber kekuatan awal pagi hari ini.
"Davit jemput Evelyn dulu, ya, Yah, Bu." Davit pamit, membuahkan anggukan dari Nyonya Camilyn dan Tuan Anderson.
***
Evelyn sudah siap dengan sweater pink beserta jeans ketat panjang. Gadis itu mengikat rambutnya dan mengenakan topi senada untuk mempercantik penampilan. Hari ini adalah hari pertama Evelyn pergi kencan dengan Davit.
Kencan? Bukankah seperti itu adanya? Berduaan dengan hubungan yang mengikat, apalagi on the way menikah. Bisa disebut kencan, bukan?
Memoleskan lip-balm, Evelyn tersenyum dengan manis. Setelah itu menimpali lip-balm tersebut dengan lip-tint merah muda yang sangat natural dan cocok untuk dirinya.
Evelyn kemudian berjalan mendekati lemari tasnya, mencari tas yang cocok untuk dikenakan hari ini, melihat tas putih tulang dengan gaya kasual membuat Evelyn mengambil tas tersebut dan mengisi tas tersebut dengan barang-barang yang biasa ia bawa saat bepergian.
Evelyn keluar dari kamarnya, turun ke bawah dan melihat Davit sedang berbincang dengan kedua orang tuanya. Davit sudah sangat dekat dengan ayah dan ibunya. Ayah dan ibu pun sudah menganggap Davit seperti putra mereka sendiri.
"Hai, Vit! Udah lama?" tanya Evelyn dengan nada akrab kepada Davit. Gadis itu lalu duduk di sebelah Davit sambil mencomot kue kering coklat yang ada di meja.
"Baru aja kok, Lyn. Udah siap? Yuk berangkat!" Davit menggenggam tangan Evelyn dengan erat, lalu berpamitan kepada Tuan Watson dan Nyonya Gracia.
***
Davit terfokus pada jalanan di depannya, sedangkan Evelyn menatap jalanan sekitar dengan bosan. Entah dibawa ke mana, entah pergi ke mana, entah diajak ke mana, Evelyn ikut sajalah. Tidak peduli suka ataupun tidak, yang terpenting hari ini Evelyn tidak di kamar saja.
"Sebenarnya kita mau ke mana sih, Vit?" tanya Evelyn mulai bosan dengan keheningan. Evelyn butuh berbasa-basi sejenak supaya tidak bosan.
"Mau ke kebun stroberi, kenapa emang? Kamu suka, kan?" Davit menatap Evelyn dengan ragu, takut Evelyn sudah tidak suka dengan stroberi. Bukannya setiap orang banyak mengalami perubahan dalam hidup?
Evelyn berdeham, menetralkan perasaan yang merambat di hatinya. Ribuan kupu-kupu di perut sudah tak bisa Evelyn tahan lagi. Rasanya ingin menjerit. Jadi ... Davit masih mengingat semua hal tentang Evelyn? Davit masih mengingat apapun tentang Evelyn? Mengingat hal apa yang disukai dan tidak disukai Evelyn?
Sungguh, Evelyn kira Davit sudah lupa.
"Iya, suka kok."
***
Davit dan Evelyn sudah sampai di kebun raya stroberi yang ada di puncak. Mereka mulai mutar memetik stroberi di saat sudah mendapatkan izin dari penjaga. Satu hal yang Evelyn suka saat memetik stroberi adalah Evelyn bisa mencicipinya juga.
"Cobain deh, Vit! Enak banget ini loh, beneran deh. Manis rasanya," komentar Evelyn yang menggigit stroberi merah segar, lalu tangan yang satu memberikan stroberi lain kepada Davit, untuk Davit cicipi dan nikmati juga.
Davit mencomot stroberi yang diberikan Evelyn, memakan buah berwarna merah tersebut lalu tersenyum. Masih sama seperti dulu, di saat Davit dan Evelyn pacaran. Rasa stroberinya masih manis, masih segar, dan tentunya memiliki rasa candu luar biasa, sehingga mereka tak segan-segan ke sini lagi dan lagi.
