Suara langkah kaki terdengar jelas saat Profesor Wildan dan Magie berjalan cepat menuju ruang UGD.
"Kamu tunggu di sini. Dan kamu cari informasi kebagian penerimaan pasien. Cari data dirinya!" perintah Profesor Wildan pada Magie ketika mereka sudah berada di depan pintu ruang UGD.
"Baiklah. Aku akan mencari informasi tentang pasien tersebut," sahut Magie.
Profesor Wildan sudah menutup pintu dan Magie segera berbalik menuju bagian informasi dan dia bertemu dengan salah seorang polisi. Polisi yang tadi berada di tempat kejadian.
"Selamat sore Pak. Apakah bapak memerlukan sesuatu?" tanya Magie pada polisi tersebut.
"Selamat sore juga dok. Saya datang ke sini untuk mencari informasi tentang pasien yang tadi kita bawa kesini. Bagaimanapun pihak keluarganya harus diberi kabar bukan? Kenalkan nama saya AKP Andriyan. Panggil saya Andri."
"Oh begitu. Apakah bapak sudah mendapatkan informasinya. Karena saya juga hendak mencari tahu tentang korban tadi," jawab Magie.
"Tapi sayang sekali Pak Polisi dan Dokter Magie. Pihak rumah sakit tidak menemukan identitas apapun di tubuh korban. Dompetnya memang ada dan uangnya juga masih ada tetapi kartu identitasnya tidak ada," jawab bagian informasi.
"Apakah suster sudah memeriksanya dengan teliti?" tanya Magie tidak mengerti.
"Sudah dok. Ini adalah dompet yang berada di dalam saku jaketnya," jawab suster dan dia menyerahkan dompet yang ditemukan di tubuh Ciro.
Magie dan Andrian saling bertatapan dan Magie mengambil dompet tersebut dan memeriksa isinya.
"Aneh, mengapa tidak ada kartu apapun yang menunjukkan siapa dirinya. Atau …."
"Atau ada pihak lain yang sudah mengambil kartu identitasnya lebih dulu dan orang itu adalah orang yang sudah menyebabkan dirinya celaka," jawab Andriyan meneruskan ucapan Magie.
"Lalu bagaimana kita dapat mengetahui siapa dirinya?" tanya Magie pelan.
"Hanya menunggu dia sadar hingga kita dapat bertanya padanya," sahut Andrian sehingga Magie menoleh ke arahnya dan tersenyum.
"Kalau begitu aku akan kembali ke ruang UGD untuk mendengar penjelasan Profesor yang sedang menangani pasien itu."
Tanpa menunggu jawaban dari Andrian, Magie kembali ke ruang UGD dan dia menunggu di depan pintu dan tidak berapa lama Andrian menyusul.
"Kau adalah dokter, kenapa tidak masuk?" tanya Andrian padanya.
"Aku adalah dokter yang masih menyelesaikan tugas dinas di PKM. Tentu saja aku bukan siapa-siapa bila dibandingkan dengan keahlian dokter yang berada di rumah sakit ini," jawab Magie.
"Maksud mu kau adalah mahasiswa yang sedang melakukan kuliah kerja nyata?" tanya Adrian ingin tahu.
"Bukan. Aku sudah mendapatkan gelar dokterku. Tetapi sebagai dokter kami mempunyai kualifikasi tertentu," sahut Magie.
"Oh begitu," balas Andrian dan mereka serentak bangun dari duduknya ketika melihat professor Wildan keluar.
"Bagaimana Prof?" tanya Magie cepat.
"Kami sudah berhasil mengeluarkan sebagian obat yang sudah diberikan padanya. Tetapi jumlah yang sudah mengalir ke sel-sel di dalam tubuhnya lebih banyak dari yang kami keluarkan. Jadi kami akan memantau perkembangan otaknya, apakah mempengaruhi ingatan dan daya pikirnya atau tidak," jawab Prof Wildan dengan mengerutkan dahinya.
"Ada apa Prof? Apakah ada yang lainnya?" tanya Magie.
