Kapten kapal tangki tersebut diseret paksa oleh anak buah Mark ke hadapan mereka bertiga setelah mereka merasakan keadaan semakin aneh dan mencekam.
Laju kapal semakin melambat, dan terlihat seakan merapat dengan kapal pengangkut di sebelahnya.
"Apa yang kalian rencanakan sebenarnya? Sudah kubilang jangan macam-macam!" Mark berang sambil menarik pakaian yang dikenakan kapten tersebut.
"Tuan aku tidak membohongimu. Maafkan aku, aku tidak tahu apa-apa!" jawab kapten kapal itu ketakutan. Rick merampas pistol di pinggangnya dan memeriksa sejenak. Sementara Ben mengambil ponsel Mark bermaksud menghubungi Mayang.
Baru saja nada panggil tersambung ke ponsel Mayang, ponselnya terenggut oleh seseorang bersamaan dengan suara tembakan yang terdengar keras dan memekakkan telinga mereka.
Dor!
Satu tembakan di kepala sang kapten kapal mengagetkan Mark, Ben, Rick, dan dua anak buah Mark saat darah berceceran bahkan terciprat di wajah Mark dan Rick.
Dan ketika mereka sadar situasi, semua awak kapal yang sedari tadi siang hanya diam seperti orang tidak berdaya dan ketakutan, kini mengepung mereka berlima dengan senjata api di tangan mereka masing-masing.
Prok prok prok!
Suara tepuk tangan terdengar aneh di situasi mencekam seperti ini. Namun, begitulah adanya saat seorang lelaki berumur sekitar lima puluh tahunan tertawa menonton mereka berlima dikepung puluhan bahkan hampir seratus anak buahnya.
"Kalian membosankan. Aku sudah menunggu lama dari tadi, tapi kenapa Black Rose tidak muncul-muncul juga?" ucapnya terkesan bosan, "bukankah kalian terlalu santai dan meremehkan aku, hah?" sambung lelaki tadi sambil melayangkan pukulan keras di wajah Mark.
Bugh!
Pukulan keras tadi membuat Mark tersungkur menimpa mayat kapten kapal tadi. Bagaimana mungkin pukulan pria yang hampir tua tersebut bisa sekuat itu kalau bukan karena ia memang tangguh.
Mark bangkit sendiri tanpa bantuan, karena Rick dan Ben tidak bisa bergerak dengan moncong pistol melekat tepat di kepala mereka.
"Cih! Untuk apa Bos kami datang ke sini hanya untuk membunuhmu? Kami sudah lebih dari cukup untuk mematikan kutu sepertimu, Alfred!" ucap Mark yang marah namun tetap dalam nada tenang. Ia tidak ingin gegabah mengambil tindakan karena selangkah saja ia salah, nyawa mereka taruhannya.
"Baiklah, akan kulihat orang terbaik Black Rose melawan anak buahku. Lumayan, karena aku sedang bosan dan rasanya tidak seru kalau langsung membunuh kalian. Sambil menunggu Bos cantik kalian datang, mari kita bersenang-senang, hahahahah!" suara tawa Alfred menggema di tengah lautan teluk Thailand.
***
"Panggilan dari Mark?" bathin Mayang saat matanya melihat nama pemanggil yang telah berhenti berdering tadi. Perasaan was-was dan cemas menggelayuti Mayang saat ini. Entah kenapa, ia yakin kalau terjadi sesuatu yang tidak beres yang terjadi pada anak-anak buahnya.
Mayang menghadap Bian yang terlihat kecewa karena tidak sampai mencium Mayang. Terlihat lucu dan menggemaskan untuknya, namun ia tidak bisa berlama-lama membahas kelucuan ekspresi Bian saat ini. Ia harus segera menyusul anak buahnya yang sepertinya sedang dalam bahaya.
"Ehem, Tuan Bian. Terima kasih untuk hari ini. Tuan telah mengantarkan aku ke Wing dan sekarang Tuan juga mengantarkanku sampai ke depan apartemenku. Aku sungguh berterima kasih untuk kebaikan Tuan Bian," Mayang berucap terima kasih pada Bian yang memandangnya dengan tatapan sendu. Bian hanya tersenyum tanpa menjawab.
"Baiklah, aku masuk ke dalam dulu. Terima kasih sekali lagi, dan hati-hati Tuan!" ucap Mayang lagi sembari membuka pintu mobil. Belum lagi pintu mobil terbuka, tangan Mayang tertarik ke arah Bian dan membentur ke dada bidang Bian yang memeluknya.
