Evelyn masih menanti gaun seperti apa yang akan Davit pilihkan untuknya. Gadis itu menanti di sofa karena malas berdiri menunggu Davit yang lama sekali memilih gaun, padahal Davit adalah seorang pria yang seharusnya cekatan, mengapa sekarang jadi seperti wanita yang lama memilih?
"Ini aja, Evelyn. Baguskan pilihanku? Tidak terlalu terbuka dan tidak terlalu kuno ataupun jadul." Evelyn langsung mendongakkan kepalanya melihat gaun seperti apa yang Davit pilihkan.
Gaun putih dengan hiasan simpel yang sangat menarik, cukup bagus dan tidak terlihat kuno walaupun sangat tertutup menurut Evelyn.
"Ya sudah, gaun yang itu saja," ujar Evelyn mengiyakan pilihan Davit. Ia malas sekali memilih gaun terlalu lama dan membuat waktunya yang seharusnya tidur berkurang.
Seharusnya saat ini Evelyn tengah tidur di kamarnya, seharusnya Evelyn menikmati hidup di kasur bersama para bantal dengan sangat nyaman, tapi yang ada malah seperti ini.
***
"Davit, nanti kalau ada mini market mampir ya? Ada sesuatu yang mau aku beli," ujar Evelyn mengingatkan Davit setelah acara foto prewedding selesai. Gadis itu ingin membeli banyak camilan karena mengingat beberapa hari ke depan ia hanya di kamar, tentunya akan membosankan.
"Oke." Seperti biasa, Davit hanya merespon sesuatu yang menurutnya penting, bahkan responnya selalu singkat.
Saat perjalanan pulang mereka sama sekali tidak ada niatan untuk menepiskan keheningan. Mereka hanya diam dengan pikiran masing-masing.
"Apa orang tuamu mengetahui kalau kamu mempunyai kekasih, Evelyn?" tanya Davit yang langsung membuat Evelyn menatap matanya intens.
"Tidak, aku belum memberitahukan siapapun kalau aku mempunyai kekasih, aku juga belum mengenalkan kekasihku kepada siapapun," jawab Evelyn dengan jujur.
"Mengapa? Mengapa kamu tidak mengenalkan kekasihmu kepada orang tuamu supaya kalian bisa menikah dengan tentram sehingga tidak menghancurkan kehidupanku?" tanya Davit dengan nada sinis.
Evelyn sadar, perjodohan dan perjanjian pernikahan ini merugikan Davit. Perjodohan dan perjanjian ini menghancurkan kehidupan Davit.
"Kekasihku tidak mau memperkenalkan dirinya dulu. Dia belum siap, dia juga belum siap menikah. Dia belum melamar ku, bahkan dia tidak ada niat untuk menikah, mungkin."
Evelyn menjawab pertanyaan Davit dengan nada senetral mungkin. Sebenarnya Evelyn juga menginginkan apa yang Davit ucapkan, memperkenalkan Robert dengan orang tuanya. Sebenarnya Evelyn juga ingin menikah dengan Robert, tapi mau bagaimana lagi? Robert belum siap. Robert bahkan tidak ada niatan untuk ke sana.
"Lalu mengapa kamu bisa seyakin itu kalau satu tahun cukup membuat dia mau menikahi kamu? Satu tahun adalah waktu yang cepat, bukan?"
Evelyn berpikir sejenak, benar apa yang dikatakan Davit. Satu tahun bukanlah waktu yang lama, satu tahun akan terasa sangat cepat.
"Dia harus mau, bagaimanapun caranya dia harus mau menikahi aku setelah aku pisah dengan kamu," sahut Evelyn dengan sangat yakin. "Dia tidak boleh membiarkan aku berlama-lama dengan kamu."
Davit hanya terkekeh kecil dengan niat mengejek Evelyn yang sangat yakin itu. "Apa kamu yakin kalau dia serius dengan kamu? Buktinya dia sama sekali tidak ada niatan untuk menikahi kamu. Dia tidak ada niatan melamar kamu atau apapun."
Evelyn tersentak, lagi-lagi ada orang yang bertanya seperti ini kepadanya. Evelyn sebenarnya tidak yakin dengan jawaban yang akan ia berikan. Evelyn juga sebenarnya tidak yakin apakah Robert menyayanginya atau tidak.
"Aku yakin, kekasihku pernah bilang ke aku kalau dia sayang ke aku. Kekasihku pernah bilang ke aku kalau dia mencintai aku. Dia hanya belum siap untuk menikah. Menikah perlu pemikiran panjang."
