Bandara Sultan Thaha Saifuddin. Meggie akhirnya menginjakkan kakinya di Bandar udara yang berada di kota Jambi. Dan dia sudah keluar dari dalam pesawat dan menuju pintu keluar terminal kedatangan untuk menunggu orang yang menjemputnya.
"Jam berapa orang Puskesma datang menjemputku," katanya mengrenyitkan dahi.
"Aku pikir begitu aku tiba sudah ada orang yang menunggu," katanya tersenyum kecut.
Dengan wajah terlihat sedikit kesal, Meggie mencari kursi dan dia mendapati satu buah kursi kosong dan dia membawa kopernya ke sana, sementara matanya mencari-cari orang yang akan menjemputnya.
Tidak menemukan orang yang dia cari, Meggie mengeluarkan ponselnya dan dia menelepon nomor tersebut. Nomor orang yang mendapat tugas untuk menemui dan membawanya ke daerah tempat dia bertugas.
Panggilan telepon berlalu begitu saja tanpa ada jawaban sehingga Meggie terlihat tidak sabaran.
Setelah sekian kali melakukan panggilan, akhirnya terdengar suara seorang wanita menjawab teleponnya.
"Halo Suster Lili. Saya Dokter Meggie, apakah suster sudah berangkat ke bandara?" tanya Meggie langsung.
"Sudah Dok. Maaf tadi mobil nya di bawa dokter yang lain. Sekarang saya sudah berada di parkiran dan berjalan ke sana. Maaf dokter pakai baju apa ya?"
Suara Lili terdengar tidak jelas karena suara nafasnya memburu.
"Saya pakai bluse warna biru Sus. Ini nanti saya kirim foto saya saja ya," katanya dan diapun menutup teleponnya.
Meggie melakukan swafoto dan mengirimnya pada Lili.
Meggie mengeluarkan botol air minum yang selalu dibawa kemanapun dia pergi, dan mulai meminumnya ketika seorang wanita bertubuh gempal datang menghampiri.
"Permisi. Dengan Dokter Magnolia?" tanya wanita itu.
"Benar. Anda Suster Lili?"
"Iya Dok. Maaf kalau dokter sudah lama menunggu," katanya dengan wajah memerah dan terlihat sangat lelah.
"Apa bawa an dokter hanya ini?" tanyanya saat melihat koper Meggie yang tidak begitu besar dan hanya satu.
"Benar. Yang lainnya akan menyusul. Mobilnya di mana Suster?" Meggie berjalan mengikuti Lili yang ternyata cukup cepat kalau berjalan.
"Di sana Dok. Tadi dapet parkirannya jauh."
Tidak ada suara yang keluar dari mulut Meggie karena dia hanya tersenyum saja. Dia tidak mau Lili menghabiskan nafasnya dengan bicara yang tidak perlu dan bisa dilakukan lain kali.
Lili membawa Meggie ke sebuah mobil minibus berwarna putih dan tidak berapa lama keluar seorang laki-laki separuh baya yang rupanya sopir dari mobil minibus tersebut.
"Mari dok saya masukkan kopernya ke dalam mobil," katanya tersenyum.
"Terima kasih Pak. Nama bapak siapa?" tanya Meggie setalah mereka sudah berada di dalam mobil dan siap meninggalkan bandara.
"Nama saya Sukad Bu Dokter," beritahunya sopan.
"Oh."
Meggie memperhatikan keluar jalan dan sesekali menjawab pertanyaan yang diberikan oleh Suster Lili yang berusaha bersikap akrab..
"Dokter sudah menikah?" tanya Lili pelan.
"Belum. Saya kan baru selesai Suster. Jadi untuk menikah, belum kepikiran. Suster sendiri?"
"Saya sudah menikah Dok. Dan saya juga sudah punya dua orang anak," katanya bangga.
"Oh Ya? Selamat ya. Sepasang?"
"Iya dok sepasang, Makanya saya langsung stop. Mau ikuti anjuran pemerintah." Katanya malu.
"Suster hebat ini. Tapi kalau di beri lagi ga masalah kan?" goda Meggie.
"Ya kalau kecelakaan, terus diberi rezeky. Apa boleh buat," jawabnya hingga Meggie tertawa. Tertawa karena ucapan Lili yang seperti pasrah.
Sepanjang perjalanan mereka, Suster Lili tidak hentinya berbicara memberikan informasi pada Meggie. Dan Meggie sangat beruntung bertemu dengan seorang suster yang bisa memberikan informasi padanya sebelum dia mulai bekerja pada hari Senin.
Setelah melakukan perjalanan hampir 4 jam, Mobil yang dikendari oleh Sukad akhirnya sampai di depan sebuah rumah mungil berwarna biru. Cantik dan sangat mempesona.
"Nah Dokter. Ini adalah rumah dokter selama bertugas. Nanti ada orang yang membantu pekerjaan rumah namanya Bu Nena."
Suster Lili berjalan di depan dan dia membuka pintu rumah tersebut dengan kunci yang dibawanya.
Meggie memperhatikan rumah tersebut dan dia tersenyum karena rumah yang dia tempati sepertinya berada di lingkungan yang ramah.
"Suster Lili. Apa nanti Bu Nena akan tinggal di sini bersama dengan saya?" tanya Meggie setelah Sukad meletakkan kopernya di ruang tamu dan pria itu kembali ke mobilnya lagi.
