Chereads / Her Sweet Breath / Chapter 9 - DELAPAN: PESTA TOPENG

Chapter 9 - DELAPAN: PESTA TOPENG

Aku menatap kosong gorden krem yang menutupi jendela besar di ruangan. Aku berdiri dari kursiku dan menarik tali pengait di sisi jendela dan membuka lebar gorden tersebut. Aku berdiri tegap di depan jendela menatap suasana Jakarta di sore hari menjelang malam. Pikiranku melayang pada ingatan samar kemarin dimana aku merasa bertemu sosok wanita yang aroma dan rasa ciumannya sama persis dengan gadisku. Namun Rekka bersikeras bahwa tidak ada wanita seperti itu.

Buk... aku memukul pelan jendela lebar itu dengan telapak tanganku. Kenapa aku bisa membayangkan dirinya secara nyata selama delapan tahun pencarian tanpa hasil akan dirinya. Aku menghela napas panjang, menyisir rambutku dengan buku jari tanganku sebelah kanan, sedangkan tangan kiriku aku masukkan di dalam kantung celana.

Jika memang itu hanyalah halusinasi karena efek minuman, aku rela mengulangnya lagi demi merasakan rasa manis dan aromanya meski dalam mimpi.

"Mimpi sesaat yang indah," Aku bergumam sembari menatap pantulan diriku di kaca. Aku terdiam sejenak dan membalikan badanku ketika melihat seseorang di belakangku melalui pantulan kaca itu. Aku sedikit melotot pada orang itu seketika.

"Jangan menatap tajam seperti itu?! Aku sudah mengetuk pintu berulang kali tapi tidak kau hiraukan. Jadi aku langsung masuk saja, lagipula aku orang sibuk tidak sepertimu yang banyak melamun di depan kaca." Olivia menatap mengejek yang aku balas dengan dengusan kesal.

Aku berjalan kembali ke mejaku dan duduk di kursiku di balik meja. "Ada apa kamu kesini? Merindukanku?" candaku padanya. Olivia langsung memasang wajah jijiknya padaku.

Ia melemparkan map berwarna biru ke arahku, "tanda tangani ini."

Aku menaikan sebelah alisku dan meraih map yang sudah tergeletak di atas meja depanku.

"Jazzy? No DJ?" tanyaku setelah melihat berkas yang ia sodorkan dan tak lain persetujuan untuk acara ulang tahun perusahaan akhir minggu ini. Ia menganguk sembari menyilangkan tangannya di dada sehingga dada besarnya menyembul. Aku meneliti kembali berkas yang ia serahkan, "Arc Club? Not our Ballroom?" lanjutku sembari menaikan sebelah alisku.

"Nah ah..." ia menggelengkan kepalanya, "oh come on... kemarin kita sudah mengadakan acara di sana, tahun kemarin juga. Kamu tidak bosan? Pegawai yang lain sudah bosan. Lagipula temanya pesta topeng dan semua sudah tidak sabar. Apalagi undangan sudah tersebar." Ia memberikan senyum liciknya yang membuatku tak berkutik dengan kecepatan kerjanya.

"Oke, sediakan aku ruangan khusus, aku ada tamu penting," ujarku sambil menandatangani berkasnya, "dan tetap sediakan DJ set di belakang panggung biar lebih meriah."

"No, Leo! Pesta kali ini tanpa DJ, aku sudah mengundang musisi Jazz yang dapat memeriahkan acara. Aku ketua pelaksana aku yang memutuskan."

"Aku atasanmu!"

"Kalau begitu aku mundur. Kamu saja yang mengurusi semua!"

Sialan, tatapan tajamnya yang tidak bisa dibantah mulai muncul.

"Fine! Terserah padamu. Aku tetap minta private room." Aku pun menyerahkan berkas yang telah kutanda tangani padanya. Aku benar-benar tidak bisa melawan sanggahannya yang masuk akal. Ia pun segera keluar dari ruanganku dengan pantat besarnya menghadap padaku.