"Aku hanya berpikir bagaimana dia bisa mendapatkan obat yang sangat berbahaya itu. Kalau dia beruntung maka dia hanya menderita lupa ingatan. Kalau tidak dia akan menderita keterbelakangan mental."
"Apa? Apakah Anda tidak salah?" tanya Magie dan Andrian berbarengan.
"Hanya perkiraan terburuk. Apakah kamu sudah mengetahui siapa dirinya?" tanya Prof Wildan pada Magie.
"Tidak Prof. Kami tidak menemukan apapun."
"Lalu di mana botol obat tersebut? Aku rasa kita bisa mencari tahu siapa pemilik botol tersebut karena botol obat tersebut bukan berasal dari Indonesia dan setahuku hanya orang-orang yang bergerak di dunia hitam yang biasa memakainya."
"Maksud Prof orang yang mempunyai botol ini adalah bagian dari dunia kejahatan yang bukan berasal dari Indonesia. Dari mana Prof mengetahuinya?"
"Dari pengalaman," jawab Profesor Wildan tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut lagi. "Magie, apakah aku bisa menyerahkan tanggung jawab merawat pasien tersebut padamu? Tentu saja setelah dia sadar."
"Aku? Tapi Prof kan tahu kalau aku bekerja di PKM."
"Lalu apa masalahnya? Kau justru bisa memantau perkembangan dirinya." Jawab Prof Wildan sambil berjalan meninggalkan mereka berdua.
Andrian memperhatikan wajah Magie yang terlihat cemberut dan tidak menyukai tanggung jawab yang diberikan olehnya.
"Sepertinya hubungan kalian sangat dekat. Apakah Profesor itu kerabat mu?" tanya Andrian ingin tahu.
"Kenapa?"
"Karena kalian sangat akrab dan tidak mungkin bukan seorang dokter PKM bisa meminta seorang Profesor untuk menangani pasien di ruang UGD?" kata Andrian menjelaskan.
"Profesor Wildan adalah alasan aku menjadi dokter. Dan rumah sakit ini adalah milik keluarga ku. Jadi aku beruntung ketika menghubungi pihak kepolisian ternyata mengirim ambulans yang berasal dari rumah sakit ini," jawab Magie.
"Dan artinya kamu memang pantas di berikan tanggung jawab untuk merawat korban itu. Bukankah kau tadi mengatakan beruntung?" kata Andrian tersenyum.
"Kalau yang ini bukan beruntung tapi lebih sebagai beban."
Andrian baru akan membalas ucapan Magie ketika dari dalam ruang UGD, dua orang suster mendorong tempat tidur pasien dan membawanya ke ruang perawatan.
"Maaf suster, kalian akan membawa ke mana pasien itu?" tanya Magie mengikuti suster.
"Sesuai perintah Profesor Wildan kami akan membawanya ke ruang VIP agar mendapatkan penjagaan ekstra dan juga pengobatan yang lebih baik."
"Bukan ke ruang ICU?"
"Bukan dok, karena pasien ini sudah melewati masa kritisnya. Itu yang disampaikan oleh Profesor Wildan."
"Oh begitu," katanya dan mereka terus mengikuti suster yang membawa Ciro ke ruang perawatan VIP.
Magie dan Andrian berjalan memasuki kamar perawatan VIP yang diberikan oleh Profesor Wildan.
"Kenapa prof memberikan kamar seperti ini pada orang yang tidak dikenal? Apa maksudnya?" benak Magie bertanya-tanya.
"Kenapa? Apa yang kamu pikirkan sama dengan yang aku pikirkan?" tanya Andrian melirik Magie.
"Maksud Anda?"
"Apakah prof mengenal korban itu?" tanya Andrian.
Magie tidak tahu harus mengatakan apa sehingga dia hanya mengangkat bahu.
"Aneh bukan?" terdengar suara Andrian lagi saat mereka berjalan mendekat.
Magie dan Andrian menatap wajah yang berbaring tidak berdaya. Wajah tampan yang mereka lihat sangat berbeda dari pria lainnya.
