Chereads / Jodoh Tidak Terduga / Chapter 5 - Keresahan seorang ibu

Chapter 5 - Keresahan seorang ibu

Hari sudah menjelang malam dan Khayrani berkali-kali melihat jam berharap dia mendengar suara motor yang memasuki halaman rumah sebagai tanda kalau putranya pulang.

"Tidak biasanya Ciro terlambat. Apakah dia ada janji? Tapi bukan kebiasaan dia untuk tidak memberi kabar," suara di dalam hati Khayrani bertanya-tanya.

Khay belum memberi kabar pada Alex yang sedang melakukan kunjungan ke negara tetangga. Tetapi Jenny sedang mencari tahu mengapa Ciro belum pulang.

"Selamat malam Nyonya," sapa Jenny pada Khay yang berdiri menatap keluar.

"Bagaimana? Apakah kau sudah bisa menghubungi nya?" tanya Khay khawatir.

"Saya sudah mencoba melacak dari GPS ponsel Tuan Ciro. Tetapi kami menemukan ponsel tersebut berada di pinggir sungai besar yang berada di kota Tanggerang."

"Apakah kau sudah bertanya pada warga? Mungkin mereka ada yang melihatnya?"

"Tidak ada yang melihatnya. Aku langsung mengecek lokasinya ketika ponsel tersebut aktif dan warga di sana tidak ada yang melihat pengemudi motor yang melintas."

"Jadi Ciro tidak mungkin jatuh ke sungai bukan?"

"Tidak mungkin. Aku berharap dari ponselnya dapat diketahui siapa yang menghubunginya terakhir. Tetapi semua datanya telah dihapus. Dan kami sedang berusaha mencari jejak sidik jari pada ponsel tersebut."

"Apakah kau sudah mengatakan pada Tuan?" tanya Khay gugup.

"Sudah. Tuan segera menghubungi ketika nyonya menelepon Tuan berkali-kali."

"Lalu?"

"Kami akan memeriksa parkiran. Tempat terakhir Tuan Ciro memarkir motornya. Dan kami masih mencari tahu," jawab Jenny lagi. "Dan Tuan Sioulus dalam perjalanan pulang ke rumah pada malam ini."

"Terima kasih Jen. Kau boleh pergi sekarang," kata Khay lirih. Dan Khay masih berdiri menunggu sampai Alex tiba di rumah.

"Sayang ... Kenapa masih berdiri di sini?" sapa Alex ketika dia keluar dari mobil dan melihat Khay yang berdiri menunggu.

"Aku sangat khawatir dengan Ciro. Aku yakin ada orang yang berusaha membuatnya celaka," katanya gugup sementara Alex memeluknya erat.

"Kita akan berusaha mencarinya."

Alex sudah akan mengatakan kalau Khay harus tenang, tetapi dia yakin kalau Jenny sudah menyampaikan hasil penemuannya pada Khay.

"Kau harus bisa menemukannya!"

"Yah ... Aku pasti akan menemukannya," jawab Alex tegas.

Alex sangat terkejut saat dia bertanya apa yang menyebabkan Khay menelepon berkali-kali. Bukan kebiasaan Khay untuk melakukan hal tersebut.

Biasanya Khay hanya mengirim pesan dan dia yang akan menelepon balik. Akhirnya Alex menelepon Jenny untuk mencari tahu.

Dan jawaban Jenny hampir saja membuat lupa diri. Ciro memang mendapat pengawasan dari orang-orang pilihannya. Tetapi dengan sifat keras kepala putranya selalu membuat pengawalnya kehilangan jejak.

Dan untuk mengatasi hal tersebut Jenny memasang pelacak pada motor Ciro. Dan pada hari ini mereka kehilangan jejak putranya.

Jenny sebenarnya sudah melaporkan penemuannya pada Alex saat motor yang di bawa Ciro tidak beres dan Alex juga sudah memberi perintah pada Jenny untuk memberikan Ciro motor pengganti.

Tetapi ternyata ada pihak lain yang sengaja mengotak-atik motor Ciro di tempat parkir. Dan pusat pencarian mereka saat ini adalah orang yang terlihat mencurigakan yang berada di dekat motor Ciro.

Magie duduk di kursi di sisi sebelah kanan tempat tidur Ciro. Pandangan matanya seolah terkunci pada wajah dengan mata yang masih tertutup.

"Hai, kamu mau sampai kapan tidak sadar? Apa kamu tidak rindu dengan keluargamu?" Kamu tidak cape berbaring terus. Aku aja yang duduk berdiri cape," katanya dengan suara yang agak kencang.

Sudah lebih dari 24 jam berlalu, tetapi Ciro belum juga sadar. Dan Magie hari ini kembali mengunjungi nya setelah pulang dari Puskesmas.

"Suster, apakah pasien ini sama sekali belum menunjukkan reaksi positif?" tanya Magie pada suster yang baru masuk.

"Belum. Dan sampai saat ini kami masih terus memantaunya. Kenapa tertarik?" terdengar suara seorang pria yang menjawab pertanyaan Magie. Dan pria itu adalah Ivan Ardiansyah. Dokter ahli syaraf yang memantau perkembangan Ciro.

"Apa aku boleh bertanya?" tanya Magie dengan keheranan yang tidak disembunyikan.

"Tentang?"

"Menyapa Dokter Ivan yang menjadi dokternya? Apakah Prof yang menunjuk Dokter?"

"Hemm. Kau akan segera menjadi dokter yang sesungguhnya."

"Maksudnya?"

"Kau akan menemukan jawabannya Magie. Nanti."