Olivia, satu-satunya wanita berkompetent dalam kerjaannya dan satu-satunya wanita yang tidak terbujuk akan rayuanku. Suatu keberhasilan bagiku yang menariknya bekerja pada perusahaanku dari pada perusahaan keluarganya. Kala itu ia menolak keras bekerja dengan keluarga, ia tidak mau rekan kerjanya memandang sebelah mata hanya karena dia anak presider disana. Ketika aku menawarinya pekerjaan, tanpa berpikir dua kali ia menyetujui tawaranku. Setelah dua tahun bekerja ia melesat menjadi chief Secretary. Belum lagi ayahnya yang tidak mau lepas dengan putri kesayangannya, sehingga kami melakukan Merger dengan salah satu cabang perusahaan dan menghasilkan banyak keuntungan bagi perusahaan.

Aku memajukan tubuhku di meja dan menekan tombol intercom untuk berbicara pada receptionist, "suruh Reeka ke ruanganku sekarang," perintahku. Aku pun mulai tenggelam dengan kerjaanku menunggu kedatangan Rekka di ruanganku. Memperhatikan semua berkas di meja membuatku jengah, sepertinya aku akan menginap lagi di kantor untuk menyelesaikannya.

"Ada apa?"tanya Rekka sat masuk ke ruangan dengaan membawa notebooknya. Aku mendongakkan kepalaku dan bersandar pada kursi empukku.

"Undang Kenar ke acara ulang tahun perusahan, aku ingin berdiskusi mengenai pembelian saham perusahaan." Rekka mencatat perintahku di pad-nya, "Sekalian, sebelum kamu pulang antarkan bajuku. Sepertinya aku akan menginap lagi di sini," tambahku. Rekka menutup mengunci pad-nya dan menatapku sembari menghela napas.

"Kamu tidak akan menginap malam ini. Aku akan membantumu menyelesaikan pekerjaan. Jangan lupa aku ini asistenmu."

"Aku bisa selesaikan sendiri. Kamu terlalu sering bersamaku, apa kamu tidak kasihan dengan kekasihmu?" ia menatapku tidak percaya, seakan aku membongkar rahasianya. Aku tersenyum jail, "Oh... kamu kira bisa membohongi tuan Leonardo akan statusmu yang tidak sendiri lagi? Aku sering mendengarmu berhubungan mesra lewat telpon secara sembunyi-sembunyi."

"Kamu menguping?" Ia menatapku dengan muka merah padam antara marah dan malu.

"Oh ayolah, aku tidak menguping siapapun, kamu sendiri yang menghubunginya di sekitarku. Ah... bagaimana kalau kamu undang juga Alex dan Gading. Acara ini juga bisa sebagai perayaan akan statusmu. Kekasihmu pasti datang bukan!"

"Jangan sembarangan bicara. Aku akan antarkan bajumu dan kamu bisa menginap sesukamu." Rekka berbalik, berjalan menjauhiku dengan muka kesalnya. Aku hanya bisa menahan tawa setiap kali aku berhasil meruntuhkan pertahanannya, Poker Face.

"Jangan lupa undang Alex dan Gading!" ulangku kembali setengah berteriak sebelum ia menghilang di balik pintu. Suasana kembali sunyi. Aku memandang tumpukan dokumen di meja kerja dan menghela napas panjang.

Aku harus menyelesaikan semua ini sebelum acara pesta itu, agar aku bisa bersenang-senang dan mencari pencarianku kembali.

Suara tiupan saxophone terdengar begitu serasi mengalun di seluruh klub yang sudah mulai ramai dengan para undangan, sesaat aku menyelesaikan pidato singkat dan turun dari atas panggung. Pesta ulang tahu ini terasa begitu sukses ketika melihat antusias para undangan. Olivia menghampiriku ketika menemukan sosokku di antara kerumunan orang.

"See... acara tetap meriah walaupun jazz bukan musik electro DJ?" sindirnya sambil menunjukkan senyum sumringahnya.

"Whatever~" jawabku malas meladeninya, "mana ruang privat pesananku?" tanyaku mengganti topik pembicaraan. Ia pun menunjuk ruangan menonjol di ujung ruangan yang hanya tertutup tirai manik dan di depannya sudah berdiri Fajri sebagai penjaga.

