"Kamu ini pria yang sangat cerdas, Nak. Om bangga banget bakalan punya menantu seperti kamu. Kamu harus tetap menjaga Evelyn bagaimanapun kondisinya, ya? Evelyn memang anaknya menyebalkan, yang om harapkan dari kamu, kamu menjadi pria sabar yang selalu membimbing Evelyn."
Davit terpaku dengan ucapan yang Tuan Watson katakan. Davit tahu kalau semua ayah pasti akan berpesan seperti ini saat putri yang mereka sayangi dan rawat sampai saat ini akan hidup berdua bersama laki-laki lain. Akan menjalani kehidupan yang jauh lebih baru. Akan menjalani kehidupan yang jauh lebih dewasa.
Seorang ayah pasti akan kehilangan putri yang sangat berarti baginya. Seorang ayah pasti akan memerintahkan calon menantu untuk bersabar menghadapi putrinya yang keras kepala. Seorang ayah pasti akan meyakinkan diri seorang menantu untuk selalu mendampingi putrinya di kala susah ataupun senang.
"Iya, Om. Davit akan berusaha seperti itu, kok. Davit akan berusaha menjaga Evelyn. Davit akan berusaha membuat Evelyn bahagia, bagaimanapun caranya. Davit janji tidak akan membuat Evelyn menangis, Davit akan selalu membuat Evelyn tersenyum bahagia."
Tertegun sekaligus takjub atas jawaban dari calon menantu membuat Tuan Watson mengulas senyumnya. Tidak salah pilih, Davit adalah pria paling tepat untuk berdampingan bersama Evelyn dengan segala kekurangannya.
Menjadi anak tunggal membuat Evelyn keras kepala, tidak suka diatur, maunya menang sendiri. Ya seperti ini kehidupan seorang anak tunggal yang tidak mempunyai saudara. Mereka terlalu merasakan sendirian, sehingga mereka selalu memang, selalu tidak mau kalah, selalu keras kepala, dan selalu susah diatur. Tuan Watson pun menyetujui jika putrinya termasuk dalam list anak tunggal seperti itu.
Namun, Tuan Watson yang selalu mengiyakan semua keinginan putrinya tidak sanggup untuk mengubah sikap dan tidak sanggup untuk berkata tidak kepada putrinya. Putrinya sudah terbiasa hidup enak, sudah terbiasa hidup manja, dan keras kepala. Daripada mengubah karakter supaya mendapatkan pria terbaik, lebih baik mencari pria yang mau menerima segala kekurangan yang ada, bukan?
Tuan Watson menarik napasnya dalam-dalam, menepuk pundak Davit. "Om bersyukur banget tidak salah pilih kamu. Kamu adalah pria paling sempurna yang cocok jika berdampingan dengan Evelyn. Om sangat bersyukur sekali kalau kamu bisa menerima semuanya tentang Evelyn. Kamu tau kan bagaimana perasaan seorang ayah ketika melihat putrinya disakiti dan mengeluarkan air mata? Sangat hancur perasaannya. Om tidak ingin Evelyn menderita. Om tidak mau Evelyn bersedih. Om mau kalau kehidupan putri om bahagia terus-menerus. Om mau kehidupan putri om lancar, tanpa kesedihan mendalam yang harus ia rasakan. Oleh karena itu, Om titipkan Evelyn sama kamu, Davit. Om ingin kamu melanjutkan tugas om, membahagiakan Evelyn."
Perkataan panjang yang Tuan Watson katakan membuat Davit sontak mengangguk. Davit paham, ayah manapun pasti akan melakukan hal yang sama.
"Evelyn itu sesuatu yang sangat berharga untuk om dan tante. Dia putri kami satu-satunya, tidak pernah sama sekali kami mengatakan tidak untuk dia. Tidak pernah sama sekali kami melarang dia untuk melakukan hal yang dia suka. Kami selalu memanjakan dia sehingga dia tumbuh menjadi gadis yang keras kepala, om tau kalau dia tidak sempurna untuk kamu, om juga tau kalau kamu berhak mendapatkan yang jauh lebih baik daripada Evelyn, tapi—"
"Om!" Davit menggeleng, menghentikan ucapan Tuan Watson. Davit tidak ingin Tuan Watson menangis dan mengatakan yang tidak-tidak. Sebisa mungkin, Davit akan menjalani semua ucapan Tuan Watson dengan baik.
"Davit akan berusaha menjalani apa yang om katakan. Davit akan berusaha menjadi suami yang baik untuk Evelyn, kelak."
***
Davit merebahkan tubuhnya di kasur empuk kamarnya. Setelah malam tiba, Davit memang berpamitan untuk kembali ke rumahnya. Ia sudah sangat lelah ke sana ke sini hari ini. Sekarang waktunya istirahat. Sekarang waktu Davit melepaskan semua bebannya. Lelahnya akan berakhir dengan sekali memejamkan mata saja.
