"Bagaimana, Mark?" tanya Ben dan Rick dengan raut wajah cemas mewakili pertanyaan yang sama.
Mark menggeleng, "Ponsel Bos sedang sibuk. Dan sekarang ini bukankah waktu Bos syuting? Kita akan menyelidiki ini terlebih dahulu sebelum melaporkan pada Bos. Kalian setuju?" ucap Mark menanyakan pendapat teman-temannya.
Melihat Ben dan dua anak buah lainnya mengangguk, Rick juga ikut menganggukan kepalanya.
"Bagus! Aku akan kembali bertanya-tanya pada kapten kapal ini, kalian tetap awasi sekitar!" ucap Mark lagi dan langsung mencari di mana kapten kapal tadi.
Sebelum berpencar untuk berjaga, Ben terlebih dulu mengartikan arahan Mark untuk Rick. Dan setelahnya mereka berpisah mengelilingi kapal lewat arah berlainan.
Sekilas kapal tersebut tidak ada yang mencurigakan. Namun, entah kenapa kelima anak buah Mayang tidak bisa tidak merasakan keanehan di kapal tersebut. Mark menemui kapten kapal di ruang mesin.
"Apa yang kamu lakukan? Jangan bertindak macam-macam karena aku merasa kapal ini mencurigakan! Aku akan bertanya padamu, bagaimana kalian mengantisipasi serangan?" Mark menanyakan hal yang penting pada kapten kapal.
"Kami hanya punya senjata tajam untuk mengantisipasi penyergapan perompak, dan yang memiliki senjata api hanya aku. Dan ini hanya pistol kecil. Karena kapal ini mengangkut bahan mudah terbakar, peraturannya dilarang membawa senjata api di kapal ini," terang kapten kapal tersebut sambil menunjukkan pistolnya pada Mark.
"Kenapa aku tidak yakin? Sebuah kapal tangker yang memuat minyak mentah yang dapat menghasilkan uang banyak, malah tidak ada antisipasi yang memadai untuk menghalau serangan," Mark mengutarakan ketidak setujuannya dan mendekatkan wajahnya pada kapten kapal tersebut, "kau bohong, bukan?" tanya Mark menyusul.
"Tidak tidak, aku tidak berani Tuan, memang seperti itu peraturannya. Lagi pula kapal ini jarang berlayar sendiri. Perusahaan mengambil kebijakan untuk mengirim kapal ni berlayar bersamaan dengan kapal pengangkut itu. Jadi kalau ada apa-apa, mereka bisa segera membantu kami di sini," panjang lebar kapten kapal tersebut meyakinkan Mark.
"Masuk akal. Tapi kenapa kalian terlihat seperti menyembunyikan sesuatu dari kami," fikir Mark yang diungkapkannya langsung.
"Tentu saja kami cemas. Tubuh kalian penuh dengan senjata api besar dan kecil. Bagaimana kami tidak cemas dan ketakutan kalau kalian menembak dan membuat kapal ini meledak?" sanggah sang kapten dengan cepat.
"Baiklah, aku terima alasanmu. Tapi jangan berbuat macam-macam kalau tidak, aku tidak segan-segan menghabisimu. Ingatlah untuk tetap berjaga! Jangan lengah dan tetap memantau sekitar. Percayalah, kami bukan bermaksud mencelakai kalian. kami di sini ingin menangkap musuh yang sebenarnya. Curigai kapal apapun yang mendekat ke sini dan segera kabari aku. Kami ada di luar!" Mark memberikan intruksi pada kapten kapal tersebut.
***
"Kenapa dia lambat sekali mengendarai mobilnya? Aku tahu dia takut celaka, tapi ini seakan mengulur waktu. Aku tidak tahan berlama-lama di dekatnya," gerutunya dalam hati, "jantungku, tetaplah berdetak seperti biasa! Tolong jangan berhianat!" tambahnya lagi.
"Apa aku boleh bertanya?" ucap Mayang dan Bian bersamaan. Karena canggung, mereka kembali terdiam.
"Ehem, silahkan kamu duluan," Bian mempersilahkan Mayang untuk bicara lebih dulu.
"Baik, terima kasih. Aku mau bertanya pada Tuan, apa mobil ini tidak bisa lebih cepat lagi?" tanya Mayang langsung tanpa basa-basi.
"Ternyata benar, kamu tidak nyaman berada di dekatku, kan? Baik, kita akan segera tiba di Wing," jawab Bian dengan nada datar. Dirinya berasumsi kalau Mayang memang tidak suka dan tidak nyaman berdekatan dengannya. Kecewa dan marah membuatnya melajukan mobilnya lebih cepat.
Melihat tingkah Bian yang seperti itu tidak membuat Mayang takut, walau kecepatan mobil seakan mau terbang saja rasanya. Tapi sungguh, bukan itu maksud pertanyaan Mayang.
"Bukan begitu maksudku, Tuan. Maksud pertanyaanku tadi, apa kita bisa lebih cepat sampai, karena aku belum berhias. Sementara sesampainya di sana aku langsung berganti pakaian. Tolonglah, jangan berpikiran yang macam-macam!" Mayang menerangkan dengan tenang.
Bian yang mendengarkan seketika menginjak pedal rem secara tiba-tiba dan membuat kepala Mayang nyaris terbentur keras ke depan kalau saja tangan Bian tidak menghalanginya.