Aku memasukan tangan kiriku ke kantong celana dan menepuk singkat pundak Olivia dengan tanganku. Setelahnya aku berjalan melewati para undangan yang sedikit liar ke tempat yang ditunjuknya. Seperti makhluk halus, Rekka ikut berjalan di sampingku dan membisikan bahwa Kenar telah datang dengan pasangannya. Aku menatap tidak percaya, segera aku mempercepat langkahku untuk menemui Kenar dan ingin menggoda yang sebelumnya bersikeras tidak bermain wanita sejak menemukan wanita bersuara emas. Aku hanya geli mengingat wajahnya kala itu yang seperti orang bodoh.

Aku segera membuka tirai manik secara lebar dan menatap sekeliling. Kenar duduk dengan santai di sofa berwarna krem dan seorang laki menghadap belakang, punggung yang aku kenal. Aku mengerutkan dahiku sehingga kedua alisku hamper menyatu.

"Aku tidak pernah merasa mengundang badut disini," ujarku sembari duduk berhadapan dengan Kenar yang saat ini menahan tawanya di balik topeng putihnya. Lelaki itu pun berbalik menghadapku, ia menggenakan topeng warna silver dan aku masih bisa mengenali sosoknya yang selalu jadi Joker ketika kami berkumpul.

"Sialan! Mulut vulgarmu tidak pernah berubah."Reno, pasangan Kenar mendengus kesal. Samar-samar aku bisa mendengar Rekka yang sudah ada di dalam menahan tawanya. Aku menatap tajam, setajam belati namun tak di hiraukannya. Ia memang suka sekali jika si badut itu menyerangku.

"Kenapa kau bawa dia?" Aku menatap Kenar yang mulai menyandarkan punggungnya.

"Karena dia tidak ada pasangan. Lagipula kamu kejam sekali tidak mengundangku ketika banyak wanita cantik di pestamu." Reno menjawab pertanyaan yang kutunjukkan pada Kenar dengan menggebu-gebu. Aku hanya menghela napas pendek mendengar ocehannya.

"Kalau begitu hibur saja wanita cantik itu." Tanpa peringatan, ia pun melesat keluar ruangan dan meninggalkan kami bertiga di dalam, "Sebaiknya kau awasi dia, sekaligus kamu bisa menunggu kekasihmu." Aku menatap jail pada Rekka.

"Rekka sudah ada?"tanya Kenar penasaran. Aku mengangguk dengan tersenyum bangga akan berita yang ditutupinya. Kenar pun berdiri dan menjabat tangan sembari menepuk pundak Rekka. "Baguslah, berkurang satu buaya darat." Kalimatnya ini serasa sindiran di telingaku.

"Memang siapa budaya darat?" tanyaku sambil memutar mataku. Kenar dan Rekka melirikku bersamaan.

Sialan.

"Sudah cukup! Bagaimana hasil pembelian saham itu?" tanyaku mengalihkan pembicaran. Kenar pun kembali ke tempat duduknya sedangkan Rekka keluar ruangan meninggalkan kami berdua.

"Aku berhasil menarik dua penjual dengan setengah harga pasaran."

"Memang kau tahu berapa harga pasarannya?"

"Tentu saja, aku tidak bertindak sembarangan. Aku melakukan penelitian terlebih dahulu sebelum mendekati mereka. Rekka membantuku mendapatkan data-data mereka. Jika deal sahammu akan bertambah 20%." jelas Kenar. Aku pun mengangguk sembari menuangkan minuman di gelasku dan menyesapnya.

Bukannya tidak sopan karena tidak menawari tamu di depanku minum. Namun Kenar selalu menolak minuman berakohol walaupun dalam pesta, kecuali dia ada masalah, dia bisa menghabiskan dua botol whisky dalam semalam. Itu pun dengan standard tertentu yang membuatnya tumbang. Toleransi minumnya sangat tinggi, aku yang hampir setiap hari menegak minuman ber-alkohol selalu kalah jika disuruh beradu minum dengannya.

"Kapan kau akan menemui mereka?" tanyaku.

"Dalam waktu dekat ini, karena harga saham sering berubah, aku meminta secepatnya."

"Baiklah, informasikan ke Rekka, dia akan menyiapkan berkas jual beli dan dana pembeliannya." Aku meletakan gelas minumanku dan mulai bersandar sembari menyilangkan kaki, "Jika kau ada waktu kamu bisa menikmati pesta ini. aku sudah mengundang Alex dan Gading. Sebentar lagi mereka akan datang, sekaligus kita akan merayakan status Rekka yang sudah tidak sendiri selama empat tahun lamanya."