"Sebentar lagi. Sebentar saja seperti ini. Biarkan aku memelukmu untuk menenangkan jantungku yang berdebar. Aku benar-benar kewalahan menahan rasa ini. Apa ini cinta atau sekedar obsesi gila, aku tidak tahu cara membedakannya. Yang aku tahu, aku hanya ingin memilikimu dan seperti ini terus," ucap Bian tenang saat berhasil merasakan tubuhnya memeluk Mayang.
Mayang terpaku dan terdiam. Telinganya dapat mendengar jelas seberapa kencang suara detak jantung Bian dengan telinganya saat ini. Dan itu juga yang ia rasakan. Jantungnya seakan hendak keluar dari tempatnya sekarang.
Berada di pelukan Bian seperti saat ini memberikan kenyamanan yang lama sekali tidak ia rasakan. Bahkan ia telah lupa, kalau dulu ia pernah mendapatkan kehangatan seperti ini dari seorang lelaki yang tidak ingin diingatnya lagi.
Beberapa saat merasakan kenyamanan dada bidang Bian terasa cukup sebelum nalarnya kembali teringat nasib anak buahnya di sana.
"Tapi aku bukan wanita yang tepat untuk bisa menerima cinta siapapun. Jadi aku harap Tuan Bian melupakan rasa itu," Mayang berucap sembari mencoba melepaskan pelukan Bian yang nyaman itu. Mayang menatap wajah Bian yang sendu.
"Aku bukan wanita yang bisa menerima cinta siapapun. Maaf, aku tidak bisa memberi apa yang Tuan Bian ungkapkan, aku pergi!" ucap Mayang lagi sebelum benar-benar keluar dari mobil tanpa menunggu Bian membalas perkataannya.
Tok tok tok!
Ketukan di kaca mobilnya membuyarkan kekecewaan Bian karena penolakan Mayang tadi. Ia membuka kaca yang terlihat diketuk Mayang dari luar. Bian mengeluarkan kepala sedikit untuk menanyakan maksud Mayang. Saat kepalanya sudah sedikit keluar dari kaca yang terbuka, matanya melebar dan senyumnya kembali tersungging saat menerima hadiah kecil dari Mayang.
"Cup! Ini ucapan terima kasih yang anda minta. Aku tidak ingin berhutang apapun pada Tuan. Sampai jumpa!" ucap Mayang sambil berjalan melambaikan tangan dan tersenyum, setelah mengecup kecil bibir Bian sebagai ucapan terima kasihnya.
Jauh, semakin menjauh. Sosok Mayang hilang di pandangan Bian saat Mayang memasuki lobby apartemennya. Bian tertawa kesenangan karena mendapat hadiah kecil yang berharga dari wanita yang membuatnya tergila-gila itu. Dan dengan hati yang bahagia, ia melajukan mobilnya perlahan untuk kembali pulang.
Sementara itu, Mayang berlari cepat memasuki kamarnya. Dan langsung menuju tempat ia meletakkan jam komunikasinya. Dan benar, baru saja akan dicari, suara jam canggihnya berbunyi dan mungkin sudah sejak lama, karena saat ia membuka, sudah banyak panggilan masuk yang gagal di sana.
"Lion? Kenapa dia?" gumam Mayang. Dan langsung menekan tombol speaker setelah panggilan tersambung.
"Sedang apa kau sejak tadi, Rose? Ratusan kali aku menghubungimu tapi tidak juga kau angkat!" suara Lion yang keras membuat Mayang memejamkan matanya karena kebisingan.
"Kalau kau menghubungiku untuk mengomel, matikan saja! Aku sedang buru-buru menyusul Mark dan yang lain!" jawab Mayang tanpa menghiraukan omelan Lion.
"Itu yang mau aku beritahukan padamu dari tadi, gadis bodoh! Dengarkan aku! Anak buahku melacak keberadaan alat komunikasi milik anak buahmu di perairan teluk Thailand. Dan aku tahu menurut info dari pusat, Alfred Murpy Eagle akan membajak kapal di selat Singapura, dan radar menunjukkan alat komunikasi anak buahmu berada di sana," ucapan Lion kali ini membuat Mayang bergetar setelah Lion melanjutkan kalimatnya.
"Dan baru saja radar anak buahku kehilangan sinyal dari alat komunikasi mereka. Aku harap kau berhati-hati saat ke sana. Setengah jam lagi anak buahku akan tiba dengan helicopter menjemputmu di dermaga terdekat. Hati-hati Rose, Alfred laki-laki tua yang licik. Aku akan mengirim anak buahku juga untuk membantumu, bersiaplah!" panggilan Lion belum selesai saat Mayang mematikan sambungannya.
Tangannya mengepal keras dan tubuhnya bergetar hebat saat membayangkan keadaan anak buahnya di lautan lepas sana.
"Mark, Ben, Rick, tunggu aku. Tetaplah hidup!" ucap Mayang geram.