Sudah lebih dari 48 jam dan keluarga Sioulus sudah melaporkan kepolisian perihal tidak ditemukan nya Ciro. Hal tersebut dilakukan karena Khayrani sangat khawatir.

Jenny dibantu dengan Andre sejak awal sudah melakukan pencarian tetapi belum juga mendapatkan hasil yang memuaskan.

Sementara itu di rumah sakit Ciro sudah mulai sadar, tetapi seperti dugaan Prof Wildan ... Dia mengalami gangguan ingatan. Dan dia hanya mengingat wajah Magie tanpa mengenal atau ingat namanya sehingga membuat semuanya terkejut. Tetapi dari semuanya ada juga yang menggembirakan, yaitu Ciro tidak mengalami keterbelakangan mental.

"Suster, apakah Dokter Magie sudah datang?" tanya Dokter Ivan.

"Belum dok. Kemarin juga Dokter Magie tidak datang. Dia hanya telepon tanya perkembangan pasien," jawab Suster Rani.

"Kalau hari ini dia datang atau telepon, sampaikan kalau saya ingin bicara."

"Selamat pagi ... Saya sudah sampai di sini."

Terdengar suara dari arah pintu sebelum Suster Rani menjawab pesan dari Dokter Ivan.

"Bagus. Magie, kamu ikut saya sebentar. Ada yang perlu saya sampaikan!"

"Baik Dok."

Magie segera mengikuti langkah Dokter Ivan yang berjalan menuju ruangannya.

"Duduklah ...."

Dengan sikap takjim Magie mengikuti dan dia duduk di kursi yang berada di depan Dokter Ivan. Hanya dipisahkan oleh meja kerja besar yang sebelah kanannya terlihat penuh.

Dokter Ivan segera menjelaskan masalah yang terjadi pada Ciro dan apa yang harus dia lakukan.

"Mengapa tidak ditempatkan di rumah khusus Dok? atau di rumah sakit?" tanya Magie tidak mengerti.

"Pasien ini harus melakukan sosialisasi dan juga harus bergaul. Kalau dia hanya mendapatkan perawatan hal tersebut tidak akan membantunya."

"Jadi?"

"Aku berharap kamu bisa membantu Magie."

"Tapi ... Bagaimana caranya? Lusa saya harus pergi ke Tempino. Apa mungkin saya harus pergi bersamanya?" tanya Magie bimbang.

"Tempino? Ada apa ke sana?"

"Saya mendapat surat tugas di PKM sana Dok," jawab Magie. "Dan kenapa kemarin saya tidak ke sini ya, karena mengurus kepindahan saya."

"Kalau begitu akan saya diskusikan dengan Prof Wildan. Tapi menurutku tidak masalah kalau dia ikut."

Dan Dokter Ivan tergelak melihat juniornya yang merupakan putri dari pemilik rumah sakit tempat dia praktek mendelik kesal.

"Eh, pasiennya ganteng loh Magie..

menurutku serasi sama kamu," goda Dokter Ivan.

"Ga tau ah. Ini udah selesaikan Dok?"

"Sudah. Kamu boleh kembali kok. Mau menemuinya kan?"

"Hem."

Magie segera berjalan keluar sebelum Dokter Ivan menggodanya lagi. Buat Magie, Dokter Ivan sudah seperti ayahnya sendiri karena memang ayahnya dan Dokter Ivan merupakan sahabat dekat.

Magie membuka pintu kamar perawatan dengan pelan-pelan. Dia tidak mau mengganggu Ciro.

"Hai, aku senang akhirnya kamu sadar," sapa Magie pada Ciro.

"Kenapa baru datang?" sahut Ciro jengkel.

"Hah?" Magie begitu terkejut mendengar sahutan bernada kesal.

"Kenapa kamu baru datang?" tanya Ciro lagi.

"Aku ... Aku ada pekerjaan yang harus aku selesaikan lebih dulu. Dan ... Aku minta maaf aku harus mengatakan padamu bahwa aku akan pindah dari pulau Jawa."

"Maksud mu?"

"Yaelah ... Masa aku harus jelaskan dengan detail sih? Dia kan bukan siapa-siapa aku juga," katanya menggerutu.

"Jadi kemana kamu akan pindah?" Suara Ciro terdengar pelan.

"Tempino. Apa kamu tahu?" tanya Magie.

"Bagaimana aku tahu. Nama ku saja aku ga tahu," gumam Ciro pelan.

"Maaf. Tapi bagaimana kamu kenal aku?" tanya Magie mencoba mencari tahu.

"Aku ga kenal sama kamu. Tapi entah mengapa, aku ingat wajah kamu."

"Oooh ...."

"Kok tumben?"

"Apanya?"

"Biasanya kamu akan mengatakan 'Hah'."

"Ga jelas. Eh serius, kamu beneran ga ingat apa-apa?"

Ciro tidak mengerti mengapa Magie masih terus bertanya. Dan dia merasa bosan harus mendengar pertanyaan yang sama sementara dirinya juga pasti akan mengatakan yang sama.

"Kalau saja aku tahu siapa diriku. Aku akan secara jelas mengatakannya. Siapa keluargaku? Apakah mereka tidak khawatir ketika aku tidak pulang?" suara Ciro pelan sehingga Magie harus mendekatkan telinganya agar bisa mendengar.

"Aku minta maaf. Aku belum bicara pada ayahku maupun polisi kalau aku akan pindah. Kalau mereka semua mengijinkan, apa kamu mau ikut bersama denganku?"

"Ikut denganmu?"