"Gun, gali informasi tentang Mayang lebih dalam. Cari informasi yang bahkan terkesan ditutupi sekalipun!" titah Bian pada Guntur yang sudah bersiap untuk menyetir.
"Saya mengerti Tuan!" jawab Guntur tenang.
"May, kamu wanita yang sama dengan wanita misterius siang itu, bukan? Aku tidak mungkin salah mengenalimu dalam jarak sedekat tadi," ucapnya dalam hati.
Baru saja akan melanjutkan lamunan asiknya, mata Bian terpaku pada sosok Mayang yang berjalan di pinggiran jalan. Guntur juga memperlambat mobilnya dan berhenti tepat di sebelah Mayang tanpa harus diberi aba-aba.
"Sedang apa?" tanya Bian dari jendela pintu mobil yang telah terbuka kacanya.
"Apa kamu tidak bisa lihat apa yang kulakukan? Aku tidak tahu matamu itu hanya pajangan," jawab Mayang ketus. Sementara Bian menanggapinya dengan tertawa.
"Haishh senyumnya…" Mayang berguman menutup matanya dari senyuman yang seakan menggoda tersebut.
"Kenapa dengan senyumku? Manis bukan? Semua ini untukmu, kau juga tahu, bahkan kau juga yang mengambil ciuman pertamaku," ucap Bian yang kembali menggoda. Wajah Mayang langsung berubah memerah saat kembali teringat kejadian malam kacau itu.
"Naiklah, Aku akan mengantarmu sampai Wing," ajak Bian pada Mayang, namun Mayang terlihat ragu dan penuh pertimbangan.
"Tidak mungkin aku berjalan sampai di Wing, kan? Dan di ponselku tidak ada nomor kontak taxi jemputan, sementara tiga anak itu sudah pergi. Bagaimana aku akan tiba cepat ke sana? Kenapa di saat seperti ini hanya tumpangan pria mesum ini, cih!" Mayang mengumpat dan berdecih dalam hatinya. Tidak bisa ia pikirkan jalan keluar untuk segera sampai ke Wing kecuali…
"Ayolah, aku berjanji tidak akan menggodamu," ucap Bian tanpa tawa namun tidak bisa ia hilangkan senyumnya saat ini.
Mayang yang mendengar janji Bian yang baru saja terucap, langsung menerima tawaran tersebut. Setidaknya kali ini ia terpaksa karena keadaan. Mayang membuka pintu bagian depan dan masuk dengan tenang.
Bian dan Guntur tercengang bingung melihat sikap Mayang.
"Ada apa? Kenapa tidak segera jalan? Aku sudah masuk dan duduk, bukan?" tanya Mayang santai tanpa merasa bersalah.
"Apa kamu anak buahku? Kenapa kamu duduk di situ? Cepat pindah ke belakang!" Bian memprotes sikap Mayang.
"Tidak, aku tetap di sini. Aku tidak ingin bersebelahan dengan buaya. Lagipula aku tidak percaya janjimu barusan." Celetuk Mayang lagi. Guntur juga tidak percaya, ada orang yang berani mencibir tuannya seperti itu selama ia mendampingi Bian selama delapan tahun terakhir, dan lagi orang itu adalah wanita.
"Nona Mayang, silahkan pindah tempat duduk di belakang demi kenyamanan anda," ucap Guntur sopan.
"Kenapa? Ada yang salah? Menurutku aku lebih nyaman duduk di sebelahmu dari pada orang di belakang," jawab Mayang dengan cueknya.
"Kau yang nyaman tapi aku bisa mati dibuat Tuanku," Guntur menangis di dalam hati. Sementara aura kemarahan sangat terasa di bagian kursi belakang.
"T-tuan?" Guntur memberanikan dirinya untuk bertanya.
"Guntur turun!" Bian berkata dingin. Segera Guntur turun, begitu juga Bian, meninggalkan Mayang yang kebingungan.
"Kau katakan pada sutradaranya untuk tidak memulai syuting sebelum aku datang!" ucap Bian tanpa menoleh dan segera membuka pintu pengemudi dan masuk. Meninggalkan Guntur di luar sendirian.
"Kk-kau? Maksudku Tuan, kenapa Tuan duduk di situ? Mana Pak Guntur tadi?" tanya Mayang heran.
"Apa kau benar lebih nyaman di sampingnya daripada duduk bersamaku?" tanya Bian dengan ekspresi kesal.
"Tentu saja! Aku takut tidak tahan mendengara rayu-, ops! Bukan apa-apa, lupakan!" hampir saja Mayang keceplosan bicara. Tapi Bian tahu apa kalimat lanjutan Mayang yang terputus tadi. Dan senyumnya kembali terukir.