"Kamu tidak apa-apa? Mana yang terluka? Apa yang sakit?" Bian panik dengan keadaan Mayang karena nyaris terbentur akibat ulahnya, "Aku minta maaf, karena membuatmu kaget. Tidak akan kuulangi lain kali," tambahnya, memohon maaf sambil terus saja memeriksa wajah Mayang yang bahkan baik-baik saja.
Mayang bukannya takut atau terkejud, malah tertawa geli melihat ekspresi kacau dari wajah Bian karena khawatir.
"Ppfft, wajahmu lucu sekali Tuan. Kenapa panik seperti itu? Aku tidak apa-apa. Lagipula kenapa Tuan mengebut dan berhenti dengan tiba-tiba? Apa ada yang salah dengan perkataanku tadi?" tanya Mayang setelah puas bisa menertawakan Tuan besar seperti Bian.
Bian membuang nafas kasar sambil menyandarkan kepalanya di sandaran kursinya yang ia turunkan sedikit agar lebih santai.
"Aku takut kamu terluka. Maaf karena hampir membahayakan dirimu. Aku tadi tidak bisa mengendalikan pikiranku sendiri saat mendengarmu bertanya. Aku kira kamu memang benar-benar tidak suka berada di dekatku," jawab Bian murung.
"Siapa bilang? Aku suka, selama kamu, oh maaf maksudku Tuan. Selama Tuan tidak bersikap konyol seperti biasa, aku tidak masalah," ucap Mayang santai tanpa beban.
Bian yang sudah merasa lega mendengar jawaban Mayang kembali tersenyum. Tentu saja, keusilan di kepalanya kembali lagi.
"Bisa tolong jangan panggil aku dengan sebutan Tuan? Kamu bukan anak buahku, panggil namaku saja atau kau atau kamu, itu lebih nyaman dan terdengar santai," senyumnya yang merekah saat Bian bicara santai seperti ini, membuat Mayang salah tingkah.
"Tidak bisa, aku bekerja untuk Wing, mau tidak mau aku tetaplah anak buah Tuan Bian, dan sepertinya hubungan kita tidak sedekat itu untuk saling bersapa santai seperti yang Tuan mau," ucap Mayang yang sudah pasti tidak akan diterima Bian.
"Biasakanlah. Apa tidak lucu kalau nanti kita menikah kamu masih menyebutku Tuan?" celetuk Bian dengan santai dan tersenyum, kembali menjalankan mobilnya perlahan.
"Tadi Tuan bilang tidak akan merayuku, bukan? Lalu apa yang barusan?" protes Mayang.
"Kenyataan," jawabnya singkat sambil tersenyum pada Mayang, "itu bukan rayuan, itu kenyataan. Kamu akan menjadi istriku suatu hari ini. Jadi terbiasalah!" lanjutnya lagi.
"Terserah! Aku tahu aku tidak akan menang melawanmu!" rutuk Mayang dalam hati. Menyerah sudah mulutnya untuk berargumen dengan manusia kepala batu di sampingnya. Namun, entah kenapa hatinya bahagia seperti tertiup angin segar mendengarkan Bian berucap seperti itu.
Mobil melaju perlahan saat akan mendekati pintu masuk gedung Wing Entertaiment. Dengan keputusan bersama, Mayang turun sebelum memasuki pelataran gedung. Tentu saja Bian keberatan, namun apa daya, dirinya tidak bisa menolak permintaan wanita spesial di hatinya itu.
Mayang berlari, langsung menuju kamar ganti artis dan di sana ia menemukan Dewina dan Nathael yang sedang bersantai dengan kegiatannya masing-masing.
"Maaf aku terlambat!" ucap Mayang pada kru. Tanpa basa-basi ia berlari menyambar pakaian yang segera diberikan kru padanya. Tanpa menunggu cibiran mereka yang tidak suka, Mayang meninggakan area tersebut untuk berganti pakaian.
"Haaaah, syukurah!" ucap Mayang lega saat duduk di depan meja dan kaca rias. Penata rias langsung merias Mayang dengan cekatan.
"Hei, Nona! Jangan meriasnya terlalu tebal! Itu akan menyembunyikan kecantikan asli Mayang!" ucapan yang diucapkan Nathael langsung membuat semua orang meliriknya. Sikapnya sangat santai, namun pandangannya tidak lepas dari wajah Mayang yang sedang dirias.
"Apa kamu mengenalnya Nathael?" tanya Dewina yang ada di sebelahnya. Karena kebetulan mereka berdua sedang menunggu bosan kapan syuting akan dilaksanakan.
"Apa kita terlalu dekat untuk membuatmu memanggil namaku dengan sesantai itu? Dan ya, aku kenal Mayang. Kami belajar seni di universitas yang sama. Lalu siapa kau? Aku bahkan tidak pernah mendengar namamu?" ucapan Nathael yang terdengar keterlaluan di telinga Dewina, malah membuat Mayang tersenyum geli tanpa suara.
"Kau sungguh keterlaluan, Nael! Tapi itu bagus, aku suka, hihihi!" tawanya dalam hati, dan tidak ada yang tahu kalau Mayang tersenyum sendiri kecuali penata rias yang meriasnya.