"Iya Dok. Bu Nena nanti akan tinggal bersama dengan Dokter. Tapi kalau dokter tidak keberatan. Kalau dokter lebih suka sendiri makan Bu Nena ini akan pulang setelah pekerjaannya selesai."
"Sepertinya saya lebih suka di temani Suster," jawab Meggie tertawa.
Lili ikut tertawa dengan jawaban Meggie dan dia kemudian bertanya lagi seolah-olah pertanyaan tersebut sudah sejak tadi dia lakukan.
"Maaf Dok. Apakah dokter mau ke rumah Pak RT sekarang? Kemarin waktu dokter mengatakan kalau hari ini dokter akan datang, saya sudah bicara dengan Pak Rt."
"Kalau begitu kita pergi sekarang saja Suster. Apakah rumahnya jauh?" tanya Meggie.
"Lumayan Dok. Dan kita akan di antar sama Pak Sukad nanti." Jawab Lili.
"Baiklah. Oh Ya. Kira-kira untuk mendapatkan kendaraan di mana ya Suster?" tanya Meggie yang tidak nyaman bila tidak ada kendaraan yang dapat dia pakai.
"Maksud dokter sepeda motor?"
"Sebenarnya kalau ada mobil saya lebih memilih mobil. Tapi mungkin itu akan berlebihan ya," jawabnya nyengir.
"Tidak kok Dok. Di sini sudah banyak orang yang memiliki mobil."
Lili berbicara seperti itu karena dia cukup update untuk menilai bahwa Meggie adalah dokter yang cukup berada. Dia melihat barang-barang yang di pakai oleh Meggie adalah barang-barang bermerk. Walaupun dia sendiri tidak tahu perbedaan barang tiruan atau asli.
Sukad dan Lili membawa dan mengenalkan Meggie ke rumah Pak Rt yang ternyata seorang pria sebaruh baya dan seorang pensiunan anggota TNI.
"Selamat siang Pak RT. Kenalkan ini Bu Dokter yang akan bertugas di desa kita ini. Namanya Dokter Magnolia Iskandar."
Suster Lili mengenalkan Meggie dan dia segera mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan ketua Rt setempat.
"Wah. Ternyata dokter masih muda sekali ya. Anak muda sekarang memang hebat ya. Usia semuda ini sudah menjadi seorang dokter. Kenalkan nama saya Pak Rizman. Rizman Karo."
"Terima kasih atas pujiannya Pak Rizman. Saya mungkin akan banyak membutuhkan bantuan dari Bapak."
Meggie menilai bahwa ketua Rt yang bernama Rizman adalah seorang pemimpin warga yang disegani. Terbukti dari sikap Lili dan Sukad yang tidak banyak bicara seperti sebelumnya.
"Dokter tidak perlu khawatir. Saya sebagai ketua Rt tentu saja akan berusaha membantu kalau ada yang dibutuhkan oleh dokter. Apalagi dokter sudah bersedia datang ke desa kami yang jauh dari kota."
"Jauh dari kota tapi bukan berarti tertinggal ya Pak," kata Meggie tersenyum.
Pak Rizman tertawa. Dan dia yakin kalau dokter muda yang baru datang ini memiliki mata yang tajam untuk melihat kalau warganya memiliki status ekonomi yang tinggi.
"Saya yakin karena dokter melihat banyaknya warga kami yang memiliki kendaraan roda empat. Benar bukan? Mereka memang memiliki kendaraan roda empat Dok. Tapi mereka tidak bekerja. Mereka semua mengandalkan keluarga mereka yang bekerja di luar negeri. Lebih tepanya di Negara tetangga."
Pak RIzman menjelaskan mengenai warganya yang menyerupai sebuah sinetron yang tayang di salah satu stasiun tv swasta.
"Oh begitu. Tapi bagaimana mereka mendapatkan pengobatan? Apakah mereka memilih pergi ke rumah sakit di kota atau di Puskesmas terdekat?"
"Suster Lili mungkin yang lebih bisa menjawabnya Dok," sahut Pak Rizman.
Lili yang sejak tadi hanya menjadi pendengar menjadi tergagap ketika dia ditanya pendapatnya.
"Mereka semua lebih memilih untuk pergi ke kota Dokter. Dengan status ekonomi mereka yang cukup mampu, Puskesmas sama sekali tidak di anggap. Mereka hanya berpikir kalau tempat kami adalah balai pengobatan yang tidak bisa diandalkan."
"Kenapa bisa begitu suster?"
"Di Puskesmas kami yang hanya merupakan balai pengobatan hanya ditangani oleh seorang dokter . Karena factor usia, beliau tidak selalu berada di tempat. Sementara yang memberikan pelayanan adalah para mantri kesehatan. Jadi keterbatasan tenaga medis yang membuat warga lebih memilih berobat ke luar kota. Mungkin dengan adanya Dokter Meggie, mereka akan memilih untuk berobat di sini."
"Saya mengerti. Terus terang saya sendiri selalu menginginkan yang terbaik untuk kesehatan."
"Begitulah Dok. Kemajuan ekonomi warga membuat cara berpikir warga juga berkembang," jawab Pak Rizman tertawa.