Ciro sudah selesai berbicara di telepon dan dia menatap Alex dan Khay yang berdiri berpelukan.
"Berbicara dengan siapa?" tanya Alex pada Ciro ketika putranya berjalan menghampirnya.
"Alessia." Jawabnya singkat.
"Kamu sudah mendapatkan nomor kontak teman-teman mu?" Alex melirik ponsel baru Ciro yang masih berada di genggaman tangannya.
"Aku tidak ingat akun yang aku pakai," jawabnya pelan.
"Perlahan-lahan saja. Dan Papi sudah mempunyai rencana agar kamu mendapatkan pengobatan di
Italia," beritahu Alex dan dia melihat tatapan tidak setuju dari putranya.
"Kenapa? Apakah di sini tidak bisa?"
"Penawar racun yang sudah masuk ke dalam tubuhmu ada di sana. Papi berharap kamu bisa segera pulih. Ada apa? Apa yang membuatmu berat meninggalkan Indonesia?" Selidik Alex.
"Tidak ada. Aku hanya berpikir kenapa harus pergi ke negara yang cukup jauh. Itu saja."
"Kalau saja di negera ini dan tetangga ada obatnya, Papi juga merasa tidak perlu bila harus pergi terlalu jauh," sahut Alex.
"Kapan. Kapan kita akan pergi."
"Besok. Papi sudah mengatur nya. Dan lebih cepat lebih baik untuk mendapatkan penawar tersebut."
Ciro tidak segera menjawab ucapan Alex. Di dalam hatinya dia merasa berat untuk pergi.
"Apakah ada yang membuatmu berat untuk meninggalkan Jakarta Ciro?" tanya Khay lembut.
"Tidak ada. Tadi aku sempat berpikir di sini saja aku tidak mengenal kalian semua apa lagi di sana. Aku yakin bahwa aku akan menjadi orang yang paling asing dan tidak dapat mengingat apa pun juga."
"Mami rasa tidak masalah sayang. Sekarang ini kamu tidak bisa mengingatnya. Tapi Mami yakin kamu akan segera mengingat semuanya."
"Terima kasih Mam."
"Kalau begitu aku akan ke kamar. Selamat malam."
"Selamat malam."
Khay menjawab salam dari Ciro dan dia memperhatikan Ciro yang berjalan meninggalkan mereka berdua menuju lantai 2.
"Menurut Papi Ciro bisa kembali mengingat semuanya?" tanya Khay pelan dengan kepala menengadah menatap Alex.
Alex tersenyum dan dapat merasakan kekhawatiran dari istrinya. "Papi yakin Ciro bisa kembali mengingat semuanya. Dan semoga saja tidak memerlukan waktu yang lama. Bagaimana pun Papi sangat berarti buat kita."
"Papi benar. Dan mami berharap dia bisa mendapatkan nomor kontak teman-temannya sehingga dapat membantunya."
"Papi mengerti maksud Mami," jawab Alex mengeratkan rangkulannya. "Apakah kita akan tetap berdiri seperti ini?" kata Alex dengan nada suara yang sudah jelas menjelaskan maksudnya.
"Tentu saja tidak. Mami akan menyiapkan air mandi buat papi dulu."
Dengan mata berkilat nakal, Alex melepaskan Khay yang menuju kamar mandi sementara dia sendiri melepaskan sisa pakaian yang masih melekat di tubuhnya.
Dengan tubuhnya yang polos, Alex menyusul Khay ke kamar mandi membuat Khay tersenyum.
"Mau membantu Papi?" tanya Alex mendekati Khay dan meletakkan tangannya di pinggul Khay.
"Mengapa tidak? Jawab Khay tertawa.
Mendengar jawaban Khay yang menggoda membuat Alex tertawa puas. Buat dirinya Khayrani merupakan candu dengan kadar tertinggi yang dapat membuatnya mabuk dan selalu ketagihan untuk selalu bercinta dengan istrinya yang cantik.
Alexander Sioulus walaupun usianya sudah tidak muda lagi, tetapi seperti kata pepatah semakin tua semakin jadi. Maka seperti itulah Alex ketika bercinta dengan Khayrani. Wanita yang sudah mendampinginya selama 25 tahun.
Sementara itu di rumah sakit terlihat Dokter Magnolia berjalan dengan langkahnya yang begitu cepat menuju salah satu ruang perawatan.
"Selamat malam Suster. Apakah aku bisa bertemu dengan Prof?" tanya Magnolia pada suster yang berjaga.
"Silahkan Dok. Professor memang sejak tadi menunggu dokter," jawab suter jaga.
"Terima kasih Suster," jawab Magnolia yang meneruskan langkahnya menuju ruang an di mana Professor Wildan menjalani perawatan.