"Enak, masih sama seperti dulu." Davit memberikan komentar.
"Kamu masih ingat gak, Vit? Stroberi itu favorit aku, lho. Dari parfum stroberi, sabun stroberi, jus stroberi, semua stroberi aku suka. Menurutku stroberi itu indah, stroberi mengingatkan aku kalau hidup itu ada manis dan ada asamnya. Stroberi juga mengajarkan kita kalau asam itu gak selamanya buruk, rasa asam bisa dicampur dengan gula untuk mempermanis rasa. Hidup yang malang juga harus disyukuri supaya tidak selamanya malang terus. Intinya, banyak pelajaran yang aku ambil dari stroberi."
Evelyn bersama Davit menapaki jalanan kebun stroberi dengan senyum yang merekah, perbincangan masa lalu juga mereka ucapkan sebagai flashback. Mengingat dulu mereka sempat dekat, sempat menyayangi, sempat mencintai, sempat selalu ada, namun sepertinya mereka harus mengikhlaskan untuk hubungan yang berakhir begitu saja.
Pernikahan ini tidak bisa disebut pernikahan, sudah tidak ada cinta lagi di antara mereka berdua. Mereka hanya menjalani apa yang orang tuanya katakan, lalu membuat perjanjian pernikahan. Pada akhirnya mungkin mereka akan kembali berpisah, akan bercerai dan akan menjalani hidup yang jauh lebih fakta. Ya, mungkin.
"Kamu serius mau buat ini semua menjadi sebuah permainan, Lyn?" tanya Davit dengan langkah yang terhenti, sontak membuat Evelyn mengernyitkan keningnya.
Permainan? Permainan apa?
"Maksudnya?" tanya Evelyn tidak paham. Apa yang akan dipermainkan?
"Pernikahan ini. Kamu serius mau buat ini semua menjadi sebuah permainan? Kamu gak takut kalau kedua orang tua kita kecewa? Kamu gak takut di saat mereka memandang kita penuh dosa? Mereka sudah mempercayakan kita untuk bersama." Dari semalam, Davit sudah berniat mengatakan ini. Ia berniat membukakan pintu hati Evelyn. Davit memang masih berharap kepada Evelyn dan ingin kembali bersama Evelyn, apalagi ditambah dengan ucapan Tuan Watson dan Tuan Anderson yang cukup menampar hati Davit sehingga pria muda itu memikirkan kembali apa maksud terselubungnya.
"Gak ada yang mempermainkan apapun, kita yang dipermainkan, Vit. Kita yang dijadiin bahan pengorbanan supaya mereka semua bisa bersatu. Masalah jodoh adalah masalah kita sendiri, bukan? Jadi menurutku oke-oke aja. Hidupku, yang jadi janda juga nanti aku. Yang bakalan pisah juga aku. Mereka gak berhak melakukan pertentangan atau apapun."
Davit mengerjapkan matanya seperkian detik, Evelyn memang keras kepala. Apa yang Evelyn inginkan pasti selalu ia dapatkan.
Evelyn menepuk pundak Davit dengan senyuman manis. "Gak usah dipikirin omongan siapapun. Lagian yang menjalani hidup ini kita, kan? Aku yang buat persyaratan pernikahan, aku yang buat kontrak menikah itu. Berarti aku siap untuk diceraikan sesuai waktu yang ada. Berarti aku siap untuk menjalani hidup sendirian lagi. Aku udah punya kekasih sendiri, Vit. Gimanapun kekasihku, aku akan tetap menikah dengan dia. Aku akan tetap menjalani hidup dengan dia. Bukan dengan kamu. Aku gak pernah mengharapkan pernikahan ini."
Aku gak pernah mengharapkan pernikahan ini.
Cukup tertampar dengan kata-kata Evelyn, Davit pun memalingkan wajahnya, suaranya bergetar hebat.
"Aku cuma sarana buat kamu mengiyakan permintaan orang tua dong?"