"Haha, semoga tidak dikecewakan ya, Evelyn."
Perkataan Davit sungguh mengejek Evelyn dan Robert. Enak saja, Robert direndahkan begitu saja. Evelyn tentunya tidak akan terima. Kekasih mana yang menerima saat pasangannya direndahkan seperti itu?
"Aku tidak akan dikecewakan oleh siapapun, oleh kekasihku ataupun oleh garis kehidupanku, karena aku yakin bahwa aku akan bahagia terus, Davit. Justru kau lah yang seharusnya berhati-hati, aku takut kau kecewa. Aku takut kau terluka kembali." Evelyn menjawab dengan sinis, mengejek dan kembali memperingati Davit tentang kejadian di mana Davit ia duakan.
Davit hanya terkekeh kecil, tidak mungkin ia kalah lagi saat ini. Tidak mungkin ia sampai diduakan lagi oleh Evelyn. Jika itu terjadi, Davit juga tidak merasakan apapun, karena Davit sudah mulai menghapus perasaan untuk Evelyn. Evelyn hanyalah seseorang yang akan menjalani status sebagai istri seorang Davit. Hanya itu saja. Satu tahun setelah mereka menikah, mereka akan kembali menjalani hidup masing-masing.
"Terserah."
***
Mobil Davit memasuki pekarangan rumah Evelyn, membuat pria itu turun dan ikut masuk karena ingin bertemu dengan kedua orang tua Evelyn. Mereka akan membicarakan banyak hal kembali.
"Selamat datang, Davit! Apa kabar?" tanya Tuan Watson sekadar berbasa-basi melihat calon menantunya datang. Tuan Watson memang mengundang Davit untuk berbincang santai sebelum pernikahan tiba. Ia akan mendekati calon menantunya, ia akan menitipkan putri kesayangannya kepada Davit.
"Kabar baik, Om. Om sendiri apa kabar?" Davit langsung duduk di sofa, sebelah tempat duduk Tuan Watson, dengan senyum yang merekah sempurna Davit memang sudah menganggap Tuan Watson seperti ayahnya sendiri.
Ayah yang harus dihormati, ayah yang harus disayangi, ayah yang harus menjadi sosok pemimpin.
Evelyn yang sudah malas dengan drama ayahnya dan Davit pun hanya bisa merotasikan bola matanya sebal, menjauh dari mereka berdua dan melangkahkan kakinya menuju kamar yang ada di lantai dua.
"Baik, kamu ini semakin hari kadar ketampanannya semakin bertambah saja, Davit. Om sangat bangga kepada kamu. Oh iya, untuk bisnis kamu gimana? Lancar? Om berniat mengajak kerja sama dengan perusahaan kamu untuk memperkuat kekeluargaan kita. Apakah kamu mau?" Davit yang mendengar pertanyaan tersebut hanya bisa diam sejenak.
Ada satu yang Davit garis bawahi dari perkataan Tuan Watson, kekeluargaan. Seandainya Tuan Watson tahu segalanya, tahu tentang pernikahan kontrak ini. Tahu tentang perjanjian yang Evelyn buat. Tahu tentang Evelyn yang sebenarnya memiliki kekasih dan hanya menjadikan pernikahan sebagai bahan permintaan kedua orang tuanya, pasti Tuan Watson akan sangat sakit hati dan malu.
Mungkin tidak hanya Tuan Watson saja, Nyonya Gracia dan seluruh keluarga Milly pasti akan kehilangan muka dan martabat karena telah mempermainkan sebuah pernikahan.
"Davit tentu saja mau dong, Om. Justru bisnis yang sedang Davit buat ini membutuhkan banyak modal. Kalau Om bersedia membantu, Davit akan sangat berterima kasih banyak." Tak mau membuat Tuan Watson curiga dan sedih, akhirnya Davit menerima itu semua. Jangan bilang Davit mencari kesempatan dalam kesempitan.
Pada dasarnya Davit adalah pihak yang paling dirugikan di sini. Davit mengorbankan statusnya, Davit mengorbankan kehidupannya, Davit mengorbankan perasaannya, dan segalanya. Tidak ada yang Davit untungkan kecuali bekerja sama dengan Tuan Watson sehingga perusahaannya berkembang lebih pesat.
"Kamu ini pria yang sangat cerdas, Nak. Om bangga banget bakalan punya menantu seperti kamu. Kamu harus tetap menjaga Evelyn bagaimanapun kondisinya, ya? Evelyn memang anaknya menyebalkan, yang om harapkan dari kamu, kamu menjadi pria sabar yang selalu membimbing Evelyn."