"Dia pria keturunan. Wajahnya bukanlah asli pribumi." gumam Andrian.
"Benar. Dia mempunyai kewarganegaraan apa, hanya bisa menunggu dia sadar," jawab Magie pelan.
Andrian menatap jam yang melingkar dipergelangan tangannya dan dia menatap Magie dengan mengerutkan dahinya.
"Ada apa?" tanya Magie menaikkan sebelah alisnya.
"Waktu kamu sampai di tempat kejadian, apakah kamu melihat sesuatu?" tanya Andrian dengan tatapan menyelidik.
"Tidak. Jujur aku sebelumnya hanya berpikir kecelakaan lalulintas biasa dan hanya bermaksud menunggu api nya tidak terlalu membahayakan. Dan saat aku melihat sekeliling aku melihat ada yang tergeletak diluar jalan."
"Lalu darimana kamu menemukan botol obat tersebut?" tanya Andrian dengan nada mendesak.
"Saat aku melihat luka di kepalanya dan aku mencari tahu apa yang membuatnya terluka. Kalau hanya terlempar dari motor, aku rasa lukanya tidak akan seperti itu. Dan botol tersebut karena aku merasa aneh saja. Jadi aku mendokumentasikan. Siapa tahu perlu sebagai barang bukti. Anda tidak bermaksud menjadikan aku sebagai tersangka bukan?"
"Tentu saja bukan. Aku hanya berharap kamu bersedia sebagai saksi bila kami perlukan," jawab Andrian.
"Oh seperti itu," jawab Magie terlihat tidak tertarik.
"Anda bersedia bekerja sama bukan?"
"Aku harap aku bisa. Tentu saja selama aku mampu," jawabnya.
Pandangan Magie kembali pada tubuh Ciro dan tanpa dia sadari tangannya terulur ke wajah Ciro membuat Andrian tersenyum.
"Dia tampan bukan? Apakah dia menjadi salah satu korban dari wanita yang dikecewakan?" ucap Andrian.
"Hemm.. Aku berpikir bagaimana saat dia sadar nanti dan menderita keterbelakangan mental. Lupa ingatan, tidak tahu siapa dirinya dan harus menderita." gumam Magie.
"Aku yakin dia akan mampu melewatinya. Bukankah Prof tadi mengatakan kalau kamu yang merawatnya?"
"Prof itu kalau bicara kadang tidak berpikir lagi. Bagaimana mungkin kami yang tidak mempunyai ikatan apa pun bisa tinggal bersama," dengus Magie.
"Menurut mu kapan kira-kira dia sadar?" tanya Andrian kembali.
Magie meliriknya dan dia menghela nafas.
"Aku tidak tahu karena aku belum sempat bertanya pada Prof atau pun dokter yang nanti akan menanganinya. Kalau Anda ada kepentingan lain ... Silahkan, aku tidak akan menahan Anda," kata Magie.
"Benar. Aku masih ada kepentingan yang harus aku selesaikan. Apakah aku bisa tahu nomor Anda. Agar aku bisa menghubungi kalau aku memerlukan informasi lanjutan," ucap Andrian yang mendapatkan kerutan dahi dari Magie.
"Baiklah ... Bisa pinjam ponsel Anda?" katanya.
Dengan senyum di sudut bibirnya, Andrian memberikan ponselnya dan tidak berapa lama Magie memberikan kembali ponselnya.
"Aku sudah menyimpan nomor ku. Kalau Anda mau meneleponku, sebaiknya kirim pesan dulu," beritahu Magie.
"Baiklah. Aku akan mengirim pesan bila nanti akan menghubungi mu. Kalau begitu aku permisi dulu. Selamat sore menjelang malam."
"Malam ... Aku rasa lebih tepat kalau aku jawab malam," jawab Magie dengan senyumnya.
Dengan langkahnya yang lebar, Andrian meninggalkan rumah sakit dan kembali ke kantor untuk melaporkan bahwa korban belum bisa diketahui identitasnya.