"Oh, jadi begitu. Bukankah aku sudah berjanji tidak akan menggodamu?" Bian kembali bertanya setelah memasang kembali senyumnya, "setidaknya untuk saat ini!" lanjutnya lagi sambil mulai mengemudikan mobilnya.
"Oke, sudah kuduga, dia tidak akan melepaskanku semudah itu! Dan ya, aku masuk perangkapnya," keluh Mayang dalam hati.
***
Dua kapal pengangkut dan tanker yang tengah melintasi Selat Singapura, dihadang speed boat kecil berisi lima orang pria kekar dan gagah dengan rompi anti peluru di tubuh mereka masing-masing, tak lupa bermacam senjata yang di selipkan di tempat yang tepat yang melekat di tubuh mereka.
Para awak kapal tanker tengah bersiap bertahan di atas kapalnya, saat melihat penumpang speed boat tersebut lebih terlihat seperti perompak laut.
"Tenanglah! Kami bukan perompak, kami hanya ingin menyelamatkan kalian dari perompak sebenarnya!" teriak anak buah Mark dengan memakai sebuah alat pembesar suara. Setelah penuh pertimbangan, awak kapal membolehkan hanya seorang saja yang boleh naik ke atas kapal mereka. Mark yang maju dan naik untuk menjelaskan pada kapten kapal.
"Kami sedang melakukan pengejaran seorang ketua genk mafia berbahaya bernama Harpy Eagle yang aku yakin kalian sudah pernah mendengarnya, dan kabarnya mereka akan melakukan aksinya untuk merampok kapal tanker yang melintasi jalur ini," ucap Mark menjelaskan sambil tetap mengedarkan matanya agar selalu bersiaga.
"Apa kapal pengangkut di sebelah itu berlayar bersama kalian?" tanya Mark yang sedikit curiga dengan kapal yang berlayar berdekatan seperti itu.
"Ya, kapal pengangkut itu membawa batu bara dan yang ini mengangkut minyak bumi dari Pangkalan Brandan ke Bangkok, Thailand," jawab kapten kapal itu dengan yakin.
"Baiklah, biarkan teman-temanku naik! Kami akan membantu kalian melindungi kapal ini, dan menangkap mafia-mafia itu!" ucap Mark memberi intruksi. Dan langsung saja kapten kapal memerintahkan anak buahnya membolehkan teman Mark lainnya untuk naik ke kapal mereka.
(Mark, why is it so easy for them to agree us to board this ship? Isn't it too easy and weird?)
(Mark, mengapa sangat mudah bagi mereka untuk menyetujui kita naik kapal ini? Apa ini tidak terlalu mudah dan aneh?) tanya Rick diikuti Ben di sampingnya setelah mereka naik.
"Rick is right, this is weird!"
(Rick benar, ini aneh!) Ben menimpali.
"Yes, I thought so too, then we have to keep watch!"
(Ya, aku juga berpikir begitu, maka kita harus berjaga-jaga!) Mark membenarkan firasat teman-temannya.
"Ask the Boss's opinion. What should we do next. And use a cell phone, because I don't see the Boss using her communication watch!"
(Tanyakan pendapat Bos. Apa yang harus kita lakukan selanjutnya. Dan gunakan ponsel, karena aku tidak melihat Bos menggunakan jam komunikasinya.) Rick kembali bersuara. Dan mereka rasa apa yang Rick katakan benar. Mark menghubungi Mayang melalui ponsel seluler.
Di saat yang sama, nada dering ponsel terdengar dari dalam tas Mayang. Ia segera mengangkat panggilan tersebut.
"Mayang, kau sudah sampai di mana?" tanya seseorang di ujung sambungan.
"Aku masih diperjalanan, Pak Toni. Apa aku sangat terlambat?" tanya Mayang cemas.
"Bersyukurlah, May. Syuting belum dimulai, Ceo Wing sendiri yang memerintahkan agar tidak memulai syuting sebelum Ceo besar datang menguji kelayakan iklan yang akan diluncurkan. Tapi cepatlah! Tidak ada yang tahu Ceo besar sudah ada di mana sekarang!" Sutradara Toni menjelaskan dengan rinci tentang apa yang terjadi.
Saat telinganya mendengar ucapan sutradaranya tersebut, mata Mayang refleks menoleh ke arah manusia mesum di sebelahnya itu.
"Aku hanya menerima ucapan terima kasih melalui ciuman," ucap Bian sambil mengerlingkan sebelah matanya pada Mayang.
Mayang terdiam sesaat sebelum hatinya terbawa untuk membalas senyuman manis Bian yang amat mempesona baginya.