Tanpa berniat untuk mengganti pakaian, Davit meraih bantal guling dan memeluknya, memejamkan mata sejenak sampai mendekati alam mimpi.
"Davit!"
Astaga, belum ada lima menit Davit memejamkan mata, ibunya yang baik hati ini sudah memanggil Davit dan menggedor pintu kamar Davit. Yang benar saja, Davit mendengus sebal akan hal itu. Dengan malasnya Davit bangkit dan membuka pintunya, mengangkat alisnya seolah bertanya 'ada apa?' kepada sang ibunda.
"Gimana tadi? Lancar semuanya, kan?" Ya Tuhan, tolong Davit segera! Hanya satu pertanyaan, sang ibunda mengganggu tidur Davit saja.
"Lancar, Bu. Ibu ini mengganggu saja. Davit padahal sebentar lagi masuk alam mimpi malah dikagetkan."
Dengusan sebal Davit membuat Camilyn terkekeh. Pantas saja kamar sang putra tadi dikunci, jadi ini penyebabnya. Jadi sang putra sedang memasuki alam mimpi.
"Maaf, ibu tidak bermaksud mengganggu. Kamu dipanggil ayah untuk ke ruang kerjanya. Sebelum ayah marah, ayo ke sana, segera!"
***
Davit memasuki ruang kerja ayahnya, melihat ayahnya yang sedang menatap layar komputer dengan tumpukan berkas di hadapan beliau. Selalu sibuk dengan pekerjaan adalah ciri khas dari Tuan Anderson.
Bagi Tuan Anderson, pekerjaan harus dijalankan dengan benar, tidak boleh salah supaya tidak terjadi sesuatu yang fatal. Tuan Anderson adalah salah satu pria yang mendambakan kesempurnaan.
"Ada apa ayah panggil Davit ke sini?" tanya Davit yang langsung duduk di kursi hadapan ayahnya.
Tuan Anderson mendongak dan menatap Davit. Memang tadi ia memanggil Davit untuk membicarakan sesuatu yang penting.
"Ada yang mau ayah bicarakan sama kamu. Soal pernikahan kamu sama Evelyn. Ayah sudah siapkan semuanya. Tuan Watson juga sudah membantu mempersiapkan segalanya. Bahkan dia mau ajak perusahaan kamu bekerja sama. Kamu sangat beruntung mendapatkan calon mertua seperti Tuan Watson, Davit. Tuan Watson adalah pebisnis hebat yang ayah yakini akan membuat bisnis kamu jauh lebih pesat."
Jadi ini berita penting yang Tuan Anderson sampaikan. Oh ayolah, Davit sudah mengerti segalanya, tak usah membicarakannya kembali, karena Davit mengantuk, jadi Davit ingin tidur sejenak.
"Ayah ... Davit udah tau semuanya, Davit udah ketemu sama Om Watson, beliau juga udah memberitahukan semuanya. Davit ngantuk, Yah. Davit tidur dulu, ya."
"Tunggu sebentar, Davit. Ayah belum selesai bicara sama kamu. Ayah mau mengingatkan suatu hal sama kamu. Beberapa hari lagi pernikahan kamu akan digelar, ya walaupun seperti keinginan Evelyn, tidak ada pesta atau kegiatan mewah lainnya. Kamu akan menjadi pribadi yang jauh lebih dewasa lagi. Kamu akan menjadi pribadi yang jauh lebih memahami banyak hal." Tuan Anderson menutup laptopnya, menatap putra semata wayangnya dengan lekat. Menarik napas kuat-kuat untuk memberikan tausiyah panjang kepada putranya.
"Kamu yang tadinya seorang putra, akan menjadi suami. Tanggung jawab kamu akan jauh lebih besar. Tanggung jawab kamu akan jauh lebih berat. Dalam hubungan ini, ego dan emosi harus dihindari jauh-jauh. Kamu bukan hanya setahun dua tahun bersama dengan Evelyn, tapi seumur hidup. Kamu harus bisa bersabar saat ada masalah. Kamu harus meredam emosi dan mengecilkan suara saat sikap Evelyn terlewat batas, dan membicarakan dengan nada lembut. Kamu tidak boleh menganggap semuanya enteng, ada banyak hal yang akan kamu tanggung nantinya. Pesan ayah cuma satu, seorang ayah berusaha mati-matian menjaga putrinya dan membahagiakan putrinya, jangan buat ayah itu kecewa saat kamu menjadi suami."
***
Davit masih terbayang perkataan ayahnya tadi, perkataan Tuan Watson juga masih berdengung hebat di telinganya, seolah mengingatkan untuk tidak lepas dari tanggung jawab. Apa yang harus Davit lakukan? Pernikahan kontrak dan sebuah janji yang ia ucapkan pada semua orang adalah dua hal yang bertentangan.