Aku mengetuk pelan gelasku pada gelasnya yang berisi air mineral yang di tuangkannya sendiri. Kami berbicara singkat mengenai Quarter ent. dan kafe yang dimiliki ayah Reno dimana aku menginvestasikan uangku disana meski hanya seperempat bagian. Tak terasa, waktu lewat begitu saja, Alex dan Gading masuk ke dalam ruangan dengan menggandeng wanita di samping mereka yang bisa aku tebak salah satu tamu undanganku yang sedikit linglung karena kebanyakan minum.

"Big news, pesta perusahaanmu jadi trending topic di social network!" seru Reno yang masuk tiba-tiba sembari menyodorkan layar ponselnya. Kami menatapnya dan tertawa bersamaan.

"Itu berita basi, bro! Semua pesta yang diadakan oleh RDK Corp. selalu menjadi berita utama." Alex menepuk merangkul dan menepuk pundak Reno dari belakang.

"Belum dapat wanita incaran?" sindirku ketika melihatnya sendiri dimana Alex dan Gading sudah menggandeng wanita. Menyadari sekitarnya Reno mengumpat pelan dan keluar ruangan. Sepertinya ia memulai pemburuan wanita kembali.

"Mau kemana dia?" tanya Rekka yang bersisipan dengannya. Gading menaikan pundaknya untuk menjawab pertanyaan Rekka.

"Jadi, apakah ini wanita cantik yang berhasil mencuri hati lelaki es, Rekka?" Aku berdiri dari tempatku duduk dan menghampiri seorang wanita yang berdiri di belakang Rekka dengan tangan yang saling bergandengan. Semua mata langsung menuju ke arah wanita tersebut.

Aku mengulurkan tanganku, wanita itu menyambutnya. Aku pun membungkukan badan dan mencium pelan punggung tangannya, disaat yang sama aku bisa merasakan tatapan tajam seperti sebuah belati menusuk punggungku. Rekka mulai cemburu. Aku tersenyum licik setelah melepas ciumanku dan kembali pada posisiku saat memastikan tatapan itu. Dengan semangat pestanya, gading menuangkan minuman dan melakukan tos atas demi merayakan status baru Rekka. Seakan sudah terikat satu sama lain kedua pasangan itu menolak untuk meminum minuman yang ditawarkan Gading, sehingga wanita itu, yang bernama Crystal, hanya meminum cocktail dengan low alcohol. Sedangkan Rekka hanya soft drink biasa, karena Rekka harus mengantarnya pulang.

"Wow... ternyata ada pesta kecil dalam pesta besar." Sebuah omongan meracau terdengar begitu saja memecah kemeriahan. Dimas, saudara sepupuku masuk begitu saja dengan tatapan sedikit menerawang, bisa kutebak dia mulai mabuk. Dari belakangnya tampak Fajri yang berusaha menjauhkannya. Aku pun memberikan kode padanya untuk membiarkannya. Kupikir ini bisa menjadi tontonan.

"Jika mau, kamu bisa bergabung," Gading menepuk pundaknya pelan, " dengan syarat kamu membawa wanitamu sendiri," lanjutnya yang membuatku sedikit menahan tawa melihat ekspresi wajahnya yang terlihat bodoh saat ini. Dimas hanya tersenyum dan menghampiri duduk disampingku.

"Omong-omong mengenai wanita, Ibuku, tante Rimamu, sedang menyiapkan acara perjodohan untuk presdir muda yang lajang sepertimu." Ia berhenti sejenak untuk cegukan, "Seperti yang aku bilang sebelumnya, aku tidak tertarik akan perusahan mu, tapi satu hal yang aku pedulikan. Tolak wanita yang dijodohkan olehmu nanti. Karena dia wanita incaranku." Ia tersenyum bodoh sambil bergelayutan meletakan lengannya di pundakku. Aroma akohol dari mulutnya begitu menyengat bercampur dengan aroma kacang sehingga aku agak menjauhkan tubuhku sedikit.

"Tergantung, lekukannya indah atau tidak,"candaku sembari mengambil gelasku kembali. Tanpa kusadari tatapan matanya berubah dan ia menarik kerah bajuku sehingga minumanku tumpah pada jasku.