Magnolia mengetuk pintu dengan pelan sebelum dia menggeser pintu dan melangkah masuk.
"Selamat malam Prof. Apa yang terjadi? Bagaimana mungkin ada orang yang bisa menemui dan berbuat jahat pada Prof?" suara Magnolia terdengar kesal ketika menyatakan rasa marahnya.
"Aku yang ceroboh Meg."
"Bagaimana bisa? Selama ini aku berpikir tidak sembarang orang bisa bertemu dan membuat janji. Tapi kenapa hari ini bisa ada orang asing yang menemui Prof?" tanya Magnolia tidak habis pikir.
"Aku terlalu bersemangat ketika mengetahui ada orang yang bisa memberikan obat penawar untuk racun yang di minum oleh putra Tuan Siolus," jawab Prof pelan.
"Apakah Tuan Sioulus ini begitu penting untuk Prof?" katanya sambil menarik kursi dan duduk di samping tempat tidur Professor Wildan.
"Tuan Sioulus … Tidak semua orang bisa bertemu dan mengenal dirinya Meg. Dan aku sangat beruntung bisa bertemu dengannya kembali. Aku tidak tahu apakah dia masih mengingat diriku atau tidak. Tapi apa yang sudah dia lakukan padaku tidak akan bisa aku lupakan dengan mudah."
Magnolia mengernyitkan keningnya mendengar seorang lelaki yang dikaguminya berbicara tentang pria asing.
Di dalam hatinya dia bertanya-tanya 'Siapa sebenarnya orang yang bernama Tuan Sioulus dan mengapa pria itu memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap seorang dokter ahli yang saat ini lebih memilih menjadi ilmuwan'.
"Aku memang tidak mengenal nya dan aku baru mengetahuinya kalau rumah kami tidak berjauhan. Hanya beda blok saja," gumam Magnolia.
"Lalu apa yang membuat Prof ingin bertemu denganku? Sebenarnya aku baru akan berkunjung besok."
"Besok? Tidak khawatir dengan keadaan ku?"
"Tentu saja khawatir. Tapi itu sebelum aku mendengar keadaan Prof baik-baik saja," katanya mengikik geli.
"Gadis nakal. Aku ingin bertanya. Apakah besok kamu jadi berangkat ke Jambi?"
"Jadi, Tapi aku naik penerbangan sore," jawab Magnolia.
"Selamat bertugas Meg. Jangan pernah mengeluh dalam menjalankan tugas. Saat kamu memutuskan untuk menjadi seorang dokter, maka kamu harus mencurahkan perhatian dan pengabdian mu menjadi pelayan masyarakat. Jangan pernah membawa gaya hidup perkotaan mu di dalam tugas. Apakah kamu mengerti?"
Magnolia meraih tangan Professor Wildan yang sudah dia anggap seperti ayahnya sendiri dan menggenggam telapak tangannya erat.
"Aku akan berusaha melakukan yang terbaik dan ingat dengan pesan yang Prof berikan. Aku juga ingin menjadi orang besar yang rendah hati dan bisa bergaul dengan mereka karena aku ingin menjadi yang terbaik."
"Bagus. Kamu harus berusaha. Sekedar baik saja tidak cukup. Karena kamu harus menjadi yang terbaik."
"Doa kan agar aku bisa melakukannya Prof."
"Doa ku pasti bersama dengan mu Magnolia. Kau harus ingat dengan tujuan dan cita-cita mu. Bila kamu mengingatnya maka kamu pasti bisa menjadi dokter yang baik."
Mata Meggie berkaca-kaca mendengar dukungan yang sangat besar. Dan dia memeluk erat tubuh Proffesor Wildan dengan penuh haru.
Cukup lama Magnolia berada di ruang perawatan tersebut dan dia menjadi pendengar yang baik serta menyerap semua ilmu dari pengalaman seorang ilmuwan di bidang pengobatan.
Magnolia melirik jam tangannya dan dia tahu bahwa sudah waktunya bagi pasien untuk istirahat sehingga dia segera berpamitan.
"Pulanglah. Buktikan pada orang tua mu bahwa pilihan mu tidak salah. Katakan padanya bahwa untuk sukses tidak selalu menjadi pengusaha."
"Tentu Prof. Aku bersyukur sebagai pengusaha Papa bisa membangun rumah sakit ini dan membantu warga miskin yang membutuhkan pelayanan yang baik," kata Meggie tersenyum.
Meggie meninggalkan rumah sakit untuk langsung pulang ke rumah nya. Rumah keluarga yang hanya di huni olehnya dan beberapa orang pelayan saja.