"Brengsek! Aku tidak peduli kamu bermain wanita manapun. Tapi bukan wanita ini." Suara teriakan terdengar melengking ketika ia menaikan kepalan tangannya hendak memukulku, dengan tanggap Fajri maju dan memegangi tubuhnya. Aku hanya bisa tersenyum sinis melihat tingkah mabuknya.

"Easy Bro!"Gading mencoba menenangkan. Tapi sorot matanya masih menyala-nyala. Fajri pun segera menariknya keluar dari ruangan. Aku berdiri dari tempatku dan mengambil tisu di tengah meja untuk membersihkan jasku.

"Jangan keterlaluan padanya." Kenar yang sedari tadi hanya diam akhirnya ikut bersuara.

"Tenang saja, aku hanya bercanda. Aku tidak memakan rumput tetangga," balasku dengan senyuman menawanku yang berhasil membuat pasangan Alex menatap penuh arti di depanku.

"Aku harus pulang, temanku tidak enak badan. Dia mau pulang sendiri, aku merasa tidak enak karena aku yang mengajaknya." Suara renyah Crystal menarik perhatianku. Ia memegang ponselnya dan menatap Rekka yang ada di sampingnya.

"Apa temanmu anak dibawah umur yang perlu ditemani?" tanyaku padanya. Ia mengalihkan pandangannya pada Rekka ke arahku ketika mendengar pertanyaanku. Ia menggeleng pelan. "Jika dia bisa mengirim pesan, keadaannya tidak buruk biarkan dia pulang sendiri."

"Tapi, aku kemari bersamanya."

"Biar aku antar kalian pulang." Rekka menawarkan diri. Aku tersenyum dan mendekati pasangan itu.

"Oh ayolah, nikmati pestanya kalian jarang pergi berdua karena dia...," aku melirik Rekka, "Terlalu setia berada disampingku. Hari ini aku membebaskannya, kenapa tidak kau nikmati malam ini berdua dan berdansa di luar dengan alunan Jazz?" Aku memulai bujuk rayuku. Crystal memandangku bingung. Seakan ingin menerima tawaranku tapi dia tidak bisa membiarkan temannya pulang sendiri. Aku pun menghela napas pendek.

"Bagaimana kalau begini, aku minta supirku untuk mengantarnya pulang. Kamu bisa menghubunginya segera," tawarku yang entah kenapa saat ini suasana hatiku sedang baik. Bahkan tingkah mabuk Dimas tidak membuatku uring-uringan.

"Aku akan mencoba menghubunginya."Crystal pun menyerah, aku memberikan senyum kemenangan kepada Rekka. "Kamu bisa memberikan nomor supirku padanya," kataku kepada Rekka, "Aku bisa minta Fajri untuk mengantarku kembali!" tambahku.

Setelah menyelesaikan urusan dengan dua sejoli ini, aku pun keluar untuk membersihkan tumpahan minuman di jasku. Fajri yang sudah kembali dari menjauhkan Dimas, mengikutiku dari belakang. Aku berjalan dengan tegap ke arah Toilet, aku bisa merasakan tatapan dan sanjungan mengiringi setiap langkahku. Aku memasukan kedua tanganku di kanton celana dan membuka pinbtu besar yang berwarna emas.

Aku menatap wajahku dibalik topeng hitam melalui cermin. Tak bisa dipungkiri penampilanku sempurna. Aku mencuci tanganku dan melihat jam omega di tangan kiriku. Sudah mulai larut, waktunya berburu batinku mengingatkan. Saat merapikan tataan rambutku, dua pria masuk ke dalam dan melewati Fajri yang berdiri di dekat pintu menungguku.

"Jadi bagaimana?" tanya salah satu dari mereka.

"Seperti rencana, dia sudah mulai mabuk," jawab temannya.

"Kamu berhasil memasukan obatnya?"

Obat?

"Tentu saja. Sebentar lagi wanita itu pasti terangsang. Kita bisa menikmatinya. Kita tinggal menunggunya keluar dari toilet."

Obat perangsang.

Seketika rasa benci dan marah membenuhiku. Se-brengseknya diriku, aku tidak pernah menggunakan cara kotor seperti mereka untuk mendapatkan wanita. Mereka berdua harus segera disingkirkan dari pesta ini maupun perusahaanku. Aku tidak mau ada skandal disekitarku.

Aku pun berjalan mendekati Fajri yang masih berdiri di dekat pintu dan membisikan sesuatu kepadanya. Setelahnya aku keluar dan berdiri diam di depan pintu. Ya, aku menyuruh Fajri untuk memeriksa mereka berdua. Jika mereka salah satu karyawanku, kupastikan besok pagi dia mendapat surat pemecataan. Seperti rencana awalku, aku akan menyingkirkan orang-orang licik dan kotor dari perusahaanku apapun yang terjadi, walaupun pekerjaan mereka memuaskan. Mereka tidak lebih dari bedebah.

Olivia. Nama itu tiba-tiba muncul dari pikiranku. Aku akan meminta Olivia untuk mencari wanita malang itu. Dia pasti tidak ingin ada masalah dalam pesta yang ia urusi. Ketika hendak keluar dari lorong, aku merasakan lengan mungil melingkar di pinggangku. Rasa hangat langsung menjalar melalui punggung. Aku menggengam lengan itu untuk melepaskannya dan berbalik melihat pemilik tangan itu yang masih kugenggam. Seorang wanita dengan gaun Sleeveless High Collar berwarna hitam dengan topeng hitam dengan ornament bulu di pinggirnya, dan rambut yang di tata rapi keatas, tersenyum sembari menunjukkan gigi kelincinya kepadaku. Tangan kananya yang bebas meraih bagian atas jasku dan menariknya sehingga aku sedikit menunduk mendekat ke arahnya. Ia terkekeh. Tangan kiri yang kugenggam, sekarang menggengam balik lenganku.

"Hehe..." ia terkekeh kembali, hembusan napasnya mengenai daguku. Aku bisa mencium aroma alkohol dari tubuhnya, tapi aku juga mencium aroma segar yang pernah aku hirup sebelumnya. Aroma segar yang sama dengan wanita bayanganku di lift waktu itu dan aroma gadisku. Wanita itu nyata bukan mimpi. Brengsek Rekka menipuku.

"Kau tak apa-apa?" tanyaku ketika aku meraih pinggulnya untuk mendekat ke tubuhku karena ia hampir tidak bisa berdiri tegak. Wanita itu mengangguk masih dengan senyum yang menunjukan gigi kelincinya dengan tawanya yang terdengar renyah. Ia terdiam menatapku, atau lebih tepatnya meneliti wajahku. Tangan kanannya menyentuh dahiku, membuatku merasakan sengatan listrik yang berhasil menyalakan debaran jantungku. Tangannya turun ke alisku. Ia tersenyum kembali.

"Aku suka dengan alis tebal!"ujarnya dengan suara yang lembut. Aku menaikan sebelah alisku untuk menatapnya. Ada apa dengan wanita ini, ia terlihat begitu ... begitu terangsang. Seketika pembicaraan para bedebah itu muncul. Jangan-jangan ini wanita incaran mereka. Aku harus mengamankan dia, sebelum terjadi hal yang tidak di inginkan.

Sebelum aku bertindak, tangan kanannya yang bebas meraih leher belakangku. Dalan sekejab, bibir merah jambunya yang terlihat moist, menyentuh lembut bibirku. Aku terdiam terpukau, karena sebuah gambaran samar yang aku rindukan muncul begitu saja dalam pikiranku. Aku mengerjapkan mataku berulang kali ketika ia melepaskan ciumannya dan menatapku sambil tersenyum.

"Fuck Off!" Aku meraih tengkuknya dan mendekatkan wajahnya kepadaku. Aku menyentuhkan bibirku pada bibirnya. Aku memperdalam ciumanku. Menjilat bibir bawahnya untuk meminta izin untuk menulusuri rongga mulutnya. Ia mengizinkannya. Aku pun menari ke dalam mulutnya tanpa henti seakan aku memakan wajahnya. Dia mengeluh disela ciumanku yang terus aku lakukan. Junior ku pun bereaksi.

Sialan, dia wanita pertama yang membuatku menegang hanya karena ciuman. Tidak. Dia bukan yang pertama. Gadisku juga berhasil membuatku menegang hanya dengan ciuman. Aku menginginkannya. Aku menginginkan wanita ini.